27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
MARHABAN YA RAMADHAN
7 Ramadhan 1442 H - 19 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
Sebelum kita membahas perbuatan apa saja yang membatalkan puasa, ada beberapa catatan penting yang telah digariskan oleh para ulama, berangkat dari berbagai macam dalil yang mereka terima.
Catatan penting itu terkait dengan seseorang melakukan hal-hal yang sekiranya dapat membatalkan puasa, namun keadaan, niat atau motivasinya bisa saja berbeda-beda. Bisa karena lupa, faktor kesalahan, atau karena ada udzur yang dibolehkan. Dan bisa juga semua itu dilakukan tanpa ada sebab lupa, salah, atau pun udzur tertentu. Sehingga setidaknya ada empat kasus yang berbeda dalam hal ini, yaitu:
1. Melakukan Hal Yang Membatalkan Karena Lupa
Kasus yang pertama adalah kasus dimana seseorang yang sedang berpuasa, melakukan hal-hal yang normalnya bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum, bahkan termasuk melakukan hubungan seksual.
Namun semua itu terjadi akibat semata-mata lupa. Maka lupa itu tidak membatalkan puasanya, pelakunya dimaafkan, bahkan menjadi rejeki tersendiri dari Allah - ta’ala -. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ» (رواه الحاكم والبيهقي والدارقطني)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa saja yang berbuka pada saat berpuasa Ramadhan karena lupa, tidak ada keharusan atasnya untuk mengqodho’ atau membayar kafarah (puasanya tetap sah).” (HR. Daruquthuny, Baihaqi dan Hakim)
2. Melakukan Hal Yang Membatalkan Karena Salah
Kasus kedua adalah orang yang berpuasa dan melakukan hal-hal yang lazimnya membatalkan puasa, namun penyebabnya bukan karena lupa, tetapi karena dia salah dalam mengira waktu.
Seperti seseorang yang mengira matahari sudah terbenam, lalu dia makan atau minum, padahal matahari belum terbenam. Atau seseorang yang masih saja makan dan minum karena menyangka hari masih malam, padahal ternyata matahari sudah terbit.
Hanya saja, apakah puasanya batal atau tidak, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa yang mengalami kondisi ini tidaklah berdosa.
Mazhab Pertama: Puasanya batal.
Mayoritas ulama, di antaranya pendapat resmi empat mazhab sepakat bahwa puasanya telah batal. Dan karenanya, puasa tersebut harus diqodho’ di hari yang lain. Di samping itu, diwajibkan pula atasnya untuk berimsak, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang hukumnya membatalkan puasa sampai Maghrib, meski hitungannya bukan sebagai ibadah puasa.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1)
إذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ أَوْ جَامَعَ ظَانًّا غُرُوبَ الشَّمْسِ أَوْ عَدَمَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَبَانَ خِلَافُهُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانِ وَعَطَاءٌ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمُجَاهِدٌ وَالزُّهْرِيُّ وَالثَّوْرِيُّ كَذَا حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ واحمد وابو ثور والجمهور.
Jika seseorang makan, minum atau berhubunagan seksual dengan mengira bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum terbit, namun ternyata apa yang dikira itu keliru, maka wajiblah atasnya mengqodho’ puasa hari tersebut. Dan hal ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Muawiyah bin Abi Sufyan, ‘Atha’, Said bin Jubair, Mujahid, az-Zuhri dan ats-Tsauri, sebagaimana dihikayahkan oleh Ibnu al-Munzir. Dan juga merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahma, Abu Tsaur dan mayoritas ulama
Pendapat ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut:
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، قَالَتْ: «أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ» وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah, dari Fathimah, dari Asma' binti Abu Bakar ash-Shiddiq - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali, maka orang-orang diperintahkan untuk mengqodho’nya, dan Beliau bersabda: “Harus dilaksanakan qodho’”. Dan Ma'mar berkata: aku mendengar [Hisyam]: Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqodho’nya atau tidak.” (HR. Bukhari)
عَنْ خَالِدِ بْنِ أَسْلَمَ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ فِي يَوْمٍ ذِي غَيْمٍ وَرَأَى أَنَّهُ قَدْ أَمْسَى وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَدْ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. فَقَالَ عُمَرُ: الْخَطْبُ يَسِيرٌ، وَقَدِ اجْتَهَدْنَا. قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَعْنِي قَضَاءَ يَوْمٍ مَكَانَهُ (رواه مالك والشافعى فى الأم والبيهقى)
Dari Khalid bin Aslam: Bahwa Umar bin al-Khatthab telah membatalkan puasanya pada hari yang mendung. Di mana ia mengira bahwa matahari telah terbenam (waktu maghrib). Namun tiba-tiba ada seseorang yang datang dan berkata: Wahai amirul mu’mini, matahari masih tampak (belum terbenam). Lantas Umar berkata: Kesalahan yang ringan, dimana kita telah berijtihad. Asy-Syafi’i mengomentari perkataan Umar ini dan berkata: maksudnya puasa pada hari tersebut diqodho’. (HR. Malik, asy-Syafi’i dalam al-Umm dan Baihaqi)
Mazhab Kedua: Tidak batal.
Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, satu riwayat dari imam Ahmad, Mazhab Zhahiri, al-Muzani dari asy-Syafi’iyyah dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa puasanya tidaklah batal. Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang mengisyaratkan sahnya suatu ibadah yang dilakukan karena sebab kekeliruan.
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَاتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ... (الأحزاب: 5).
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu… (QS. Al-Ahzab: 5)
3. Melakukan Secara Sengaja Tapi Ada Udzur Syar’i
Kasus yang ketiga adalah seseorang secara sengaja melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya, namun disebabkan karena adanya udzur yang diakui oleh syariah.
Misalnya seperti musafir yang melakukan perjalanan keluar kota dan terpenuhi semua syarat sebagai musafir, maka dia boleh secara sengaja membatalkan puasanya. Demikian juga dengan seseorang yang menderita suatu penyakit. Kalau dikhawatirkan bila tetap berpuasa penyakitnya akan bertambah parah, atau tidak kunjung sembuh.
Karena puasanya batal, otomatis dia wajib menggantinya di hari lain, seusai bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini juga tidak membuat ia menanggung dosa.
4. Melakukan Secara Sengaja Tanpa Udzur Syar’i
Kasus yang keempat adalah kasus yang paling parah, yaitu seorang yang sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan, secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, bukan karena lupa juga bukan karena salah mengira, dan juga bukan karena dia mendapat uzur syar’i.
Seseorang yang secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya, tanpa adanya udzur yang syar’i, maka puasanya bukan hanya batal, tetapi juga ia menanggung dosa dan wajib mengqodho’nya. Namun apakah wajib pula membayar kaffarat, para ulama berbeda pendapat. Mazhab Hanafi dan Maliki mewajibkan kaffarat. Sedangkan Mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak mewajibkannya.
-------------------------
(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/309.
Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
- Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
- Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
- Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
- Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
- Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
- Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
- Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
- Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
- Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
- Pembatal Puasa : Jima’
- Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
- Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
- Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
- Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
19 April 2021