2. Sejarah Pensyariatan Puasa
19 Hari Menjelang Ramadhan 1442 H
11 Sya’ban 1442 H – 25 Maret 2021
Ibadah puasa merupakan ibadah yang disyariatkan pada setiap risalah para Nabi yang diutus kepada umat manusia. Ajaran ini menjadi salah satu pemersatu ajaran-ajaran para Nabi.
Namun meski demikian, secara aturan dan tata cara, satu sama lain memiliki bentuk yang berbeda. Bahkan dalam syariat Nabi Muhammad - shallallahu ‘alaihi wasallam -, ibadah puasa disyariatkan dalam beberapa tahapan. Setidaknya ada tiga fase pensyariatan puasa pada masa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -.
Tiga fase puasa tersebut sebagaimana terangkum dalam perkataan shahabat Muadz bin Jabal - radhiyallahu ’anhu – berikut ini:
عن معاذ بن جبل - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أن رَسُولُ اللَّه - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -كان يصوم ثلاثة أيام من كلِّ شهر، ويصوم يومَ عاشوراء، فأنزل الله: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة: 183]، فكان من شاء أن يصوم صام، ومن شاء أن يُفطر ويطعم كل يوم مسكينًا أجزأه ذلك (رواه أبو داود)
Dari Mu’adz bin Jabal - radhiyallahu ‘anhu -: Dahulu Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - senantiasa berpuasa 3 hari setiap bulan, dan puasa di hari ‘Asyura’. Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa dan memberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR. Abu Dawud)
Selain itu, 3 fase tersebut disebutkan pula secara tegas dalam hadits berikut:
عَنِ عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى: أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: أُحِيلَ الصَّوْمُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْوَالٍ: قَدِمَ النَّاسُ الْمَدِينَةَ وَلَا عَهْدَ لَهُمْ بِالصِّيَامِ، فَكَانُوا يَصُومُونَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ حَتَّى نَزَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَاسْتَكْثَرُوا ذَلِكَ وَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ مِسْكِينًا كُلَّ يَوْمٍ تَرَكَ الصِّيَامَ مِمَنْ يُطِيقُهُ رَخَّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ وَنَسَخَهُ {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [البقرة: 184] قَالَ: فَأُمِرُوا بِالصِّيَامِ (رواه البيهقي)
Dari Abdurrahman bin Abi Laila, para shahabat Muhammad - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkata: Puasa disyariatkan dalam 3 fase. Orang-orang saat hijrah ke Madinah, belum disyariatkan atas mereka puasa Ramadhan, dimana mereka melakukan puasa sebanyak 3 hari pada setiap bulan hingga disyariatkannya puasa pada bulan Ramadhan. Lantas hal itu memberatkan mereka, hingga diberikan keringanan bagi yang mampu berpuasa untuk boleh tidak melakukannya dengan menggantinya dalam bentuk pemberian makan kepada orang miskin pada hari-hari ditinggalkannya puasa. Kemudian keringanan tersebut dihapus dengan turunnya QS. Al-Baqarah ayat 184, “Dan kalian berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Lantas mereka diperintahkan untuk berpuasa. (HR. Baihaqi)
Berikut ini penjelasan terkait ketiga fase pensyariatan puasa tersebut:
A. Fase Pertama: Bi’tsah – Pra Tahun 2 H (Diwajibkan Puasa ‘Asyura’ & Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyyah)
Setelah Nabi Muhammad - shallallahu ‘alaihi wasallam - diutus menjadi Rasul, disyariatkan kepada beliau dalam bentuk syariat puasa yang wajib untuk dilakukan oleh beliau dan para shahabat, yaitu dua jenis puasa: puasa ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram dan puasa sebanyak tiga hari setiap bulannya.
Dengan demikian, dalam satu tahun setidaknya diwajibkan pada fase ini ibadah puasa selama 37 hari. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، قَالَ: «صَامَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَاشُورَاءَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ» (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: “Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - melaksanakan puasa hari 'Asyura' (10 Muharam) lalu memerintahkan (para sahabat) untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah mewajibklan puasa Ramadhan, maka puasa hari 'Asyura' ditinggalkan. (HR. Bukhari)
B. Fase Kedua: 2 H (Diwajibkan Puasa Ramadhan Berdasarkan Pilihan Antara Puasa dan Fidyah)
Setelah turun perintah untuk berpuasa Ramadhan, lantas Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memberikan pilihan kepada para shahabat antara yang ingin berpuasa ‘Asyura’ atau tidak. Dalam arti, selain puasa Ramadhan, ditetapkan puasa lainnya sebagai amalan sunnah.
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الجَاهِلِيَّةِ، ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ» (متفق عليه)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -; Bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari 'Asyura'. Kemudian Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan untuk melaksanakannya pula hingga datang kewajiban shaum Ramadhan. Dan kemudian Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: "Siapa yang mau melaksanakannya (puasa ‘Asyura’) silakan dan siapa yang tidak mau juga tidak apa.” (HR. Bukhari Muslim)
Hanya saja, perintah puasa Ramadhan tersebut masih bersifat pilihan juga. Di mana, bagi yang mampu untuk berpuasa, masih diberikan pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah.(1) Sebagaimana pernyataan Muadz - radhiyallahu ‘anhu - berikut ini:
عن معاذ بن جبل - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: ... فأنزل الله: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة: 183]، فكان من شاء أن يصوم صام، ومن شاء أن يُفطر ويطعم كل يوم مسكينًا أجزأه ذلك (رواه أبو داود)
Dari Mu’adz bin Jabal - radhiyallahu ‘anhu -: … Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa dan memberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR. Abu Dawud)
C. Fase Ketiga: 2 H (Diwajibkan Puasa Ramadhan Bagi Yang Telah Memenuhi Syarat Wajib)
Pada tahun ke-2 Hijriah, setelah turun QS. Al-Baqarah: 185, lantas puasa Ramadhan diwajibkan bagi yang mampu. Dan bagi yang tidak mampu, tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa, dengan cara menggantinya dengan membayar fidyah.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة: 185)
Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebagai al-furqan (pembeda antara hak dan batil). Maka barang siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah: 185)
Atas dasar ini, maka Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan puasa Ramadhan selama hidupnya di dunia sebanyak 9 kali. Yaitu dari tahun ke-2 hijriyyah hingga tahun ke-11 hijriyyah.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(2)
صَامَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - رَمَضَانَ تِسْعَ سِنِينَ لِأَنَّهُ فُرِضَ فِي شَعْبَانَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ الْهِجْرَةِ وَتُوُفِّيَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ سَنَةَ إحْدَى عَشْرَةَ مِنْ الْهِجْرَةِ.
Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berpuasa Ramadhan sebanyak 9 kali. Sebab perintah puasa Ramadhan ini diturunkan pada bulan Sya’ban pada tahun ke-2 hijriyyah. Di mana Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - kemudian wafat pada bulan Rabi’ al-awal tahun ke-11 hijriyyah.
---
Selain ke-3 fase tersebut, para ulama juga menjelaskan bahwa perintah untuk berpuasa dengan menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual, sempat pula diwajibkan di malam hari antara waktu berbuka puasa dan waktu makan sahur. Hingga turunlah QS. Al-Baqarah 187, yang membolehkan hal tersebut dilakukan di malam hari secara mutlak.
عَنِ البَرَاءِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187] فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: 187] (رواه البخاري)
Dari al-Bara’ - radliallahu 'anhu -, ia berkata: Diantara para sahabat Muhammad - shallallahu 'alaihi wasallam - ada seseorang apabila sedang puasa lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga dia tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu ketika Qais bin Shirmah al-Anshoriy ketika sedang melaksanakan puasa lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi isterinya seraya berkata, kepada isterinya: Apakah kamu punya makanan?. Isterinya berkata: Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu. Kemudian di siang harinya dia bekerja keras hingga mengantuk lalu tertidur. Kemudian isterinya datang. Ketika isterinya melihat dia (sedang tertidur), isterinya berkata: Rugilah kamu. Kemudian pada tengah harinya Qais jatuh pingsan. Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam -, maka turunlah firman Allah - Ta'ala – QS. Al-Baqarah ayat 197 yang artinya: (Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isttri-isteri kalian). Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun sambungan ayatnya: (Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar). (HR. Bukhari)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} [البقرة: 183]: فَكَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِذَا صَلَّوُا الْعَتَمَةَ حَرُمَ عَلَيْهِمُ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالنِّسَاءُ، وَصَامُوا إِلَى الْقَابِلَةِ، فَاخْتَانَ رَجُلٌ نَفْسَهُ، فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ، وَقَدْ صَلَّى الْعِشَاءَ، وَلَمْ يُفْطِرْ، فَأَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ يُسْرًا لِمَنْ بَقِيَ وَرُخْصَةً وَمَنْفَعَةً، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ} [البقرة: 187] الْآيَةَ، وَكَانَ هَذَا مِمَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهِ النَّاسَ وَرَخَّصَ لَهُمْ وَيَسَّرَز (رواه أبو داود)
Dari Ibnu Abbas - radliallahu 'anhu -: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Dahulu orang-orang pada zaman Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - apabila mereka melakukan shalat isya’, haram atas mereka untuk makan dan minum serta bercampur dengan isteri, dan mereka berpuasa hingga besok. Kemudian terdapat seseorang tidak dapat menahan hawa nafsunya kemudian ia mencampuri isterinya setelah melakukan shalat isya’ dan belum berbuka. Kemudian Allah - 'azza wajalla - hendak menjadikan hal tersebut sebagai kemudahan bagi waktu yang selanjutnya serta sebagai keringanan dan manfaat. Allah Yang Maha Suci berfirman: (Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu). Dan hal ini termasuk diantara manfaat yang Allah berikan kepada manusia dan Allah beri keringanan serta kemudahan bagi mereka. (HR. Abu Dawud)
----------------------
(1) Abu al-Walid Ibnu Rusyd al-Jadd, al-Muqaddimat al-Mumahhidat, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1408/1988), cet. 1, hlm. 1/246, al-Qadhi Abdul Wahhab al-Maliki, Syarah ar-Risalah, (t.t: Dar Ibnu Hazm, 1428/2007), cet. 1, hlm. 1/220.
(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 6/252.
Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
- Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
- Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
- Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
- Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
- Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
- Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
- Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
- Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
- Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
- Pembatal Puasa : Jima’
- Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
- Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
- Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
- Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
24 Maret 2021 pada 23.00 ·