34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
MARHABAN YA RAMADHAN
14 Ramadhan 1442 H - 26 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
Para ulama sepakat bahwa mengeluarkan mani secara tidak sengaja, seperti jika seseorang tidur dan mengalami mimpi basah sampai keluar mani, maka puasanya tidaklah batal. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ المَجْنُونِ حَتىَّ يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ (رواه أحمد وأبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: ”Telah diangkat pena dari tiga orang: Dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga waras dan dari orang tidur hingga terbangun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy)
Demikian pula para ulama sepakat akan tidak batalnya puasa orang yang mengeluarkan mani akibat membayangkan saja percumbuan, tanpa melakukannya secara sesungguhnya, juga tanpa melakukan onani atau masturbasi. Bahkan dalam kasus tertentu, orang yang sedang sakit pun bisa saja mengeluarkan mani, akibat penyakit yang dideritanya itu.
Adapun jika keluarnya air mani, dilakukan secara sengaja dan dengan tindakan fisik, seperti jika seorang suami bercumbu mesra dengan istrinya, meskipun tidak sampai melakukan hubungan badan, namun akibat percumbuan itu, maninya keluar. Demikian pula, jika mengeluarkannya dengan jalan onani atau masturbasi -terlepas dari status hukumnya- bila dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, sehingga mencapai puncaknya dan keluar mani. Maka menurut para ulama, di antara empat mazhab –selain Ibnu Hazm azh-Zhahiri-, bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(1)
لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا، فِي أَنَّ مَنْ جَامَعَ فِي الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ، أَوْ دُونَ الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ، أَنَّهُ يَفْسُدُ صَوْمُهُ إذَا كَانَ عَامِدًا.
Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama bahwa siapapun yang menggauli istrinya pada kemaluannya, apakah sampai mengeluarkan air mani atau tidak, atau mencumbu istri dan keluar air mani, maka itu semua dapat membatalkan puasa, jika dilakukan dengan sengaja.
Ketentan ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ ... «يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Puasa adalah tameng … “(Allah berfirman) Hambaku berpuasa dengan menahan makan, minum, dan syahwatnya demi-Ku. Puasanya adalah milik-Ku dan aku akan memberinya ganjaran, dimana satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh lipat.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini, Allah - ta’ala - melalui hadits qudsi menerangkan fungsi dari puasanya seorang hamba adalah atas dasar menahan syahwatnya. Dan telah jelas diketahui bahwa seorang yang dengan sengaja mengeluarkan air mani, telah melepaskan syahwatnya yang menjadi sebab puasanya tidak sah.
Namun, para ulama berbeda pendapat terkait konsekuensi yang wajib dilakukan atas batalnya puasa karena mengeluarkan mani secara sengaja:(2)
Mazhab Pertama: Hanya qodho’.
Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa kewajiban yang harus dilakukan seorang yang batal karena mengeluarkan air mani secara sengaja hanyalah qodho’. Dan tidak diwajibkan atasnya membayar kaffarah.
Mazhab Kedua: Qodho’ dan kaffarah.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa kewajibannya selain qodho’ adalah membayar kaffarah. Sebagaimana kewajiban seorang yang membatalkan puasa dengan cara melakukan jima’.
---
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) menjelaskan kedua pendapat di atas dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(3)
أَنَّ الْجِمَاعَ دُونَ الْفَرْجِ، إذَا اقْتَرَنَ بِهِ الْإِنْزَالُ، فِيهِ عَنْ أَحْمَدَ رِوَايَتَانِ؛ إحْدَاهُمَا، عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ، وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ، وَعَطَاءٍ وَالْحَسَنِ، وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَإِسْحَاقَ؛ لِأَنَّهُ فِطْرٌ بِجِمَاعٍ، فَأَوْجَبَ الْكَفَّارَةَ كَالْجِمَاعِ فِي الْفَرْجِ.
وَالثَّانِيَةُ: لَا كَفَّارَةَ فِيهِ. وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّ، وَأَبِي حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّهُ فِطْرٌ بِغَيْرِ جِمَاعٍ تَامٍّ، فَأَشْبَهَ الْقُبْلَةَ، وَلِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ، وَلَا نَصَّ فِي وُجُوبِهَا وَلَا إجْمَاعَ وَلَا قِيَاسَ، وَلَا يَصِحُّ الْقِيَاسُ عَلَى الْجِمَاعِ فِي الْفَرْجِ؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ، بِدَلِيلِ أَنَّهُ يُوجِبُهَا مِنْ غَيْرِ إنْزَالٍ.
Jima’ yang tidak sampai bertemunya dua kelamin (percumbuan), jika sampai mengeluarkan air mani, maka ada 2 riwayat dari Ahmad. Pertama: wajib kaffarat. Dan ini merupakan pendapat Malik, ‘Atha’, al-Hasan, Ibnu al-Mubarak dan Ishaq. Sebab hukumnya sama saja seperti batalnya puasa karena jima’. Maka wajib atasnya kaffarat sebagaimana jima’ pada kemaluan.
Riwayat kedua: tidak wajib kaffarat. Dan ini merupakan pendapat asy-Syafi’i dan Abu Hanifah. Sebab puasanya batal bukan karena sebab jima’ yang sempurna. Maka mirip seperti berciuman. Dan juga karena pada dasarnya kaffarat tidaklah wajib. Dan juga tidak ada nash, ijma’ atau qiyas yang mewajibkan kaffarat. Adapun qiyas kepada jima’ di kemaluan, maka ini tidak sah. Sebab jima’ di kemaluan lebih besar kesalahannya, karena itu puasa tetap batal meski tidak sampai keluar mani.
---------------------------
(1) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/134.
(2) Hanafi: Ibnu Abdin, ad-Dur al-Mukhtar, hlm. 2/104. Maliki: Ibnu Juzai, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hlm. 81, ad-Dusuqi, Hasyiah ad-Dusuqi, hlm. 1/529. Syafi’i: an-Nawawi, Raudhah ath-Tahlibin, 2/361. Hanbali: Ibnu Qudamah, al-Mughni, hlm. 3/48.
(3) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/135.
Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
- Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
- Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
- Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
- Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
- Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
- Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
- Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
- Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
- Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
- Pembatal Puasa : Jima’
- Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
- Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
- Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
- Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
26 April 2021