36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
MARHABAN YA RAMADHAN
16 Ramadhan 1442 H - 28 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
Ramadhan adalah bulan yang istimewa, di samping disyariatkannya ibadah berpuasa, disyariatan pula beberapa ibadah lainnya di dalamnya. Seperti shalat tarawih, i’tikaf dan zakat fitri. Dan di antara ibadah sunnah yang juga dianjurkan untuk dilakukan di malam Ramadhan adalah ibadah shalat witir yang dilakukan setelah shalat tarawih.
a. Pengertian Shalat Witir
Sebagaimana shalat tarawih, para ulama umumnya juga sepakat bahwa shalat witir disyariatkan pula secara khusus untuk dilakukan di malam-malam Ramadhan, setelah melaksanakan shalat tarawih. Meskipun shalat ini disyariatkan pula untuk dilakukan di luar bulan Ramadhan.
Secara bahasa kata witir (الوِتْر) dalam bahasa Arab berarti ganjil, lawan dari genap. Sedangkan secara fiqih, shalat witir didefinisikan sebagaimana berikut:(1)
صَلاَةٌ تُفْعَل مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ تُخْتَمُ بِهَا صَلاَةُ اللَّيْل.
Shalat yang dikerjakan di antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar dan menjadi penutup dari rangkaian shalat malam.
Dan shalat ini disebut dengan shalat witir, karena dikerjakan dengan jumlah rakaat yang ganjil, baik satu rakaat, tiga rakaat, atau lima rakaat hingga sebelas rakaat.
b. Hukum Shalat Witir
Para ulama umumnya sepakat bahwa shalat witir disyariatkan dalam ajaran Islam. Bahkan shalat ini secara khusus, Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - wasiatkan untuk senantiasa dilakukan oleh para shahabat.
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَوْصَانِي النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِالوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ» (رواه البخاري)
Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - berwasiat padaku untuk melakukan shalat witir sebelum tidur. (HR. Bukhari)
Hanya saja para ulama berbeda pendapat terkait hukum mendirikan shalat witir atas umat Islam setiap malamnya. Apakah sebagai amalan wajib atau sekedar sunnah. Dan dalam hal ini, sebab perbedaan mereka di antaranya adalah terkait cara memahami perintah Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - untuk melaksanakan shalat witir dalam hadist berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ. أَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ» (رواه ابن ماجه وأبو داود والترمذي)
Dari Abdullah bin Mas’ud - radhiyallahu ‘anhu -, Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil. Maka shalat witirlah wahai ahli al-Qur’an. (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Tirmizi)
Mazhab Pertama: Sunnah mu’akkad.
Mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah dan bukan wajib.
Di mana mereka mendasarkan pendapat ini pada hadits-hadits berikut:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ السَّلُولِيِّ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: «يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ» (رواه ابن ماجه)
Dari Ashim bin Dhamrah as-Saluli, ia berkata: Ali bin Abi Thalib - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Sesungguhnya shalat witir tidaklah wajib seperti shalat-shalat wajib kalian, meski demikian Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - senantiasa melakukan shalat witir. Kemudian bersabda: “Wahai ahli al-Qur’an shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai bilangan ganjil. “ (HR. Ibnu Majah)
قَالَ ابْنُ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّي عَلَيْهَا المَكْتُوبَةَ» (متفق عليه)
Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu - berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertasbih di atas untanya kemanapun untanya menghadap, dan beliau - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir di atasnya. Namun beliau tidak shalat fardhu di atas unta. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menyebutkan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir di atas tunggangan untanya. Padahal kalau beliau melakukan shalat yang fardhu, beliau tidak akan melakukannya di atas punggung unta. Beliau tentu akan turun ke atas tanah. Hadits ini menunjukkan bahwa shalat witir itu bukan termasuk shalat yang hukumnya fardhu.
Mazhab Kedua: Wajib, bukan fardhu atau sunnah.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum shalat witir adalah wajib. Namun istilah wajib dalam mazhab ini berbeda dengan fardhu. Di mana, mereka sepakat bahwa shalat fardhu hanyalah shalat lima waktu. Adapun shalat wajib adalah shalat yang diperintahkan secara khusus, namun dengan perintah yang tidak setegas shalat fardhu.
Dan bagi mareka, orang yang meninggalkan shalat witir tidaklah sama dengan orang yang meninggalkan shalat lima waktu. Di mana orang yang tidak shalat witir tidak terhitung berdosa sebagaimana meninggalkan shalat fardhu lima waktu. Namun, dengan meninggalkan shalat witir seorang muslim dapat dicela.
Mereka mendasarkan pendapat ini kepada hadits-hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا -3x-» (رواه أبو داود)
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya ia berkata: Aku Mendengar Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Witir itu kewajiban, siapa yang tidak melakukan shalat witir maka dia bukan bagian dari kami.” (Nabi menyebutnya 3 kali) (HR. Abu Daud)
عَنْ خَارِجَةَ بْنِ حُذَافَةَ الْعَدَوِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ، لَهِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ، الْوِتْرُ، جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ» (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه)
Dari Kharijah bin Hudzafah al-‘Adawi - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Sesungguhnya Allah - ta’ala - telah menganugerahkan sebuah shalat yang lebih baik bagi kalian dari unta yang merah. Shalat itu adalah shalat witir. Lakukanlah shalat witir itu di antara shalat Isya’ dan shalat shubuh.” (HR. Abu Dawud, Tirmizi dan Ibnu Majah)
c. Waktu Pelaksanaan Shalat Witir
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Kharijah al-‘Adawi, bahwa shalat witir dikerjakan antara shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Sehingga begitu lepas shalat Isya dikerjakan, maka pada dasarnya shalat witir sudah boleh dilakukan. Tetapi kalau dikerjakan sebelum shalat Isya’, umumnya para ulama mengatakan bahwa shalat itu tidak sah, karena belum masuk waktunya.
Para ulama sepakat bahwa meski selepas shalat Isya’ sudah sah untuk shalat witir, namun yang paling utama untuk shalat witir itu dikerjakan adalah di bagian akhir malam. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ». (رواه مسلم)
Dari Jabir - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaklah dia melakukan shalat witir di awal malam. Namun siapa yang mampu bangun di akhir malam, lebih baik dia mengerjakan shalat witir di akhir malam. Karena shalat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama.” (HR. Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، قَالَتْ: «مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ» (رواه مسلم)
Aisyah - radhiyallahu ‘anha - berkata: Tiap malam Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir, terkadang di awal, di tengah dan di akhirnya. Shalat witirnya berakhir dengan di waktu sahar (waktu sahur). (HR. Muslim)
d. Sudah Terlanjur Witir
Dalam suatu hadits Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan untuk menjadikan shalat witir sebagai penutup dari rangkaian shalat malam, sebagaimana hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا» (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Jadikanlah shalatmu malammu yang terakhir adalah shalat witir.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun yang menjadi pertanyaan, bila setelah shalat Isya’ atau shalat tarawih seseorang sudah melaksanakan shalat witir, kemudian dia tidur, namun di akhir malam dia masih bisa bangun, apakah diperbolehkan melakukan shalat malam atau tahajjud?
Maka dalam hal ini, para ulama umumnya sepakat bahwa shalat sunnah apapun boleh dilakukan setelah shalat witir. Namun, dengan memilih antara dua cara, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh imam Tirmizi (w. 279 H) dalam kitab Sunan-nya.(2)
Pertama: Melakukan shalat sunnah malam, tanpa mengulangi dan menutup shalatnya dengan shalat witir. Cara ini disandarkan kepada Sufyan ats-Tsauri, Maliki, Ahmad, dan Abdullah bin Mubarak. Dan dinilai imam Tirmizi cara yang paling tepat.
Hal ini didasarkan kepada larangan melakukan shalat witir lebih dari sekali dalam semalam.
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ» (رواه الترمذي والنسائي وأبو داود)
Dari Thariq bin Ali berkata, "Aku mendengar Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda, "Tidak ada dua witir dalam satu malam.'' (HR Ahmad)
Kedua: Jika berkeinginan untuk menutup shalatnya dengan shalat witir, maka untuk shalat witir yang sudah dilakukan, harus ditambahi lagi dengan satu rakaat. Di mana shalat satu rakaat tambahan ini disebut dengan shalat pembuka. Maksudnya, dengan shalat satu rakaat, maka shalat witir yang ganjil menjadi genap. Di mana pendapat ini disandarkan kepada Ishaq bin Rahawaih.
e. Jumlah Rakaat
Para ulama umumnya sepakat bahwa shalat witir bisa dikerjakan dengan jumlah rakaat yang minimal hingga jumlah yang maksimal.
1) Jumlah Minimal
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat terkait jumlah minimal rakaat shalat witir.
Mazhab Pertama: Satu rakaat.
Mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa jumlah minimal shalat witir adalah satu rakaat. Dan hal itu dibolehkan tanpa dimakruhkan. Hanya saja, mazhab Maliki mensyaratkan tanpa adanya unsur makruh, jika sebelum melakukannya, sudah melakukan minimal dua rakaat shalat sunnah.
Pendapat ini mereka dasarkan pada hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -قَالَ: قَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ؟ قَالَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ» (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Umar - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam?. Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - menjawab: “Shalat malam itu dikerjakan dengan dua rakaat dua rakaat, apabila kamu takut datangnya waku shubuh silahkan shalat witir satu rakaat. (HR. Bukhari Muslim)
Mazhab Kedua: Tiga rakaat.
Mazhab Hanafi melarang shalat witir yang dikerjakan hanya dengan satu rakaat, dan jumlah minimal shalat witir adalah 3 rakaat. Mereka mendasarkannya pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنِ الْبُتَيْرَاءِ (رواه ابن عبد البر في التمهيد وقال: أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ رَكْعَةً وَاحِدَةً يُوتِرُ بِهَا)
Dari Abu Said - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melarang butaira’ (HR. Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (hlm. 13/254), ia berkata: maksudnya seseorang shalat witir hanya dengan satu rakaat).(3)
2) Jumlah Maksimal
Mayoritas ulama (Syafi’i, Hanbali), berpendapat bahwa jumlah maksimal dalam melakukan shalat witir adalah sebelas rakaat.
Mereka mendasarkannya pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا تُوتِرُوا بِثَلَاثٍ تَشَبَّهُوا بِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ، وَلَكِنْ أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ، أَوْ بِسَبْعٍ، أَوْ بِتِسْعٍ، أَوْ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ» (رواه الحاكم)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Janganlah shalat witir dengan 3 rakaat yang menyerupai shalat maghrib. Namun berwitirlah dengan lima, tujuh, sembilan, sebelas rakaat, atau lebih dari angka tersebut.” (HR. Hakim)
Namun ada satu pendapat di kalangan asy-Syafi’iyah yang membolehkan sampai tiga belas rakaat, dengan dasar hadits berikut ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُوتِرُ بِثَلَاثَ عَشْرَةَ، فَلَمَّا كَبِرَ وَضَعُفَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ» (رواه الترمذي)
Dari Ummu Salamah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan shalat witir dengan tiga belas rakaat. Hingga ketika beliau sudah berumur tua dan lemah tubuhnya, beliau melakukan witir dengan tujuh rakaat. (HR. Tirimizi)
Namun menurut Imam an-Nawawi, para ulama yang mengatakan bahwa rakaat maksimal shalat witir sebelas rakaat, mengatakan bahwa kemungkinan Ummu Salamah - radhiyallahu ’anha - menghitung shalat sunnah setelah Isya sebagai shalat witir. Dengan demikian, shalat witir Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tetaplah sebelas rakaat.(4)
Hanya saja, imam an-Nawawi juga menilai bahwa ta’wil dua rakaat tersebut sebagai sunnah Isya’, merupakan ta’wil yang lemah. Dan karena itu, imam as-Subki mengatakan bahwa shalat witir hingga tiga belas rakaat, boleh saja. Namun ia lebih suka melakukan sebelas rakaat atau kurang dari angka tersebut.(5)
f. Teknis Pengerjaan Shalat Witir
Kalau shalat witir dikerjakan dengan hanya satu rakaat, tentu tidak ada masalah dengan cara pengerjaannya. Tetapi bila lebih dari satu rakaat, seperti tiga rakaat, maka ada tiga macam cara untuk mengerjakannya.
1) Cara Pertama: Dua – Satu (Fashal)
Shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu lalu disudahi dulu dengan salam, kemudian dikerjakan satu rakaat lagi, sehingga menjadi tiga rakaat dengan dua salam. Cara ini oleh para ulama disebut dengan cara fashl (dipisahkan).
Umumnya para ulama berpendapat bahwa cara inilah yang afdhal, kecuali Mazhab Hanafi. Bahkan Mazhab Maliki memakruhkan shalat witir, kecuali dengan tata cara seperti ini.
Dalil atas cara seperti ini adalah hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ» (رواه أحمد وابن حبان)
Dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil dengan salam, yang beliau perdengarkan kepada kami. (HR. Ahmad)
Kalangan asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa ketika shalat witir dikerjakan dua rakaat terlebih dahulu dengan salam, maka dari segi niatnya haruslah disebutkan sebagai niat shalat sunnah dari witir (سنة الوتر) atau muqaddimah witir (مقدمة الوتر).
2) Cara Kedua: Tiga Rakaat Langsung (Washl)
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tanpa diselingi dengan salam di rakaat kedua. Cara ini disebut dengan washl (bersambung). Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُوتِرُ بِخَمْسٍ وَلَا يَجْلِسُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ» (رواه النسائي). وفي رواية الحاكم: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُوتِرُ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ، وَلَا يَجْلِسُ إِلَّا فِي الْخَامِسَةِ، وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي الْخَامِسَةِ»
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah shalat witir dengan lima rakaat tanpa duduk tahiyat kecuali di bagian akhir. (HR. Nasai). Dalam riwayat al-Hakim disebutkan: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah shalat witir dan tidak duduk kecuali pada rakaat kelima. Dan tidak mengucap salam kecuali pada rakaat kelima.
Dalam hal ini Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali membolehkan cara seperti ini, namun Mazhab Maliki memakruhkannya.
3) Cara Ketiga: Washal Seperti Shalat Maghrib
Shalat witir dikerjakan langsung tiga rakaat dengan satu salam, tetapi di rakaat kedua duduk sejenak untuk melakukan duduk tasyahhud awal dan membaca doanya. Cara seperti ini mirip dengan shalat Maghrib, kecuali bedanya ketika di dalam rakaat ketiga tetap disunnahkan untuk membaca ayat al-Quran setelah membaca surat al-Fatihah.
Dasar dari pendapat ini adalah perkataan Abu al-‘Aliyah :
عَن أَبي خَلْدَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا الْعَالِيَةِ عَنِ الْوِتْرِ، فَقَالَ: «عَلَّمَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَوْ عَلَّمُونَا أَنَّ الْوِتْرَ مِثْلُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ غَيْرَ أَنَّا نَقْرَأُ فِي الثَّالِثَةِ. فَهَذَا وِتْرُ اللَّيْلِ وَهَذَا وِتْرُ النَّهَارِ» (أخرجه الطحاوي في شرح معاني الآثار (1 / 293))
Dari Abi Khaldah, aku bertanya kepada Abu al-‘Aliyyah tentang shalat witir, dan ia berkata: Para shahabat Nabi Muhammad - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengajari kami bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat Maghrib. Hanya saja, untuk shalat witir, kami tetap membaca ayat pada rakaat ketiga. Di mana yang ini (shalat witir) adalah shalat witir malam dan yang itu (shalat Maghrib) adalah shalat witir siang. (HR. ath-Thahawi dalam Syarah Ma’ani al-Atsar, hlm. 1/293)
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa cara inilah yang paling afdhal dan menjadi pilihan.
Namun mazhab Syafi’i berpendapat bahwa cara ini boleh saja dilakukan tetapi dengan karahah (kurang disukai). Karena menurut mazhab ini, menyamakan shalat witir dengan shalat Maghrib hukumnya makruh. Bahkan Mazhab Hanbali tidak membolehkan cara ini sebagaimana disampaikan oleh al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali.
g. Qunut Witir
Para ulama umumnya sepakat bahwa qunut dalam shalat termasuk perbuatan yang disyariatkan. Namun untuk qunut pada shalat witir, mereka berbeda pendapat terkait hukumnya.
Mazhab Pertama: Wajib.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa membaca doa qunut pada shalat witir sebelum rukuk, setelah selesai membaca ayat al-Quran adalah wajib. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah shalat witir itu dilakukan di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Mereka mendasarkannya pada hadits berikut:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَنَتَ - يَعْنِي - فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوعِ (رواه أبو داود)
Dari Ubai bin Ka’ab - radhiyallahu ‘anhu -: bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - melakukan qunut pada shalat witir sebelum rukuk. (HR. Abu Dawud)
Namun maksud dari hukum wajib dalam mazhab Hanafi bukanlah fardhu sebagaimana rukuk dan sujud. Di mana jika seseorang terlupa membacanya, tidak perlu mengulanginya, cukup baginya untuk melakukan sujud sahwi.
Mazhab Kedua: Bid’ah yang makruh.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat witir adalah bid'ah, dan tidak disyariatkan. Pendapat ini juga didukung oleh Abdullah bin Umar - radhiyallahu ’anhu - dan Thawus.
Namun ada sebagian pendapat dari mazhab ini yang mengatakan bahwa qunut pada shalat witir disunnahkan separuh kedua dari bulan Ramadhan.
Mazhab Ketiga: Sunnah.
Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa qunut pada shalat witir hukumnya sunnah.
Namun Mazhab Syafi’i hanya mensunnahkannya pada paruh kedua dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana dalam praktek detailnya menyamakan antara qunut witir dengan qunut shubuh, seperti posisi dilakukan qunut yaitu setelah rukuk. Demikian juga dengan lafadznya, sama dengan lafadz qunut shalat shubuh. Termasuk juga apakah dibaca sirr atau jahr, sunnah mengangkat tangan, tidak mengusap wajah setelahnya, semua sama persis dengan ketentuan pada qunut shalat shubuh. Dan bila tidak sengaja terlewat, juga disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.(6)
Sedangkan Mazhab Hanbali, kesunnahan qunut witir bukan hanya pada paruh akhir bulan Ramadhan, tetapi disunnahakn kapan saja shalat witir dilakukan.
h. Hukum Shalat Witir Berjamaah
Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa pada dasarnya shalat witir tidak disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah. Namun bila shalat witir dilakukan bergandengan dengan shalat tarawih, maka hukumnya disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah.
Sedangkan Mazhab Maliki lebih menganjurkan shalat witir untuk dikerjakan di dalam rumah dengan sendirian. Di antara alasannya adalah agar jangan sampai orang melakukannya karena ingin dilihat orang alias riya'. Dan tidak ada orang yang selamat dari riya' ini kecuali dikerjakan di rumah.
----------------------
(1) Kementrian Wakaf Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, hlm. 27/289.
(2) Abu Isa at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, hlm. 2/333.
(3) Imam az-Zaila’i menyandarkan riwayat hadits ini dalam kitabnya Nashb ar-Raayah (hlm. 1/120), kepada Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya at-Tamhid. Dan menurut Ibnul Qaththan merupakan hadits ini berstatus syadz yang perawinya tidak bisa dipercaya.
(4) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 4/12,
(5) Zakaria bin Muhammad al-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarah Raudh ath-Thalib, (t.t: Dar al-Kitab al-Islamy, t.th), hlm. 1/202.
(6) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 4/15.
Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
- Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
- Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
- Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
- Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
- Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
- Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
- Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
- Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
- Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
- Pembatal Puasa : Jima’
- Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
- Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
- Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
- Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
27 April 2021