Ibnu Taymiyah Meniru Jejak Muktazilah dan Jahmiyah
Seperti diketahui dari banyak sekali literatur, manhaj Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyyah dan yang serupa dengan keduanya) dalam mempraktekkan prinsip Itsbat dan Tanzih ada dua, yakni: (1) Tafwidh, dan (2) Takwil. Metode Tafwidh dipakai oleh kebanyakan salaf Aswaja dan metode takwil dipakai oleh kebanyakan khalaf Aswaja. Kedua metode ini sama-sama menetapkan teks nash al-Qur’an dan hadis (itsbat) sekaligus mengingkari makna yang tidak layak bagi Allah (tanzih), semisal makna jismiyah dan huduts.
Rival utama Aswaja di masa salaf adalah Muktazilah dan Jahmiyah yang menuduh tafwidh sebagai ta'thil (penafian sifat) dan tajhil (pembodohan makna sifat).
Ketika Ahlussunah wal Jamaah misalnya berkata bahwa mereka mengimani ayat yang menyatakan bahwa Allah memiliki yad (terjemah literalnya adalah: tangan) namun sekaligus meyakini bahwa yad yang dimaksud pastilah bukan organ tubuh, maka Aswaja dituduh telah menafikan yad itu sendiri padahal mereka menetapkannya. Ketika Aswaja mengatakan bahwa makna yad tadi bukan organ tubuh tapi sifat yang hakikatnya hanya Allah saja yang tahu, yang jelas bukan jisim atau organ tangan, maka Aswaja disebut sedang melakukan pembodohan. Dituduh pembodohan sebab Aswaja mengaku tidak tahu makna spesifik yang Allah dan Rasulullah kehendaki dari nash itu, yang diketahui hanya makna globalnya saja yang dipahami dari konteksnya.
Itulah model kritik para Muktazilah dan Jahmiyah pada ulama Ahlussunah wal Jamaah yang mayoritas adalah ulama Asy'ariyah-Maturidiyyah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Furak, seorang pembesar Asy'ari yang menjadi ahli hadis rujukan di zamannya.
Beberapa abad setelah Muktazilah dan Jahmiyah dibungkam dan hilang dari panggung sejarah, datanglah Ibnu Taymiyah yang mengulangi kritik serupa pada para ulama Aswaja. Celaan dan ledekan bahwa Asy'ariyah telah melakukan ta'thil dan tajhil sebab telah mentafwidh tersebar di berbagai kitabnya, sebutlah misalnya kitab Dar'u at-Ta'arudl dan al-Hamawiyah. Apa yang dikatakan oleh Muktazilah dan Jahmiyah, diulangi persis oleh Ibnu Taymiyah hingga pada taraf yang sangat berlebihan seperti menuduh orang yang mentafwidh sebagai lebih jelek daripada yang mentakwil dan tafwidh adalah perkataan ahli bid'ah yang terburuk! Padahal, tafwidh sendiri adalah ajaran salafus shalih!
Bedanya, Ibnu Taymiyah mengatasnamakan Salaf sehingga pengikutnya yang minim literasi merasa bahwa kritik itu adalah kritik salaf pada Asy'ariyah-Maturidiyyah, padahal sebenarnya itu adalah kritik Muktazilah dan Jahmiyah yang dihidupkan kembali atas nama salaf dan sambil mendompleng nama Hanbaliyah, buhtanan wazuran.
Untunglah masih ada seorang Hanbali yang sadar akan hal ini dan menuliskan kekesalannya pada orang-orang mencoreng nama Hanbali tersebut, misalnya di SS di bawah ini.
Lucunya, para Taymiyun yang fanatik buta pada Ibnu Taymiyah mengaku bahwa tafwidh ala salaf adalah tafwidh kaifiyah saja, bukan tafwidh makna seperti dilakukan Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyyah). Mereka menyembunyikan fakta bahwa Tafwidh kaifiyah adalah metodenya para Mujassimah muslim. Seluruh mujassim yang masih bersyahadat sepakat bahwa kaifiyah jisim Allah tidak diketahui sebab Dia laisa kamitslihi syaiun.
Lalu ketika Taymiyun disebut mujassim, lantas mereka playing victim bahwa dulu Muktazilah dan Jahmiyah juga menuduh Aswaja sebagai mujassimah. Ya, benar bahwa Muktazilah dan Jahmiyah menuduh Aswaja (Asy'ariyah-Maturidiyyah) sebagai mujassim sebab menerapkan metode itsbat. Tapi tuduhan itu hanya tuduhan kosong sebab itsbat yang dilakukan Aswaja selalu disertai tanzih yang secara tegas menafikan kejisiman dari Allah. Adapun Wahabi-Taymiy sudah maklum sangat alergi pada siapa pun yang tanzih menyucikan Allah dari jisim sebab bagi mereka Allah itu berbentuk fisik, bervolume dan berlokasi fisik yang jelas artinya bahwa Allah itu jisim.
Pahami bagaimana metode ahli bid'ah dalam mengkritik Ahlussunah wal Jamaah agar selamat dari tipuan. Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad