32. Pembatal Puasa : Jima’
MARHABAN YA RAMADHAN
12 Ramadhan 1442 H - 24 April 2021
Oleh: Isnan Ansory
Pembatal puasa ketiga adalah melakukan jima’. Secara bahasa, istilah jima’ (الجماع) berasal dari kata jaama’a - yujaami’u - mujaama’atan wa jimaa’an (جامع – يجامع – مجامعة وجماعا) yang bermakna al-wath’u (الوطئ) atau hubungan seksual. Sedangkan makna yang lebih spesifiknya adalah masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan (iylaj dzakar fi faraj).(1)
Para ulama sepakat bahwa jima’ termasuk pembatal ibadah puasa. Adapun rinciannya, sebagaimana penjelasan berikut:
1) Jima’ Dengan Sengaja & Konsekuensinya
Para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ dengan sengaja termasuk membatalkan puasa. Di mana jima’ didefinisikan oleh para ulama sabagai masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu percumbuan yang belum sampai ke level persetubuhan belum dikatakan membatalkan puasa, selama tidak keluar mani.
Selain itu para ulama sepakat bahwa jima’ secara mutlak dapat membatalkan puasa, apakah sampai mengeluarkan air mani ataupun tidak.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(2)
لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا، فِي أَنَّ مَنْ جَامَعَ فِي الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ أَوْ لَمْ يُنْزِلْ، أَوْ دُونَ الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ، أَنَّهُ يَفْسُدُ صَوْمُهُ إذَا كَانَ عَامِدًا.
Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama bahwa siapapun yang menggauli istrinya pada kemaluannya, apakah sampai mengeluarkan air mani atau tidak, atau mencumbu istri dan keluar air mani, maka itu semua dapat membatalkan puasa, jika dilakukan dengan sengaja.
Dasar ketentuan bahwa jima’ dapat membatalkan puasa adalah firman Allah - ta’ala - berikut ini:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ (البقرة: 187)
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka... (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam ayat ini, Allah - ta’ala - menghalalkan bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual pada malam bulan Ramadhan. Pengertian terbaliknya adalah bahwa pada siang hari saat berpuasa, hukumnya diharamkan, alias jima’ itu membatalkan puasa.
Sebenarnya makna kata rafats dalam ayat ini, tidak mutlak bermakna jima’. Bahkan percumbuan, bermesraan, serta berciuman pun termasuk rafats. Namun karena Allah - ta’ala - meneruskan ayat ini dengan penegasan bahwa, “Kamu menjadi pakaian untuk mereka (istri) dan mereka menjadi pakaian untuk kamu,” maka menjadi jelas sekali bahwa yang dimaksud rafats di sini bukanlah percumbuan, melainkan jima’ itu sendiri.
Di samping itu, para ulama juga sepakat bahwa orang yang batal puasanya karena jima’ yang disengaja pada kemaluan, diwajibkan untuk membayar kaffarat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، هَلَكْتُ، قَال: مَا لَكَ؟ قَال: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَال رَسُول اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَل تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَال: لاَ. قَال: فَهَل تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَال: لاَ. قَال: فَهَل تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَال: لاَ. قَال: فَمَكَثَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ، أُتِيَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ، قَال: أَيْنَ السَّائِل؟ فَقَال: أَنَا، قَال: خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ، فَقَال الرَّجُل: عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُول اللَّهِ، فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ - أَهْل بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْل بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَال: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (متفق عليه)
Dari Abi Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - dan berkata: Celaka aku ya Rasulullah. Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertanya: “Apa yang membuatmu celaka ?.” Ia menjawab: Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan.” Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertanya: “Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?.” Ia menjawab: Aku tidak punya. Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertanya: “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?.” Ia menjawab: Tidak. Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertanya: “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?.” Oa menjawab: Tidak. Kemudian ia duduk. Lalu dibawakan kepada Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - sekeranjang kurma, maka Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkata: “Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi: Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di tempat ini kecuali aku. Maka Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - tertawa hingga terlihat giginya, lalu bersabda: “Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun, para ulama berbeda pendapat, apakah dengan dibayarkannya kaffarat, qodho’ puasa tetap wajib dilakukan?
Mazhab Pertama: Qodho’ tetap wajib atas suami istri.
Mayoritas ulama dari empat mazhab umumnya sepakat bahwa meskipun kaffarat telah dilakukan, qodho’ puasa tetap diwajibkan atas suami dan istri yang membatalkan puasanya dengan jima’.
Mereka mendasarkan pendapat ini kepada tambahan hadits tentang kaffarat di atas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِذَلِكَ فَقَالَ: «وَصُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ» (رواه ابن ماجه)
Dari Abi Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam - sebagaimana dalam hadits, beliau bersabda: “Berpuasalah satu hari untuk menggantinya.” (HR. Ibnu Majah)
Mazhab Kedua: Tidak wajib qodho’.
Salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i mengatakan bahwa qodho’ tidak lagi wajib dilakukan, jika salah satu dari tiga kaffarat telah ditunaikan. Sebab dalam hadits tentang shahabat yang puasanya batal karena jima’, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkannya untuk mengqodho’.
Mazhab Ketiga: Tidak wajib qodho’ jika kaffarat yang dilakukan adalah berpuasa dua bulan berturut-turut.
Pendapat ketiga dalam mazhab Syafi’i dan juga pendapat al-Awza’i mengatakan bahwa qodho’ tidak wajib dilakukan, namun dengan syarat bahwa kaffarat yang ditunaikan berupa puasa dua bulan berturut-turut.
---
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) menjelaskan ketiga pendapat di atas dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(3)
أَنَّ مَنْ أَفْسَدَ صَوْمًا وَاجِبًا بِجِمَاعٍ، فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، سَوَاءٌ كَانَ فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ، وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ: مَنْ لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمْ يَأْمُرْ الْأَعْرَابِيَّ بِالْقَضَاءِ. وَحُكِيَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: إن كَفَّرَ بِالصِّيَامِ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ.
Orang yang puasa wajibnya batal karena jima’, maka wajib atasnya qodho’, menurut mayoritas ulama. Adapun asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa ia hanya wajib membayar kaffarat, Sebab Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak memerintahkan shahabat yang batal karena jima’ untuk mengqodho’nya. Dan diriwayatkan dari al-Awza’i yang mengatakan bahwa jika ia membayar kaffarat dengan puasa 2 bulan berturut-turut, maka tidak wajib qodho’.
---
Penjelasan detail tentang kaffarat, akan dijelaskan pada babnya.
2) Jima’ Karena Lupa
Para ulama berbeda pendapat, apakah jima’ yang dilakukan di siang hari bulan Ramadhan karena lupa tersebut, dapat membatalkan ibadah puasa atau tidak.
Mazhab Pertama: Puasa tidak batal.
Mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat jima’ yang dilakukan karena lupa tidaklah membatalkan puasa. Asalkan penyebabnya benar-benar karena lupa, bukan pura-pura lupa.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(4)
إذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ أَوْ تَقَايَأَ أَوْ اسْتَعَطَ أَوْ جَامَعَ أَوْ فَعَلَ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ مُنَافِيَاتِ الصَّوْمِ نَاسِيًا لَمْ يُفْطِرْ عِنْدَنَا سَوَاءٌ قَلَّ ذَلِكَ أَمْ كَثُرَ.
Jika orang yang berpuasa melakukan makan, minum, muntah, memasukkan sesuatu ke rongga tubuh, jima dan perbuatan lainnya yang dapat membatalkan puasa karena sebab lupa, maka puasa yang dilakukan saat tidaklah batal menurut mazhab kami. Dan sama saja kuantitasnya, mau sedikit ataupun banyak.
Pendapat ini mereka dasarkan kepada qiyas atas orang yang makan dan minum di siang hari karena terlupa, dimana para ulama sepakat bahwa makan minum karena lupa tidak membatalkan puasa.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (رواه البخاري)
Dari Abi Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -, bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Barangsiapa yang makan dan minum karena lupa, maka lanjutkanlah puasanya. Karena Allah - ta’ala - telah memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari)
Mazhab Kedua: Puasanya batal.
Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa meskipun lupa, namun bila orang yang berpuasa itu melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan, tetap saja puasanya batal.
Alasannya, karena dalam kasus seorang laki-laki yang mengaku telah celaka karena melakukan hubungan suami istri, Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tidak menanyakan apakah hal itu terjadi karena lupa atau bukan. Beliau - shallallahu ‘alaihi wasallam - dalam kasus itu, langsung memerintahkannya untuk membayar kaffarah, tanpa menyelidiki terlebih dahulu urusan lupa atau tidak lupa.
Hanya saja, kedua mazhab ini kemudian berbeda pendapat akan konsekuensi yang wajib dilakukan. Mazhab Maliki berpendapat bahwa orang yang berpuasa dan batal puasanya karena hubungan seksual yang lupa, hanya diwajibkan untuk menqodho’. Sedangkan Mazhab Hanbali mewajibkan kaffarat dan qodho’ sebagaimana batalnya puasa karena hubungan seksual yang disengaja.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(5)
أَنَّهُ جَامَعَ نَاسِيًا، فَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ كَالْعَامِدِ. ... وَكَانَ مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَاللَّيْثُ، يُوجِبُونَ الْقَضَاءَ دُونَ الْكَفَّارَةِ؛ لِأَنَّ الْكَفَّارَةَ لِرَفْعِ الْإِثْمِ، وَهُوَ مَحْطُوطٌ عَنْ النَّاسِي.
Jika orang yang berpuasa melakukan jima’ karena sebab lupa, maka menurut zhahir mazhab Hanbali, hukumnya sama seperti jika melakukan jima dengan sengaja (puasa batal, dan wajib qodho’ serta kaffarat) … Adapun mazhab Malik, al-Awza’i dan al-Laits, maka mereka hanya mewajibkan qodho’ tanpa kaffarat. Sebab kafarat diwajibkan untuk menghapus dosa. Dan tidak ada dosa atas perbuatan yang dilakukan karena lupa.
3) Sahkah Puasa Seorang Yang Berimsak Dalam Kondisi Junub?
Maksud dari puasa dalam keadaan junub adalah seorang yang memulai untuk melakukan imsak puasa, namun di malam harinya ia mengalami janabah dan belum sempat untuk mandi janabah dalam rangka untuk mengangkat hadats besarnya.
Umumnya para ulama telah bersepakat bahwa hal tersebut tidaklah menghalanginya untuk tetap melakukan puasa. Dalam arti, meski dalam keadaan janabah atau berhadats besar, puasanya tetaplah sah.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(6)
أَنَّ الْجُنُبَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ الْغُسْلَ حَتَّى يُصْبِحَ، ثُمَّ يَغْتَسِلَ، وَيُتِمَّ صَوْمَهُ، فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Orang yang junub di malam hari, boleh baginya menunda mandi janabah hingga shubuh. Kemudian ia mandi dan melanjutkan puasanya. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.
Kesepakatan ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ سَأَلَ أُمَّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا -، عَنِ الرَّجُلِ يُصْبِحُ جُنُبًا أَيَصُومُ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ، ثُمَّ يَصُومُ» (متفق عليه)
Dari Sulaiman bin Yasar, ia bertanya kepada Ummi Salamah - radhiyallahu ‘anha -, tentang seseorang yang berada di pagi hari dalam kondisi junub, apakah ia sah berpuasa. Ummu Salamah menjawab: “Bahwa Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjanabah bukan karena mimpi (tapi karena jima’), kemudian beliau tetap berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim)
Adapun riwayat shahabat Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -, atas suatu hadits yang mengandung hukum sebaliknya, ditafsirkan oleh banyak ulama sebagai anjuran semata. Dalam arti hendaknya orang yang junub di malam hari, sebisa mungkin sudah dalam kondisi suci dari hadats saat memulai puasa. Bahkan diriwayatkan bahwa shahabat Abu Hurairah telah rujuk dari pendapatnya, yang awalnya mengatakan bahwa puasanya batal.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(7)
وَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ: لَا صَوْمَ لَهُ. وَيَرْوِي ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ، قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: رَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ فُتْيَاهُ.
Dahulu Abu Hurairah berpendapat bahwa puasanya tidak sah, lalu meriwayatkan hadits dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam – yang menguatkan pendapatnya itu. Namun kemudian beliau rujuk dari pendapatnya, dimana Said bin al-Musayyib berkata: Abu Hurairah telah rujuk dari fatwanya.
Para ulama juga sepakat bahwa maksud dari janabah dalam hal ini adalah janabah karena sebab selain haid dan nifas. Di mana jika janabah itu disebabkan oleh haid atau nifas dalam arti haid dan nifasnya masih berlangsung, tentu hukumnya tetaplah terlarang untuk berpuasa.
4) Sahkah Puasa Seorang Yang Mencium atau Mencumbu Istrinya?
Para ulama sepakat bahwa berciuman dengan istri tidaklah membatalkan puasa. Hanya saja, jika seseorang melakukannya saat syahwat sedang bergelora, sementara ia tidak bisa mengendalikan nafsunya, maka hal tersebut dimakruhkan untuk dilakukan. Karena berkobarnya syahwat dapat menyebabkan rusaknya puasa, dengan sebab keluarnya air mani atau terjadinya jima’.
Namun jika ia bisa menahan nafsunya dari hal-hal yang dapat merusak puasanya, maka tidak mengapa, karena Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - pernah mencium istrinya saat sedang berpuasa.
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ» (متفق عليه)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - mencium dan mencumbu istrinya saat beliau berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ، وَأَنَا صَائِمَةٌ» (أخرجه أبو داود)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - menciumku, saat dirinya dan diriku berpuasa. (HR. Abu Dawud)
-------------------------
(1) Al-Mubarak bin Muhammad Ibnu al-Atsir al-Jazari, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399/1979), hlm. 5/200.
(2) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/134.
(3) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/134.
(4) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/324.
(5) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/135-136.
(6) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/148.
(7) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/148.
Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
- Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
- Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
- Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
- Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
- Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
- Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
- Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
- Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
- Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
- Pembatal Puasa : Jima’
- Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
- Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
- Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
- Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
- Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
- Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
24 April 2021