Hadits Jabir dan Akidah Muhaqqiqin

Hadits Jabir dan Akidah Muhaqqiqin

HADITS JABIR DAN AKIDAH MUHAQQIQIN

Selain beberapa nama ulama yang sudah penulis ketengahkan sebelumnya, ulama lain yang mengakui keberawalan Nur Muhammad itu ialah Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, ‘alim al-Haramain as-Syarifain. Pengakuan itu ia tuangkan, antara lain, dalam kitab ad-Dzakhair al-Muhammadiyyah. Menariknya, salah satu hadits yang beliau kutip ialah hadits Jabir, yang dikatakan lemah/palsu oleh sebagian pihak itu. 

Diakui atau tidak, kendatipun ada yang menilainya demikian, hadits ini memang sering dikutip oleh para ulama besar. Kesahihan dari makna hadits ini diakui oleh mereka (termasuk yang memandangnya palsu). Tak terkecuali oleh Sayyid Muhammad. Karena itu, sebagai bentuk kehati-hatian, mestinya kita tidak menelan mentah-mentah pendapat yang mendhaifkan/memalsukan hadits itu. Karena penghukuman ulama terhadap hadits itu biasanya memang berbeda-beda. 

Apa yang dihukumi lemah oleh sebagian ulama, boleh jadi punya derajat lebih baik di mata ulama yang lain. Ulama sekelas al-Maliki pasti tahu bahwa akidah itu tidak bisa dibangun di atas hadits lemah apalagi palsu. Tapi harap diingat bahwa hadits itu memiliki syawahid dari hadits-hadits lain. Dengan redaksi yang berbeda-beda. Di samping, seperti yang sudah kita katakan sebelumnya, ia juga didukung oleh, sekaligus tidak bertentangan dengan, ayat al-Quran. 

Yang ingin saya soroti lebih jauh ialah komentar Syekh Jamal Faruq, seorang pakar Ilmu Kalam dari Universitas al-Azhar terkait hadits itu. Syekh Jamal—yang memberikan catatan pinggir untuk kitab ini—juga termasuk ulama yang menganut akidah Nur Muhammad. Dan mengakuinya sebagai makhluk pertama. Secara tegas dan gamblang ia menyebutkan bahwa itulah akidah yang dianut oleh para ulama muhaqqiqin (level ulama yang tingkat keilmuannya mendalam). 

Mengingat bahwa beliau adalah ulama al-Azhar, maka guru-guru beliau tentu dari ulama al-Azhar juga. Artinya, akidah Nur Muhammad ini, jika merujuk pada pengakuan Syekh Jamal, adalah akidah para ulama besar al-Azhar. Dan beberapa di antara mereka masih hidup sampai sekarang. Kata beliau, setelah menjelaskan hadits seputar Nur Muhammad itu:

هذا وما عليه عقيدة أشياخنا وأئمتنا من العلماء العاملين وأهل المعرفة والمحققين أن أول المخلوقات على الإطلاق نور نبينا صلى الله عليه وسلم، فهو أول مخلوق للذات العلية وبواسطته وسببه وجدت جميع الكائنات العلوية والسفلية.

“Inilah akidah yang dianut oleh guru-guru kami, para imam kami dari kalangan ulama yang mengamalkan ilmunya, juga ahli ma’rifat dan ulama muhaqqiqin, yaitu bahwa makhluk pertama secara mutlak ialah cahaya nabi kita Saw. Dialah makhluk pertama (yang diciptakan oleh) dzat yang Maha tinggi. Dengannya dan melaluinya lah diciptakan seluruh makhluk di langit dan di bumi.”

Harap diingat bahwa pengakuan ahli—yang keahliannya dalam akidah sudah teruji—tidaklah sama dengan pengakuan orang awam. Pengakuan mereka layak untuk dipertimbangkan karena pasti berasaskan ilmu. Bukan hawa nafsu. Syekh Jamal menyebut keyakinan Nur Muhammad sebagai akidah para ulama besar, ahli ma’rifat dan para ulama yang dalam pengetahuannya (muhaqqiqin). Jika kita masih bersikukuh menyebut akidah ini sebagai akidah yang batil, maka masalah ada pada kita. Bukan pada mereka. 

Mengomentari Hadits Jabir

Masing-masing dari Syekh Jamal dan Sayyid Muhammad sama-sama mengutip hadits Jabir. Pasti akan muncul pertanyaan, kenapa kok bisa keduanya membangun akidah di atas hadits yang bermasalah? Syekh Jamal, dalam komentarnya, berharap agar orang-orang ini bersikap tenang dan tidak terburu-buru dalam memastikan kepalsuan hadits. Dan hendaklah, kata beliau, mereka “memerhatikan kedudukan para ulama dan huffazh” (yura’i qadraham).

Sebab, katanya, hadits ini disebutkan oleh banyak huffazh dalam kitab mereka tanpa diberikan komentar. Bagaimana mungkin, tanya Syekh Jamal, bisa memastikan kepalsuan hadits tanpa mendudukkan sanadnya terlebih dulu? Ia disebutkan oleh para ulama besar. Dan tentunya juga termasuk Sayyid Muhammad, yang juga dikenal sebagai pakar hadits itu. Sekiranya memang hadits itu lemah secara mutlak, dan tidak boleh dijadikan sandaran, lantas kenapa mereka masih menyebutnya?

Beberapa orang mungkin memahami hadits itu sebagai bentuk afirmasi bahwa nabi adalah bagian dari cahayanya Allah. Dan Allah itu sendiri disebut sebagai cahaya. Berhubung ini akidah yang batil, maka boleh jadi ada orang yang memandang palsu hadits tersebut berdasarkan pemahaman itu. Tapi, kata Syekh Jamal, memandang lemah hadits Jabir dengan merujuk pada konsepsi yang salah itu tidaklah tepat (ghair sadid).

Sebab, tegasnya lebih lanjut, hadits itu bisa dimaknai dengan makna yang lurus. Yaitu bahwa penisbatan “min” di sana bukan bermakna “sebagian” (tab’idh), tapi itu bermakna “tasyrif” (pemuliaan). Seperti halnya kata ruh yang dinisbatkan kepada Allah dalam sebuah ayat. Bukan berarti Allah itu punya ruh, lalu ruh itu keluar dari dzat Allah, dan kemudian ditempelkan ke makhluknya. Tapi itu penisbatan yang bermakna pemuliaan secara khusus.

Ringkas kata, Syekh Jamal tidak mempersoalkan makna hadits itu, seperti para ulama yang sudah penulis kutip sebelumnya. Juga tidak membatilkan akidah Nur Muhammad selama ia dikonsepsikan dengan bangunan akidah yang lurus. Dan memang itulah yang kami imani. Hadits itu dijadikan rujukan karena memiliki syawahid dari hadits yang lain. Beberapa di antaranya adalah hadits sahih, seperti dihukumi oleh Sayyid Muhammad sendiri.

Dengan penjelasan ini lagi-lagi saya ingin mengatakan, bahwa fakta adanya ulama yang melemahkan hadits Jabir itu nggak bisa dijadikan satu-satunya sandaran untuk membatalkan akidah Nur Muhammad. Penghukuman mereka masih memerlukan peninjauan ulang. Karena ada banyak ulama huffazh, seperti disebut Syekh Jamal sendiri, yang menyebutkan hadits ini di kitab-kitab mereka tanpa diberikan komentar. Maulana al-Maliki adalah ahli hadits. Syekh Jamal adalah ahli akidah. Dan keduanya mengamini akidah Nur Muhammad.

Kesahihan makna hadits tersebut diakui oleh banyak ulama. Jika maknanya diakui sahih, dan dia memilik pendukung dari hadits-hadits lain, di samping juga penguat dari isyarat-isyarat al-Quran, maka membangun akidah di atasnya—kendatipun bersifat zhanni, karena ini termasuk furu—tentu tidak sepenuhnya keliru. Karena ketika itu kita tidak hanya membangun akidah di atas pijakan yang lemah. Tapi dalil-dalil yang saling menguatkan satu sama lain, seperti yang ditunjukkan oleh kedua tokoh itu. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Baca juga kajian tentang Nur Muhammad Berikut:

Yang Pro tentang Nur Muhammad :

Yang Kontra tentang Nur Muhammad : 

Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hadits Jabir dan Akidah Muhaqqiqin - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®