Percuma Ayahnya Imam?
Oleh Ustadz : Rahmat Taufik Tambusai
Seorang ustazah yang sedang viral dalam salah satu ceramahnya, merendahkan seorang tokoh, karena anak sang tokoh terpapar narkoba, yang mana sang ayah getol mengkampanyekan bahaya narkoba melalui syair - syair lagunya. Dengan nada mengejek ustazah viral tersebut menyebut nama sang tokoh.
Jika benar yang disampaikan oleh ustazah viral tersebut, maka masuk dalam bab ghibah, menggunjing dan menyebutkan keburukan orang lain, hukumnya haram. Seandainya tidak benar maka masuk dalam bab fitnah, menuduh seseorang tanpa bukti, hukumnya juga haram.
Kejadian serupa banyak terjadi di tengah masyarakat islam, terutama di kalangan orang awam, yang mana mereka lecehkan rata - rata Imam masjid, ulama dan tokoh agama disebabkan perilaku dari istri, anak, saudara atau keluarga mereka yang tidak menjalankan syariat islam dengan baik dalam kehidupan sehari - hari.
Percuma suaminya imam masjid tetapi istrinya tidak pakai hijab, percuma ayahnya imam, sedangkan anaknya narkoba, atau percuma abangnya ustad tetapi untuk mengatur saudaranya saja tidak bisa, ini diantara bentuk kalimat yang biasa digunakan untuk merendahkan.
Seandainya mereka yang suka melecehkan imam, ulama dan tokoh agama karena kekurangan anak, istri dan saudara, jika hidup pada masa nabi Nuh, nabi Luth, nabi Ibrahim dan nabi Muhammad maka mereka akan merendahkan para nabi tersebut, karena anak, istri dan saudara mereka ada yang tidak beriman kepada Allah, maka akan keluar dari lisan mereka, percuma sebagai nabi, anaknya saja tidak bisa diajaknya kepada agamanya.
Dan mereka yang suka merendahkan imam dan ulama karena kekurangan dari anak, istri dan keluarganya, pada hakikatnya mereka secara tidak langsung telah melecehkan para nabi.
Nabi Nuh anaknya tidak beriman kepadanya, nabi Luth istrinya durhaka kepadanya, nabi Ibrahim pamannya pemahat patung untuk disembah, dan nabi Muhammad dua orang pamannya tidak mengakui kenabiannya.
Jika dibandingkan, anak imam dan ulama dengan anak dan istri nabi masih mendingan karena anak dan istri mereka masih beriman kepada Allah, sedangkan anak, istri dan keluarga nabi kafir kepada Allah. Mungkin seandainya kita hidup pada masa nabi, bisa jadi kita tidak beriman kepada nabi, karena melihat perangai dari pada anak, istri dan keluarganya nabi.
Seharusnya ketika kita menemukan kasus seperti ini, mendoakan agar anak atau istri imam diberikan petunjuk, bukan menggibahnya dan merendahkan sang imam karena kekurangan keluarganya, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan saling menguatkan bukan menjatuhkan.
Bukankah ukuran iman seorang muslim dapat diukur dengan sejauh mana ia mencintai saudaranya, sedangkan menggunjing dan memapar aib seseorang termasuk busuk hati.
Kadang yang lebih parah, mengatakan imam atau ulama tersebut telah banyak melakukan kesalahan, sehingga anak atau istrinya tidak bisa diatur, padahal bisa jadi itu semua ujian dari Allah, sabar atau tidaknya pak imam, karena berat ringannya ujian tergantung besar kecil kadar iman.
Agar kita tidak terjerumus ke dalam kubang ghibah dan namimah, maka husnu zhon kita jadikan panglima dalam interaksi sesama muslim, sehingga ikatan persaudaraan sesama muslim tidak rusak.
Dalu - dalu, Rabu 17 April 2024
Yuk umroh bersama Azkia Group #MelayaniTamuAllahKemuliaanBagiKami
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa