Pembagian Bid'ah Menurut Jumhur Ulama

Pembagian Bidah Menurut Jumhur Ulama

𝗣𝗘𝗠𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗕𝗜𝗗’𝗔𝗛 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗝𝗨𝗠𝗛𝗨𝗥 𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

Diantara hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan mereka yang mudah menuduh bid’ah amalan orang lain adalah bahwa pada kenyataanya mayoritas ulama justru masih mengklasifikasikan bid’ah itu menjadi beberapa bagian.

Selama ini mereka menganggap bahwa pernyataan bahwa tidak semua perkara bid’ah itu berarti sesat, sebagai pendapat yang didasari hawa nafsu dan tanpa landasan ilmu. 

Padahal, jika mereka ini mau sedikit serius mengkaji masalah ini, mereka tidak akan mudah menuduh dan melontarkan vonis keji terhadap pendapat orang lain yang berseberangan dengan mereka.

Karena istilah bid’ah Hasanah itu hal yang sangat lazim dan banyak digunakan oleh para ahli ilmu dalam menjelaskan sebagian status perkara dalam kitab-kitab mereka.

Berikut ini kami himpunkan beberapa pendapat para imam kaum muslimin dari lintas madzhab yang empat yang mana tidaklah diragukan lagi kedudukan mereka di tengah-tengah umat, selamat menyimak.

𝟭. 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗳𝗶𝘆𝗮𝗵

Al imam Ibnu Abidin rahimahullah berkata :

هذا لا بأس بكتابة أسامي السور وعد الآي وعلامات الوقف ونحوها فهي ‌بدعة ‌حسنة

“Maka hal ini tidak mengapa seperti menulis nama-nama surah al Qur’an, menyebutkan nomor ayatnya, tanda waqaf dan hal semisal karena termasuk perkara bid’ah hasanah.”[1]

Al Imam Badrudin al ‘Aini rahimahullah berkata :

والبدعة لغة كل شَئ عمل على غير مثال سابق، وشرعًا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهى على قسمين: بدعة ضلالة، وبدعة حسنة، وهى ما رآه المسلمون حسنًا، ولا يكون مخالفًا للكتاب أو السنة أو الإجماع

“Bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu dari pekerjaan yang tidak ada pendahulunya sebelumnya. Sedangkan secara istilah syar’i adalah hal baru yang tidak ada sumbernya di masa Nabi shalallahu’alaihi wassalam.

 Dan itu terbagi menjadi dua : Bid’ah yang sesat dan bid’ah yang baik. Bid’ah yang baik adalah apa yang dinilai baik oleh muslimin yang keadaannya tidak menyelisihi al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.”

Syaikh Nuruddin Abul Hasan al Qari rahimahullah berkata :

والقصد مع التلفظ بما يدل عليه أفضل منه بلا تلفظ، لأن اللسان ترجمان الجنان، وهذا ‌بدعة ‌حسنة استحسنها المشايخ للتقوية، أو لدفع الوسوسة

“Adapun tujuan melafadzkan niat dengan tujuan tersebut, maka ia lebih baik dari tidak melafadzkan. Karena lisan itu akan menuntun hati. Dan ini termasuk perkara bid’ah yang baik, para ulama menganggapnya sebagai hal baik karena bisa menguatkan hati dan menghilangkan keraguan.”[2]

Syaikh Muhammad bin Ali al Askafi rahimahullah berkata :

إظهار إعرابه، به يحصل الرفق جدا خصوصا للعجم فيستحسن وعلى هذا لا بأس بكتابة أسامي السور وعد الآي وعلامات الوقف ونحوها فهي ‌بدعة ‌حسنة

 “Menyebutkan I’rabnya (dengan memberikan titik dan baris pada mushaf al Qur’an), atau menguraikan hal -hal yang tidak dipahami oleh orang-orang selain Arab, maka ini adalah hal yang baik. Dan juga tidak mengapa menuliskan nama-nama surah, jumlah ayat, tanda waqaf dan hal semisalnya karena ini termasuk perbuatan bid’ah yang baik.”[3]

Syaikh Husain bin Ali as Saghnafi rahimahullah berkata :

فهو وإن كان إحداثًا فهو بدعة حسنة، وكم من شيء يختلف باختلاف الزمان والمكان

 “...Maka perkara ini jika ia dianggap sebagai hal baru, dia adalah bid’ah hasanah. Dan berapa banyak perkara yang hukumnya berbeda karena perbedaan waktu dan tempat.”[4]

Syaikh Ibnu Najim al Mishri rahimahullah berkata :

وزاد في شرح المنية أنه لم ينقل عن الأئمة الأربعة أيضا فتحرر من هذا أنه ‌بدعة ‌حسنة عند قصد جمع العزيمة

“...Dan ada keterangan tambahan dalam kitab Syarh al Maniyah bahwa perkara ini juga tidak dinukil dari satu pun ulama madzhab yang empat, maka kesimpulan tentang hal ini ia termasuk bid’ah hasanah karena membantu untuk menguatkan tekad di dalam hati.”[5]

Beliau juga berkata :

كان في أيام السلطان الناصر صلاح الدين ...والصواب من الأقوال أنها ‌بدعة ‌حسنة

 “Hal tersebut (adanya muadzin yang membangunkan untuk shalat malam) terjadi di masa sultan Shalahuddin... Dan yang benar menurut ini adalah termasuk bid’ah hasanah.”[6]

Al imam Hasan Sindi rahimahullah :

‌أريد ‌بها ‌ما ‌ليس ‌له ‌أصل ‌في ‌الدين ‌وأما ‌الأمور ‌الموافقة ‌لأصول ‌الدين فغير داخلة فيها وإن أحدثت بعده

“Yang dimaksudkan (bid’ah) adalah perkara yang tidak memiliki asal dalam agama. Adapun perkara yang masih bersesuaian dengan asal agama dan kaidah-kaidanya maka itu tidak masuk ke dalam perkara bid’ah meskipun itu perkara baru yang dikerjakan setelah beliau shalallahu’alaihi wassalam.”[7]

𝟮. 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗠𝗮𝗹𝗶𝗸𝗶𝘆𝗮𝗵

Al Imam az Zarqani rahimahullah berkata :

فسماها بدعة...  ‌وهي ‌لغة: ‌ما ‌أحدث ‌على ‌غير ‌مثال ‌سبق، وتطلق شرعًا على مقابل السنة، وهي ما لم يكن في عهده صلى الله عليه وسلم ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة

“Itu dinamakan Bid’ah .. Secara bahasa bid’ah adalah perkara yang tidak ada contoh sebelumnya. Dan secara istilah syar’i yaitu perkara yang bertentangan dengan sunnah.  Yaitu yang tidak ada di masa Nabi shalallahu’alaihhi wassalam. Dan hukum bid’ah terbagi menjadi lima hukum...”[8]

Al imam ad Dusuqi rahimahullah berkata :

كما أن ما يفعل ليلا من الاستغفارات والتسابيح والتوسلات فهو ‌بدعة ‌حسنة

“..Sebagaimana yang dilakukan di malam hari (yang dibaca oleh muadzin) berupa istighfar, tasbih dan doa-doa ini adalah bid’ah yang baik.”[9]

Al imam ar Ru’aini rahimahullah berkata :

والحاصل أن التسبيح والتذكير محدث قطعا وإنما الخلاف هل هو ‌بدعة ‌حسنة أو مكروهة؟ فقال كثير من العلماء: إنه ‌بدعة ‌حسنة

“Kesimpulannya bacaan tasbih dan pengingat (yang dikumandangkan oleh muadzin di akhir malam)  yang merupakan hal baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah yang dimakruhkan ? Dan berkata kebanyakan ulama : ia adalah termasuk bid’ah hasanah.”[10]

Al imam Shawi rahimahullah berkata :

إذا كانت نفوس الحاضرين تأنف من ترك الغسل، أو يكون من في المجلس يده تحتاج للغسل ويقتدي به، وبالجملة غسل اليد قبل الطعام وإن لم يكن سنة عندنا فهو ‌بدعة ‌حسنة

“Jika jama’ah yang hadir di sebuah majelis tidak hendak mencuci tangan, atau ada yang di majelis tersebut hendak mencucinya, dan diikuti oleh yang lain (ini tidak mengapa). Meskipun mencuci tangan sebelum makan itu bukan termasuk perkara sunnah, tapi menurut kami ini adalah perkara bid’ah yang baik.”[11]

Beliau juga berkata :

إن ما يفعل ليلاً من الاستغفارات والتسابيح والتوسلات هو ‌بدعة ‌حسنة

“Apa yang dilakukan di malam hari (oleh muadzin) dengan membaca istighfar, tasbih atau doa-doa ini adalah perkara baru yang baik.”[12]

Al Imam Ibnu Hajj rahimahullah berkata :

وكم من صلاة مقبولة مشتملة على وصف خاص لم يرد بوصفها ذلك نص خاص من كتاب ولا سنة ثم لا يقال إنها بدعة ولو قال قائل إنها بدعة لقال مع ذلك إنها ‌بدعة ‌حسنة لكونها راجعة إلى أصل من الكتاب والسنة

“Dan berapa banyak jenis shalat sunnah yang diterima yang ia meliputi jenis-jenis shalat yang tidak diriwayatkan secara khusus dalam al Kitab dan as Sunnah (seperti shalat sunnah hingga 300 raka’at) tapi ia tidak dikatakan bid’ah. 

Seandainya ia disebut bid’ah maka ia termasuk jenis bid’ah Hasanah. Karena yang disebut bid’ah hasanah itu adalah setiap perkara yang sebenarnya secara asalnya ada dasar dari al Kitab dan juga as Sunnah.”[13]

Al imam Ibnu Mawaz rahimahullah :

وقيام رمضان نافلة، وللخواص اكتساب، والجمع فيه ‌بدعة ‌حسنة

 “Shalat sebulan penuh Ramadhan dan mengkhususkan mencari ganjaran serta berkumpul dalam ibadah padanya adalah termasuk perbuatan bid’ah yang baik.”[14]

Syaikh Muhammad bin Muhammad asy Syinqithiy rahimahullah berkata :

الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم عقب الأذان بدع  أول حدوثها زمن الناصر صلاح الدين يوسف بن أبي أيوب في أذان العشاء ليلة الجمعة... واستمر إلى يومنا والصواب أنَّه ‌بدعة ‌حسنة

“Pembacaan shalawat kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam sesudah adzan adalah bid’ah. Orang yang pertama kali melakukan perkara baru ini adalah an Nashir Shalahuddin al Ayubi di waktu shalat Isya di malam Jum’at... lalu berlanjut hingga zaman kita ini. Dan yang benar ini hukumnya bid’ah hasanah.”[15]

Al imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :

... وإبتداؤه فما كان من ذالك في الدين خلافا للسنة التى مضى عليها العمل فتلك بدعة لا خير فيها وواجب ذمها والنهي عنها والأمر بجتنابها وهجران مبتدعها إذا تبين له سؤ مذهبه وما كان من بدعة لاتخالف أصل الشريعة والسنة فتلك نعمت البدعة.

“…Makanya jika bid’ah itu terjadi di dalam perkara agama yang menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka bid’ah itu tidak baik dan wajib mencela dan melarangnya dan wajib pula menyuruh menjauhi dan meninggalkan pelakunya, jika sudah jelas keburukan alirannya. Sedangkan perkara bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariah dan sunnah, maka itulah sebaik-baik bid’ah.”[16]

𝟯. 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶'𝗶𝘆𝗮𝗵

Al imam Syafi’i rahimahullah Berkata :

البدعة ‌بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم

 “Bid’ah ada dua, bid'ah yang terpuji dan yang tercela. Bid'ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid'ah yang terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah tercela.”[17]

المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابًا أو سنة أو أثرًا وإجماعا فهذه البدعة الضلالة.

والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لو أحدث من هذا فهي محدثة غير مذمومة

 “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua, yang pertama yang menyelisihi kitab dan sunnah atau atsar atau Ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat. 

Sedangkan yang kedua adalah perkara-perkara baru yang baik yang tidak menyelisihi hal yang telah disebutkan. Seandainya seseorang melakukan perkara baru seperti ini maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela.”[18]

Al imam Izz bin Abdussalam rahimahullah berkata :

‌البدعة ‌فعل ‌ما ‌لم ‌يعهد ‌في ‌عصر ‌رسول ‌الله ‌صلى ‌الله ‌عليه ‌وسلم وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة

“Bid’ah adalah perkara yang tidak dilakukan di masa Nabi shalallahu’alaihi wassalam, yang ia terbagi menjadi beberapa ragam, yaitu : Bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah.

Jalan untuk mengetahui jenis-jenisnya adalah dengan melihat keselarasannya dengan kaidah-kaidah syariat. Kalau ia masuk ke dalam kaidah wajib, maka ia wajib, jika masuk ke dalam kaidah yang haram maka ia hukumnya haram. 

Kalau ia masuk ke dalam kaidah yang sunnah hukumnya ikut sunnah, jika ia masuk ke kaidah yang makruh hukumnya makruh, dan jika ia masuk ke dalam kaidah yang mubah hukumnya juga ikut mubah.”[19]

Al imam Baihaqi rahimahullah berkata :

حدثنا الشافعي قال: ‌المحدثات ‌من ‌الأمور ‌ضربان. أحدهما: ‌ما ‌أحدث ‌يخالف ‌كتاباً ‌أو ‌سنة ‌أو ‌أثراً ‌أو ‌إجماعاً. ‌فهذه ‌البدعة ‌الضلالة

“Telah menyampaikan kepada kami Asy Syafi’i : perkara baru itu terbagi menjadi dua : Salah satunya adalah yang menyelisihi al Kitab atau as Sunnah atau Atsar atau Ijma’ maka ini disebut dengan bid’ah yang sesat.”[20]

Al imam Ghazali rahimahullah berkata :

فهذه بدعة إلا أنها ‌بدعة ‌حسنة وإنما البدعة المذمومة ما تضاد السنن الثابتة وأما ما يعين على الإحتياط في الدين فمستحسن

 “... Semua hal baru ini bid’ah, hanya saja ini termasuk bid’ah yang baik. Sedangkan bid’ah yang tercela adalah apa yang bertentangan dengan as Sunnah yang telah shahih. Adapun perkara yang membantu tertunaikannya agama maka itu hal yang baik.”[21]

Al imam Nawawi rahimahullah berkata :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات ‌الباطلة ‌والبدع ‌المذمومة ‌وقد ‌سبق ‌بيان ‌هذا

 “Dalam hadits ini  ada pengkhususan untuk hadits “semua hal baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. Maksud hadits tersebut adalah bid’ah yang bathil dan bid’ah yang tercela. Dan telah kami jelaskan masalah ini di bahasan sebelumnya...”[22]

Al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :

...وتطلق في الشرع قى مقابلة السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إنكانت مما تندرج تحت مستحسن فى الشرع فهي حسنة وإنكانت مما تندرج تحت مستقبح فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح.

“Dalam istilah syar’i bid’ah itu lawan kata dari istilah as Sunnah, bid’ah itu adalah sesuatu tercela. Dan bila diperinci, jika bid’ah itu masuk ke dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka ia termasuk bid’ah hasanah. 

Jika masuk ke dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka ia termasuk kelompok bid’ah tercela. Dan jika tidak termasuk ke dalam naungan keduanya, maka ia bisa menjadi salah satu bagian bid’ah yang berstatus mubah.”[23]

Al imam Jalaluddin as Suyuthi rahimahullah berkata :

وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحًا فهو عند الله قبيح. وهذا مما رآه المسلمون حسنًا فهو مستحسن عند الله. والبدعة على وجهين: بدعة قبيحة، ‌وبدعة ‌حسنة

“Telah bersabda Nabi shalallahu’alaihi wassalam : ‘Apa yang dipandang baik oleh umumnya orang Islam maka itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh orang Islam maka itu juga keburukan di sisi Allah.’

Karena itulah apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dari (hal-hal baru) maka itu akan dinilai baik pula oleh Allah.  Sehingga bid’ah itu terbagi menjadi dua : Bid’ah yang buruk dan bid’ah yang baik.”[24]

Al imam Qurthubi rahimahullah berkata :

من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شي ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شي  ‌وهذا ‌إشارة ‌إلى ‌ما ‌ابتدع ‌من ‌قبيح ‌وحسن، وهو أصل هذا الباب

“Dan siapa dalam Islam membuat sunnah yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan juga pahala dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang-orang yang mengikuti tersebut sedikitpun.

Dan siapa yang membuat sunnah yang buruk di dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengikutinya tanpa megurangi dosa orang-orang yang mengikutinya tersebut sedikitpun.

(hadist) ini menjelaskan bahwa perkara-perkara baru itu ada yang baik dan ada pula yang buruk. Dan ini merupakan akar permasalahan dalam bab ini.”[25]

𝟰. 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮𝗵

Al imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata :

وقد جرت محدثات لا تصادم الشريعة ولا يتعاطى عليها فلم يروا بفعلها بأسا

 “Dan telah terjadi hal-hal baru yang ia tidaklah bertentangan dengan syariat dan tidak juga menjatuhkan syariat maka hal yang demikian itu tidaklah mengapa.”[26]

 Al Imam Ibnu Rajab al Hanbali. Meskipun dalam banyak karyanya Al imam Ibnu Rajab al Hanbali cenderung kepada mendukung pendapat yang tidak menerima adanya bid’ah hasanah, namun beliau rahimahullah juga berkata :

وكثير من الأمور التي أحدثت ولم تكن قد اختلف العلماء في أنها هل هي ‌بدعة ‌حسنة ترجع إلى السنة أم لا؟

فمنها كتابة الحديث: نهى عنه عمر وطائفة من الصحابة، ورخَّص فيه الأكثرون؛ واستدلوا له بأحاديث من السنة.

ومنها كتابة تفسير الحديث والقرآن، كرهه قوم من العلماء، ورخّص فيه كثير منهما وكذلك اختلافهما في كتابة الرأي في الحلال والحرام ونحوه. وفي توسعة الكلام في المعاملات، وأعمال القلوب، التي لم تنقل من الصحابة والتابعين.

 “Banyak perkara baru yang dulunya tidak ada telah diperbeda pendapatkan oleh para ulama, apakah ia termasuk perkara bid’ah hasanah yang memiliki landasan dari sunnah ataukah tidak. Diantara contohnya adalah penulisan hadits, yang dahulu oleh sayidina Umar melarang beberapa shahabat yang melakukannya. Dan sebagian ulama memberikan keringanan dengan membawakan dalil-dalil hadits yang disebutkan dalam as Sunnah.

Demikian pula contohnya menulis syarah hadits dan tafsir al Qur’an, sebagian ulama membencinya, sedangkan yang lain memberikan keringanan. Demikian juga termasuk dalam masalah penulisan halal dan haram dan perkara sejenisnya. 

Demikian juga beberapa perkara yang meluas dalam masalah mu’amalat dan perkara-perkara hati yang ia tidak dinukilkan sama sekali dari para shahabat dan tabi’in...”[26]

𝟱. 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝘀𝗮𝗹𝗮𝗳

Sayidina Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memerintahkan dilaksanakannya Tarawih secara berjamaah yang rutin dikerjakan sebulan penuh di bulan Ramadhan, lalu beliau berkata : 

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari)

Ketika menjelaskan hadits di atas, al imam Zarqani al Maliki rahimahullah berkata :

فسماها بدعة...  ‌وهي ‌لغة: ‌ما ‌أحدث ‌على ‌غير ‌مثال ‌سبق، وتطلق شرعًا على مقابل السنة، وهي ما لم يكن في عهده صلى الله عليه وسلم ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة

“Itu dinamakan Bid’ah .. Secara bahasa bid’ah adalah perkara yang tidak ada contoh sebelumnya. Dan secara istilah syar’i yaitu perkara yang bertentangan dengan sunnah.  Yaitu yang tidak ada di masa Nabi shalallahu’alaihhi wassalam. Dan hukum bid’ah terbagi menjadi lima hukum...”[27]

Sedangkan al imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata :

هذا النوع قول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه. لما كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها، ولا جمع الناس لها، ولا كانت في زمن أبي بكر، ‌وإنما ‌عمر ‌رضي ‌الله ‌عنه ‌جمع ‌الناس ‌عليها ‌وندبهم ‌إليها، ‌فبهذا ‌سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة، لقوله صلى الله عليه وسلم «عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي» وقوله «اقتدوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر» وعلى هذا التأويل يحمل الحديث الآخر «كل محدثة بدعة» إنما يريد ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السنة

“Ini adalah diantara ucapan Umar radhiallahu ‘anhu : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’ ketika mengerjakan perbuatan baik, dan masuk dalam batas hal yang terpuji maka beliau menyebutnya bid’ah dan memujinya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah mensyariatkannya pada mereka (seperti yang Umar lakukan) beliau melakukannya hanya beberapa malam kemudian meninggalkannya dan tidak merutinkannya, tidak pula mengumpulkan manusia untuk melakukannya, tidak pula ada di masa Abu Bakar as Shiddiq. 

Hanya Umar lah yang mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih dan menganjurkannya, dengan inilah beliau menyebutnya bid’ah, Meskipun pada hakikatnya adalah sunnah juga, karena Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda “Ikutilah orang yang setelahku yaitu Abu Bakar dan Umar.

Atas dasar ini, maka hadits yang mengakatan: 'Setiap yang baru adalah bid’ah' ditakwilkan makna yang dimaksud adalah perkara baru yang menyalahi asal-asal syari’at dan tidak sesuai sunnah.”[28]

Imam Ghazali ketika menjelaskan hadits Umar di atas juga mengatakan :

فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة

“Berapa banyak perkara baru itu dinilai baik sebagaimana dikatakan tentang mendirikan jama’ah dalam shalat tarawih, karena ia termasuk perkara baru yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu, dan ia adalah bid’ah hasanah.“[29]

Al imam Hasan Bashri rahimahullah pernah ditanyakan kepada beliau :

أَنه سُئِلَ عَن الدُّعَاء عِنْد ختم الْقُرْآن كَمَا يَفْعَله النَّاس الْيَوْم قَالَ بِدعَة حَسَنَة

 “Sang imam pernah ditanya tentang doa khatam al Qur’an seperti yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat pada hari itu, maka beliau menjawab : ‘Ini Bid’ah yang baik.”[30]

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Jika kami tidak khawatir akan membuat para pembaca akan menjadi bosan karena tulisan yang terlalu panjang, pasti tulisan ini akan kami penuhi dengan lebih banyak lagi fatwa-fatwa para ulama dalam masalah ini.

 Namun apa yang kami cantumkan di atas sudah sangat mencukupi bagi siapapun yang mau menerima kebenaran meski datangnya dari pihak yang berseberangan. 

Dan tulisan sebaik dan sepanjang apapun tidak akan berguna untuk mereka yang hatinya telah tertutup dengan kebencian dan penolakan.

Tulisan akan kita lanjutkan dengan mengetengahkan dalil-dalil yang digunakan oleh pendapat-pendapat di atas, insyaallah.

Wallahu a’lam

_____________

[1] Hasyiah Ibnu Abidin (6/386)

[2] Fath al Bab Inayah (1/224)

[3] Ad Dar al Mukhtar  hal. 660

[4] An Nihayah Fi Syarh al Hidayah (23/125)

[5] Bahru ar Raiq (1/293)

[6] Nahru al Faiq (1/172)

[7] Hasyiah as Sindi (1/20)

[8] Al Quratul Ain hal. 315

[9] Syarah al Kabir (1/193)

[10] Mawahib al Jalil (1/430)

[11] Hasyiah Ash Shawi (4/751)

[12] Hasyiah ash Shawi (1/92)

[13] Al Madhal li Ibn Hajj (4/258)

[14] Nawadir wa Ziyadat (1/149)

[15] Lawami’ ad Durar (1/680)

[16] Al Istidkar (5/153)

[17] Fath Bari li Ibn Hajar (13/253)

[18] Lawaihul Anwar (1/175)

[19] Qawaid al Ahkam (2/204)

[20] Manaqib Asy Syafi’i (1/469)

[21] Ihya al ulumuddin (2/256)

[22] Syarah shahih Muslim (7/104)

[23] Fath al Bari (4/253)

[24] Shaunul Manthiq al Kalam hal. 209

[25] Tafsir al Qurthubi (2/87)

[26] Mahbatur Rasul hal 216

[27] Jami’ al Ulum wal Hikam  (2/272)

[28] Al Quratul Ain hal. 315

[29] An Nihayah fi al Gharib al Hadits  (1/107)

[30] Ihya ‘Ulumuddin (1/276)

[31] Al Intishar li Ahlil Hadits hal. 28

Baca juga kajian Ustadz AST tentang Bid'ah : 

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pembagian Bid'ah Menurut Jumhur Ulama - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®