𝗧𝗔𝗛𝗟𝗜𝗟𝗔𝗡 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗕𝗜𝗗'𝗔𝗛 ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Kita telah menyelesaikan bahasan tentang hukum mengirim pahala dari beberapa jenis ibadah kepada orang yang meninggal dunia di tulisan-tulisan sebelumnya. Mulai dari yang disepakati kebolehannya hingga yang diperbedapendapatkan oleh para ulama.
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika kirim pahala kepada mayit itu baik yang dalam rupa doa, sedekah dzikir atau bacaan Qur’an diformat dalam bentuk sebuah rangkaian ibadah tertentu dan dilaksanakan di waktu-waktu tertentu.
Apakah ini diperbolehkan ? Seperti acara tahlilan kematian yang umum dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia.
Jawabannya secara umum kita dapati ada dua pendapat : Antara yang melarang karena dianggap sebagai perbuatan bid’ah karena tidak dicontohkan oleh Nabi ﷺ dengan yang membolehkan dengan beberapa alasan yang nanti akan segera kita ketahui.
𝗔.𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴
Jangankan kelompok pendapat yang menyatakan tidak bolehnya mengirimkan bacaan al Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia, kalangan pengikut pendapat yang membolehkan saja, banyak yang menganggap kegiatan kumpul-kumpul di rumah orang yang meninggal sebagai perbuatan yang terlarang. Ada yang tegas mengharamkan, namun ada yang hanya memakruhkan.
Menurut kalangan ini, benar bahwa para ulama telah ijma’ akan kebolehan mendoakan dan bersedekah untuk mayit. Begitu juga sebagian ulama menfatwakan sampainya bacaan al Qur’an, namun ini semua tidak bisa menjadi legalitas untuk sebuah ibadah yang jelas tidak diajarkan oleh Nabi yang bernama tahlilan.
Karena itu kemudian pengusung pendapat pertama ini menyampaikan dalil, alasan dan penjelasannya tentang tidak disyariatkannya doa sedekah dan bacaan Qur’an untuk mayit dalam bentuk acara tertentu sebagai berikut :
𝟭. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗰𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮
Fakta yang tidak terbantahkan tentunya bahwa kegiatan tahlilan tidak pernah diadakan oleh para shahabat, ulama salaf apalagi oleh Nabi ﷺ. Padahal mereka juga punya orang tua, saudara, karib kerabat, dan lainnya yang wafat meninggalkan mereka.
Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak pernah ada satupun riwayat yang menyebutkan aktivitas tahlilan dari generasi terdahulu itu. Karena itulah, kalangan ini kemudian tegas menyimpulkan ini adalah jenis ibadah baru yang diada-adakan yang masuk kategori bid’ah dhalalah.
𝟮. 𝗣𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗯𝗲𝗻𝗰𝗶
Berkumpul di rumah duka berhari-hari bahkan hingga tujuh hari, selain tidak ada contohnya juga dipandang hanya akan menambah kesedihan keluarga yang berduka. Apalagi jika sampai berhari-hari, justru itu akan melekatkan kenangan kesedihan keluarga mayit.
Dalam sebuah atsar dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu diriwayatkan bahwa beliau berkata :
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap berkumpul di tempat keluarga jenazah yang tertimpa musibah dan mereka membuat makanan termasuk dari perbuatan meratap.” (HR. Ahmad)
Al imam Syafi’i rahimahullah berkata :
وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“Dan aku membenci perbuatan al ma’tim yaitu berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga duka meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayaan, padahal kesedihan itu sudah hampir berlalu dari mereka yang sedang berduka….”
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
لأن التعزية لتسكين قلب المُصاب... فلا يجدّد له الحزن، هكذا قال الجماهير من أصحابنا
“Karena tujuan dari ta’ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah... maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat mayoritas dari shahabat-shahabat kami.”[1]
𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵
Dalam hadits, yang diperintahkan itu para tetangga yang seharusnya memberi makan kepada keluarga yang sedang berduka, bukan malah dibalik mereka yang harus dibuat sibuk memberi makan kepada para tetangga dan pelayat yang datang.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت، وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة، وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا، وبعدنا لأنه لما «جاء نعي جعفر قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم» أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا ابن عيينة عن جعفر عن أبيه عبد الله بن جعفر قال «جاء نعي جعفر فقال رسول الله اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم
“Dan yang aku sukai adalah jika para tetangga mayit atau para kerabatnya yang membuat makanan bagi keluarga yang sedang berduka untuk mengenyangkan mereka pada hari kematian si mayit. Ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami.
Hal ini (berdasarkan dalil) tatkala datang khabar tentang kematian Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”[2]
Dan imam Nawawi rahimahullah berkata :
قال صاحب الشامل وغيره وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Penulis kitab as Syaamil dan yang lainnya berkata : “Adapun jika keluarga yang meninggal dunia membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai.”[3]
Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata :
أما صنع أهل البيت طعاماً للناس، فمكروه وبدعة لا أصل لها؛ لأن فيه زيادة على مصيبتهم، وتشبهاً بصنع أهل الجاهلية
“Adapun keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang, maka ini dimakruhkan dan termasuk perbuatan bid’ah yang tidak ada tuntunannya. Hal ini akan menambah beratnya musibah keluarga yang berduka. Dan mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah.”[4]
𝟰. 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗿𝗮𝗱𝗶𝘀𝗶 𝗶𝗻𝗶
Kalangan ini juga mengangkat beberapa fatwa para mufti dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah dan juga dari madzhab lain tentang buruknya kebiasaan kumpul-kumpul dan makan di tempat kematian. Berikut diantaranya :
Syaikh ad Dimyathi asy Syafi’i ketika ditanya tentang hal ini beliau memberikan jawaban :
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga orang yang meninggal dan pembuatan makanan merupakan bid’ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….”[5]
Beliau juga berkata :
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة... فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما
“Tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang dari perbuatan bid’ah tercela ini akan menghidupkan sunnah. Karena banyak orang telah memberat-beratkan diri untuk membuat acara yang sebenarnya dilarang itu.”[6]
Berkata al imam Ibnu Abidin al Hanafi rahimahullah :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور، وهي بدعة مستقبحة
“Dan dibenci bagi keluarga orang yang meninggal untuk menjamu tamu berupa makanan karena acara makan - makan itu adalah di saat sedang bergembira, bukan berduka. Dan ini adalah perkara bid’ah yang buruk.”[7]
𝗕. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻
Sedangkan sebagian ulama menganggap bahwa berkumpulnya orang-orang di rumah duka kemudian dalam rangka takziyah, mendoakan, membacakan al Qur’an dan adanya sedekah makanan bukanlah perkara yang dilarang.
Sebab selain dasar amalan ini dibolehkan, perkumpulan seperti itu bukanlah bagian dari ritual ibadah, tapi hanya sebagai tehnik dari ibadah itu sendiri.
Berikut diantara penjelasan dan jawaban dari kelompok yang membolehkan acara tahlilan ini.
𝟭. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻-𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Menurut kalangan ini, tidak ada larangan makan-makan di rumah keluarga yang sedang berduka. Yang dilarang adalah ketika si tuan rumah dibuat repot menyediakan makanan untuk tamu yang datang bertakziyah. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far (saat meninggal), karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan dalam praktiknya, yang menyediakan makanan tahlilan adalah dari para tetangga, bukan keluarga yang berduka. Begitu juga makanan itu bersumber dari sumbangan orang-orang yang bertakziyah.
Dan ketika makanan itu dimasak dan dimakan oleh orang-orang yang datang untuk berdzikir dalam acara tahlilan, ia malah bernilai sedekah dari keluarga untuk si mayit.
Karenanya imam Syafi’i rahimahullah dalam ucapannya mengatakan :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت
“Dan aku menyukai jika para tetangga dari orang yang meninggal atau para kerabatnya yang membuat makanan bagi keluarga mayit. Yakni makanan yang mengenyangkan mereka pada hari kematian tersebut.”[8]
Al imam Ibnu Qudamah setelah menfatwakan makruhnya tuan rumah yang berduka menjamu orang yang bertakziyah, beliau menjelaskan lebih lanjut :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز؛ فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة، ويبيت عندهم، ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Jika hal itu diperlukan, maka dibolehkan (menjamu tamu saat berduka). Karena barangkali yang datang untuk menjenguk mayit ada yang berasal dari kota atau tempat yang jauh dan menginap di tempat tersebut, maka tidak mungkin kecuali menyediakan makanan untuk mereka.“[9]
Sehingga larangan dalam masalah makan-makan ini bukanlah sebuah keharaman yang sifatnya keras, tapi hanya dimakruhkan. Dan bahkan sifat kemakruhannya bisa berubah menjadi mubah dengan kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas.
𝟮. 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗱𝘂𝗸𝗮
Ada beberapa riwayat yang justru menyebutkan bahwa para shahabat dahulu juga melakukan aktivitas memasak, makan dan minum di tempat orang yang meninggal dunia, diantaranya :
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي جِنَازَةٍ،... فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ، فَجَاءَ فَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ
“Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu penguburan jenazah... Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum mengundang Nabi ﷺ untuk datang kerumahnya, beliau pun menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan.
Lalu Nabi menaruh tangan beliau di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Daud)
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ
“Bahwa bila ada orang dari keluarganya (Aisyah) yang meninggal maka para wanita pun berkumpul, kemudian mereka pergi kecuali keluarganya dan orang-orang terdekat. Lalu Aisyah memerintahkan untuk mengambil periuk yang terbuat dari batu dan diisi dengan talbinah (makanan dari tepung dan kurma).
Lalu dimasaklah makanan tersebut, kemudian dibuat bubur dan dituangkanlah makanan tersebut diatasnya. Lalu (Aisyah) berkata; "Makanlah ia, karena sungguh saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Makanan yang terbuat dari tepung dan kurma tersebut penyejuk bagi hati yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesedihan."
جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا . أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ
“Ketika para shahabat telah kembali dari pemakaman, disiapkan untuk mereka hidangan, namun mereka terdiam karena mereka merasa sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib datang dan berkata : Wahai manusia, sungguh Rasulullah ﷺ telah wafat, maka kita makan dan minum.
Abu Bakar telah wafat, maka kita makan dan minum. Wahai manusia makanlah hidangan ini! Kemudian Abbas menjulurkan tangannya ke arah makanan, dan orang-orang juga turut memakannya.”[10]
𝟯. 𝗕𝗲𝗿𝗸𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗷𝘂𝗺𝗹𝗮𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝘁𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗶𝗱’𝗮𝗵
Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa kaum salaf terdahulu juga melakukan takziyah atau kumpul-kumpul dalam bilangan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan hari lainnya. Berikut beberapa riwayat yang diangkat oleh pendukung pendapat kedua ini :
Berkata imam Thawus rahimahullah :
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعم عنهم تلك الايام
"Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka mereka dahulu (para shahabat) suka untuk memberi makanan pada 7 hari tersebut.”[11]
Imam ath Thahawi al Hanafi rahimahullah berkata :
ويستحب أن يتصدق على الميت بعد الدفن إلى سبعة أيام كل يوم بشيء مما تيسر
“Dan dianjurkan untuk bersedekah untuk mayit setelah ia dikuburkan hingga tujuh hari dengan sesuatu apapun yang dimudahkan untuk disedekahkan.”[12]
𝟰. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗮𝗻 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗶𝗱’𝗮𝗵
Menolak amalan yang disepakati kebolehannya, hanya karena dikhususkan pada waktu tertentu tidaklah bisa diterima. Karena nyatanya kaum salaf terdahulu melakukan sebuah ibadah yang disyariatkan secara umum tapi mereka lakukan dalam waktu yang khusus.
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits-hadits shahabat yang merutinkan sebuah ibadah, beliau berkata :
دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
“Ini menjadi dalil bolehnya mengkhususkan sebagian hari untuk beramal dengan sebagian amal-amal shalih secara rutin dalam mengerjakannya.”[13]
𝟱. 𝗔𝗺𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗸𝗲𝗿𝗷𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗸𝗮𝘂𝗺 𝗺𝘂𝘀𝗹𝗶𝗺𝗶𝗻 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂
Pemegang pendapat ini membantah jika kegiatan tahlilan yang diadakan di hari-hari tertentu itu bersumber dari ajaran Hindu Budha, karena ada beberapa riwayat yang jelas menyebutkan kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama juga melakukannya.
Berkata Imam Suyuthi rahimahullah :
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِ
“Sesungguhnya, kebiasaan baik memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan kebiasaan ini diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu shahabat.”[14]
Ibnu Umar rahiyallahu’anhu berkata :
أن المؤمن يفتن سبعا والمنافق أربعين صباحا
“Seorang mukmin diuji dikuburnya selama 7 hari sedangkan munafik 40 hari.”[15]
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت
“Bersedekah untuk mayit dalam syariat adalah perkara yang dianjurkan. Sedekah tersebut tidak terikat dengan hari ketujuh atau lebih atau kurang. Adapun mengaitkan sedekah dengan sebagian hari adalah merupakan bagian dari adat saja, sebagaimana apa yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan.
Dan telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yaitu bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematiannya dan pada hari ketujuh, dan pada sempurnanya kedua puluh, ke empat puluh dan ke seratus. Setelah itu dilaksanakanlah haul setiap tahun pada hari kematiannya.”[16]
Bahkan salah seorang ulama Malikiyah Ahmad bin Ghanim juga menfatwakan :
وأما ما يصنعه أقارب الميت من الطعام وجمع الناس عليه فإن كان لقراءة قرآن ونحوها مما يرجى خيره للميت فلا بأس به، وأما لغير ذلك فيكره
“Adapun makanan yang dibuat oleh kerabatnya keluarga mayit dengan mengumpulkan orang-orang bila tujuannya untuk membaca al Qur’an dan yang semisalnya (seperti dzikir), maka itu termasuk perkara yang diharapkan bisa memberi kebaikan kepada mayit, maka hal itu tidak mengapa. Adapun bila tujuannya bukan untuk itu (seperti hanya ngobrol ngalur ngidul) maka itu dimakruhkan.”[17]
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Masalah ini dalam pandangan kebanyakan ulama adalah ranah khilaf mu’tabarah (area perbedaan cabang agama yang lazim dan umum terjadi). Tak selayaknya untuk kita ributkan terlalu mendalam apalagi hingga saling melempar tudingan dan julukan yang buruk antara sesama muslim.
Bagi pihak yang mendapati penyimpangan dalam praktek tahlilan, alangkah lebih santunnya untuk focus mengkoreksi kesalahannya. Bukan dengan cara gebyah uyah alias pukul rata semuanya divonis bid’ah.
Selain tidak akan menyelesaikan masalah, juga akan menguras enargi kita meributkan hal-hal furu’ terus menerus. Sedangkan masih banyak perkara usul dan masalah-masalah umat lainnya yang harus lebih diprioritaskan.
📜 Wallahu a'lam.
_________
[1] Al Adzkar hal.269
[2] Al umm (1/317)
[3] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (5/320)
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1578)
[5] I’anah ath Thalibin (2/165)
[6] I’anah ath Thalibin (2/165)
[7] Hasyiah Ibnu Abidin (2/240
[8] Al Umm (1/137)
[9] Al Mughni (2/410)
[10] Mathalib al ‘Aliyah (5/328)
[11] Shifatus Shafwah (1/454)
[12] Hasyiah ath Thahawiyah hal. 617
[13] Fath al Bari (3/69)
[14] Al Hawi al Fatawa (2/234)
[15] Syarah Suyuthi ‘ala Muslim (2/491)
[16] Nihayatuz Zain (1/281)
[17] Fawakih ad Diwani (2/668)
Baca juga kajian Ustadz AST berikut :
- Hadits vs Ulama Dalam Masalah Kirim Pahala Kepada Mayit
- Yang Disepakati Kebolehannya Untuk Dikirim Kepada Mayit
- Dalil yang Sepintas Melarang Amal Untuk Mayit
- Bacaan Qur'an Untuk Mayit Apakah Bisa Sampai?
- Tahlilan Apakah Bid'ah?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq