Semua Dengan Caranya Masing-Masing
Ada rasa bahagia dan syukur ketika beberapa orang berkata pada saya secara langsung, “Saya selalu membaca dan mengikuti tulisan-tulisan Ustadz walaupun tak pernah atau jarang sekali komen. Saya suka cara Ustadz menyikapi pandangan lain yang berbeda, terutama dari kalangan salafi; halus dan tidak konfrontatif.”
Mungkin saya tidak sebaik yang ia duga. Tapi yang jelas saya memang berusaha untuk menyampaikan pandangan atau meluruskan pemahaman dengan cara yang tidak memancing polemik, meskipun hal itu kadang sulit dihindari. Karena bagaimanapun kita berusaha menyampaikan sesuatu secara tenang dan argumentatif, toh ada saja yang melihat itu sebagai ‘cari lawan’. Masih mending jika ia punya kapasitas untuk menanggapi atau membantah. Seringnya modalnya hanya amarah, kata kasar atau 'kareh angok'.
***
Selain karena watak saya yang memang tidak suka polemik dan ribut-ribut, mungkin juga karena pengalaman dalam mencari ilmu yang sangat mempengaruhi cara melihat pandangan yang berbeda.
Pada tahun 2000, di awal-awal kedatangan di negeri Kinanah untuk menuntut ilmu, saya sering hadir di kajian-kajian salafi. Saya rela berangkat dari pukul 07.00 pagi untuk bisa mendengar kajian Syekh Abu Ishaq al-Huwaini yang berjarak cukup jauh dari rumah. Saya juga sering hadir di kajian Syekh Muhammad Husein Ya’qub, Syekh Muhammad Hassan dan lain-lain. Kaset-kaset mereka juga banyak saya koleksi.
Tapi memang ada satu kekosongan yang saya rasakan dari berbagai kajian itu. Mungkin ini lebih pada perasaan pribadi saja. Ilmunya ada tapi rasa tak dapat. Yang muncul setelah mendengar kajian-kajian itu adalah kegemaran menghukumi segala sesuatu; halal, haram, wajib, sunnah, dan seterusnya. Saya merasa ada kegersangan dalam diri yang tak bisa diisi oleh kajian hukum-hukum fiqih.
Kemudian saya coba hadir di Jami’ Azhar. Saat itu Syekh Ali Jum’ah menggiatkan talaqqi berbagai kajian turats. Saya masih ingat, waktu itu beliau hadir masih menggunakan baju safari (kadang pakai jas) tanpa ‘imamah. Yang sering saya hadiri adalah pembacaan kitab Sunan Abu Dawud. Yang membaca kitabnya adalah murid-murid utamanya; Syekh Usamah Sayyid, Syekh Amr al-Wardani, Syekh Imad Iffat, dll.
Meskipun kajiannya ‘sekedar’ membaca hadits-hadits dalam Sunan Abu Dawud dengan sedikit syarahan, saya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada kenyamanan. Ada ketentraman. Dan yang terpenting, ada kedalaman (al-’umq). Tidak dangkal seperti kajian yang lain.
Mulai saat itu saya mulai ‘jatuh cinta’ pada kajian-kajian di Jami’ al-Azhar. Saya mulai mengikuti berbagai kajian yang tersebar di berbagai ruwaq al-Azhar ; Fiqih Syafi’i Syekh Syaltut, Ushul Fiqih Syekh Ahmad Thayyib, Tashawwuf Syekh Muhanna, Musthalah Hadits Syekh Mustafa Imarah, Mantiq Syekh Usamah Sayyid, Balaghah Syekh Fathi Hijazi dan lain-lain.
Itulah hari-hari yang paling membahagiakan. Pagi kuliah di kampus di bawah bimbingan para dosen dengan menggunakan muqarrar (diktat) yang mereka tulis, sorenya talaqqi di masjid Azhar di bawah bimbingan para masyayikh dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama terdahulu. Kombinasi yang sangat apik antara turats dan mu’asharah, dulu dan kekinian, klasik dan modern.
***
Nuansa belajar di kampus tentu berbeda dengan talaqqi di masjid. Di kampus lebih cenderung menganalisa dan mengkritisi. Tidak hanya mengkritisi pemikiran yang berkembang saat ini tapi juga pendapat para ulama dulu. Tentu saja mengkritisi dengan argumentasi dan tetap mengedepankan akhlak dan rasa hormat.
Saya masih ingat, muqarrar mata kuliah Ulumul Quran tahun I ditulis oleh Dr. Abdurrahman Khalifah; seorang pakar ilmu tafsir ternama. Beliau membantah habis-habisan pendapat Imam Suyuthi dalam masalah turunnya al-Quran. Ia juga membantah pendapat para ulama sebelum Suyuthi tentang turunnya al-Quran ke langit dunia. Sebuah bantahan, yang kadang saya berpikir, belum ‘makanan’ mahasiswa tahun pertama. Tapi terus terang, cara beliau membantah memberikan amunisi yang sangat besar pada mahasiswa tentang bagaimana cara melihat argumentasi sebuah pendapat dan bagaimana membantahnya dengan kuat tanpa kehilangan adab terhadap ulama.
Sementara itu, talaqqi di masjid lebih kental nuansa pengagungan terhadap para ulama terdahulu karena memang kitab yang dikaji adalah kitab karya mereka. Tapi ini tidak berarti para masyayikh mengajarkan untuk ‘nrimo’ saja apa yang ditulis di kitab-kitab itu. Ada saatnya untuk dianalisa dan dikritisi, meskipun memang tidak dominan seperti halnya di kampus.
Barangkali inilah kenapa al-Azhar itu Jami’ dan Jami’ah (الأزهر جامعا وجامعة) ; masjid dan kampus. Perpaduan yang sangat ‘sempurna’ untuk memberikan pondasi yang kuat bagi setiap pencari ilmu bagaimana seharusnya mengharungi lautan keilmuan yang sangat luas dan dalam.
***
Terlepas dari semua itu, tentu setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi pendapat lain yang berbeda. Terkadang memang ada sebagian pihak yang tidak bisa dihadapi kecuali dengan cara ‘keras’. Sering juga pengalaman pribadi dan lingkungan sekitar menjadi penyebab utama seseorang memilih cara tertentu dalam menyikapi berbagai hal.
Pada akhirnya semboyan kita adalah :
إن أريد إلا الإصلاح ما استطعت
“… aku tak menginginkan kecuali perbaikan semampuku…”
[YJ]
Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :
- Talfiq
- Dampak Perbedaan Negara terhadap Perbedaan Waktu Puasa
- Semoga Yang Begini Tidak Banyak
- Geger Idul Adha Ini Menunjukkan Pentingnya Fikih Khilaf Bagi Masyarakat
- Penjelasan Ikhtilaf Mathali’
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi