Perdebatan Musik
Saat ini apapun yang berkaitan dengan musik maka segera ramai perdebatan soal musik. Lagi-lagi selalu mengatasnamakan ayat Al Qur'an dan Hadis Sahih untuk mengharamkan musik.
- Pendapat Yang Mengatakan Haram
Jika mengharamkan sesuatu pakai dalil Quran biasanya dalil nash secara sharih, misalnya "Allah melarang, Allah mengharamkan..." dan seterusnya. Dalil yang dipakai mengharamkan musik tidak berbunyi demikian, melainkan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." [Luqman: 6]
Ayat umum yang berbunyi 'Lahwal Hadis' ini yang dijadikan dalil dengan merujuk kepada penafsiran Sahabat. Di antaranya:
وروى البيهقي في سننه عن ابن عباس رضي الله عنهما { ومن الناس من يشتري لهو الحديث } قال : هو الغناء وأشباهه
Ibnu Abbas: “perkataan yang tidak berguna adalah nyanyian dan semacamnya” (Tafsir Ad Durr Al Mantsur, 8/75)
Karena ini penafsiran maka silahkan buka kitab Tafsir tentang luasnya perbedaan Tafsir dari Lahwal Hadis ini (lanjutkan baca di bawah bagaimana dan sebab para Sahabat mengharamkan musik).
Ada lagi pakai hadis sahih berikut:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR Bukhari)
Teks Ma'azif inilah yang dijadikan Tafsir tunggal atas keharaman musik. Sudah maklum dalam pengetahuan kita semua ulama sepakat keharaman zina dan khamr ada di Quran dan Hadis, keharaman sutera ada di hadis. Tapi keharaman alat musik belum disepakati secara menyeluruh. Buktinya ulama Mazhab yang dikenal menjadikan amaliah penduduk Madinah sebagai rujukan dalam justru membolehkan, yakni Mazhab Maliki:
وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ .
Ar-Ruyani menceritakan dari Al-Qaffal bahwa Mazhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik (Nailul Authar, 12/431)
- Dalil Kebolehan Nyanyian dan Alat Musik
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِى الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ ».
Hadis: “Umumkan pernikahan, jadikan di masjid dan tabuhlah terbangan” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Baihaqi)
عَائِشَةَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِى أَيَّامِ مِنًى تُغَنِّيَانِ وَتَضْرِبَانِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُسَجًّى بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْهُ وَقَالَ « دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ ».
Aisyah berkata bahwa Abu Bakar datang, ada 2 wanita menyanyi dan menabuh, juga ada Nabi. Lalu Abu Bakar menghardik. Nabi bersabda: “Biarkan Abu Bakar, ini adalah hari raya” (HR Muslim)
Di kedua hadis ini semua sepakat. Tidak ada perbedaan pendapat.
Sejak Kapan Ulama Mengharamkan Musik?
Yaitu sejak para Sahabat menjumpai musik disertai dengan hal-hal yang diharamkan seperti disampaikan oleh Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali:
ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺘﺤﺖ ﺑﻼﺩ ﻓﺎﺭﺱ ﻭاﻟﺮﻭﻡ ﻇﻬﺮ ﻟﻠﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻭاﻟﺮﻭﻡ ﻗﺪ ﺃﻋﺘﺎﺩﻭﻩ ﻣﻦ اﻟﻐﻨﺎء اﻟﻤﻠﺤﻦ ﺑﺎﻹﻳﻘﺎﻋﺎﺕ اﻟﻤﻮﺯﻭﻧﺔ، ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻘﺔ اﻟﻤﻮﺳﻴﻘﻰ ﺑﺎﻷﺷﻌﺎﺭ اﻟﺘﻲ ﺗﻮﺻﻒ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻣﻦ اﻟﺨﻤﻮﺭ ﻭاﻟﺼﻮﺭ اﻟﺠﻤﻴﻠﺔ اﻟﻤﺜﻴﺮﺓ ﻟﻠﻬﻮﻯ اﻟﻜﺎﻣﻦ ﻓﻲ اﻟﻨﻔﻮﺱ، اﻟﻤﺠﺒﻮﻝ ﻣﺤﺒﺘﻪ ﻓﻴﻬﺎ، ﺑﺂﻻﺕ اﻟﻠﻬﻮ اﻟﻤﻄﺮﺑﺔ، اﻟﻤﺨﺮﺝ ﺳﻤﺎﻋﻬﺎ ﻋﻦ اﻻﻋﺘﺪاﻝ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬ ﺃﻧﻜﺮ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ اﻟﻐﻨﺎء ﻭاﺳﺘﻤﺎﻋﻪ، ﻭﻧﻬﻮا ﻋﻨﻪ ﻭﻏﻠﻈﻮا ﻓﻴﻪ
Setelah negeri Persia dan Romawi ditaklukkan maka menjadi jelas bagi para Sahabat tentang tradisi nyanyian mereka dengan lagu-lagu yang tersusun, alat musik dan syair-syair yang mengungkap hal-hal haram seperti minuman keras dan gambar-gambar wanita cantik yang membangkitkan syahwat, secara watak akan disukai oleh nafsu, dengan alat musik yang dapat melalaikan, dapat mengeluarkan dari kewajaran. Maka para Sahabat mengingkari nyanyian dan mendengarkannya, mereka melarangnya dan bersikap keras kepadanya (Ibnu Rajab, Fathul Bari 8/427)
Sebagai penutup dan kesimpulan saya sependapat dengan ulama Malikiyah, Syekh An-Nafrawi:
قَالَ عِيَاضٌ فِي الْإِكْمَالِ : صِفَةُ الْغِنَاءِ الَّذِي مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ مَا كَانَ مِنْ أَشْعَارِ الْعَرَبِ لِلتَّهْيِيجِ عَلَى فِعْلِ الْكَرْمِ وَالْمُفَاخَرَةِ بِالشَّجَاعَةِ وَالْغَلَبَةِ ، وَالْمُحَرَّمُ مَا كَانَ مُشَوِّقًا لِفِعْلِ الْفَوَاحِشِ وَمُشْتَمِلًا عَلَى تَكَسُّرٍ أَوْ فِعْلِ شَيْءٍ مِمَّا لَا يَحِلُّ
Qadhi Iyadh berkata: "Nyanyian yang disepakati seperti syair Arab untuk bangkit berbuat baik atau berani. Dan yang haram adalah jika mengarah pada perbuatan buruk dan erotis atau melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan” (Al-Fawakih, 8/159)
Ngaji Bab Musik bersama Bunda-bunda MT Az-Zahra Sidoarjo
Sumber FB Ustadz : Ma'ruf Khozin