Kawan-kawan yang mendakwa diri sebagai pengikut salaf kerap menggunakan kalam Ibn Qudamah atau Abu Ismail al-Harawi (beberapa kali memfitnah Imam al-Asy'ari dan kemudian "diiyakan" Ibn Taimiyah) untuk menyebarkan syubhat dan propoganda atau melegitimasi tuduhan sesat mereka kepada Asy'ariyah.
Komentarku, jika setiap kritik atau celaan diterima secara absolut, maka berapa banyak ulama' besar Ahlussunnah wal Jama'ah yang harus kita tolak?!
Imam Ahmad, misalnya, beliau diklaim Imam Thobari dan Imam Ibn Abdil Bar al-Maliki bukan pakar fikih, Imam Abu Hanifah diklaim Imam Nasai dan Imam Khathib al-Baghdadi bukan pakar hadits, Imam Malik dikritik sangat keras oleh Imam Ibn Abi Dzi'bin, Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani mendapatkan kritik tajam dari beberapa ulama' hadits, Imam Husein al-Karabisi dan Imam Haris al-Muhasibi dikritik keras Imam Ahmad bin Hanbal, dan masih banyak lagi. Bahkan selevel Turjuman al-Qur'an Sayyiduna Abdullah bin Abbas ash-Shahabi al-Jalil juga pernah mendapatkan tuduhan sebagai mufassir yang asal-asalan jika menafsirkan al-Qur'an. Lalu semua tuduhan itu kita terima begitu saja? Tidak semua celaan dan kritikan dibenarkan dalam akidah agama walaupun itu dilakukan oleh ulama' besar sekalipun. Yang paham ilmu jarh wa ta'dil pasti tahu itu.
Jadi, intinya kita sekalian perlu belajar kaidah jarh wa ta'dil, salah satu cabang dalam ilmu mustholah hadits agar tidak gegabah dan melakukan hal memalukan. Itu saja jawabnya! Jika kaidah tersebut tidak dipahami, maka lebih baik diam daripada menjadi fitnah ditengah umat.
Yang aneh, Ibn Qudamah al-Hanbali dan Abu Ismail al-Harawi yang ternyata pengamal tarekat dan tasawuf malah disesatkan ajaran tarekat dan tasawufnya.
Bener-bener minta dijitak mereka itu! 😀
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur