I'dad Lughawi dan Takmili
Dr. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Kuliah di LIPIA itu unik sekali, sebab kita tidak bisa ujug-ujug kuliah S-1 kecuali harus melewati 2 tahun kuliah persiapan bahasa yang disebut dengan I'dad Lughawi.
Disitulah saya betul-betul sadar bahwa klaim saya sepihak selama ini bahwa saya sudah bisa berbahasa Arab ternyata klaim yang tidak punya dasar sama sekali. Sebab yang saya hadapi adalah dosen-dosen yang orang Arab asli original.
Beliau-beliau itu orang Mesir, Sudah, Saudi dan lainnya. Jelas tidak bisa bahasa Indonesia. Sejak jam 07.00 pagi hingga jam 12.00 siang berhadapan terus menerus dengan mereka. Komunikasi kudu 100% pakai bahasa Arab. Dan itu berlangsung selama 2 tahun.
Kalau pun saya sudah lulus pun, ternyata belum bisa langsung kuliah S-1. Rupanya masih ada satu jenjang lagi yaitu Program Persiapan Kuliah yang disebut dengan Takmili.
Isinya sama saja, yaitu belajar bahasa Arab lagi. Tetapi levelnya bukan untuk pemula, tapi untuk yang sudah lebih ekspert. Dan uniknya, yang digeber bukan Nahwu atau Sharaf, tetapi lebih kepada sastranya.
Bertemulah saya dengan para pujangga Arab yang di kepalanya ada ribuan bait sya'ir arab. Dan memang itu yang diajarkan kepada kami.
Kita dikenalkan dengan begitu banyak bait-bait syair era sebelum Islam atau yang dikenal dengan syi'ri jahili. Maka karya-karya Imru'ul Qais, Zuhair bin Abi Sulma, Tarafa ibn al-Abd, Labid ibn Rabi'a, Amr ibn Kulthum, Al-Nabigha al-Dhubyani, Al-Harith ibn Hilliza, Ka'b ibn Zuhayr, Al-A'sha al-Khazraji dan lainnya.
Ironis jadinya, dimana-mana di pesantren para santri sibuk menghafal Al-Quran. Kami mahasiswa LIPIA malah sibuk menghafal sya'ir-sya'ir pujangga Arab pada era sebelum turunnya Al-Quran.
Ternyata saya baru paham kemudian, bahwa kekuatan dan kemampuan berbahasa arab itu yang lebih ditekankan bukan urusan grammar macam nahwu dan sharaf, tetapi justru pada -sya'ir-sya'irnya.
Sebab utamanya karena Al-Quran ketika diturunkan memang dikemas dalam format prosa berbahasa Arab kelas tinggi. Dan hanya mereka yang pujangga saja yang paham betapa berkelasnya ayat-ayat Al-Quran itu.
Kalau tahunya hanya nahwu sharaf doang, bakalan pusing dan linglung. Dan memang itu yang saya rasakan, ketika sudah dijejali dengan berbagai sastra Arab era jahili itu, barulah ketika mendengar Al-Quran dilantunkan, kok rasanya jadi super super nikmat sekali.
Pantas dulu para pemuka Quraisy jahiliyah banyak yang mencuri-curi dengar secara diam-diam ketika Al-Quran dibacakan. Rupanya mereka itu memang eksprert di bidang sastra Arab. Dan ketika mendengar Al-Quran dibacakan, mereka pun langsung klepek-klepek.
Mereka ternyata nggak tahan dengan keindahan sastra Al-Quran yang luar biasa indahnya. Saya membahasakannya dengan 'merem melek' saking indahnya lantunan ayat Al-Quran di telinga para pujangga Arab itu. Walaupun mereka tidak setuju dengan isinya, tapi kalau keindahan bahasanya, mereka mengakui betapa indahnya.
Dari sanalah kemudian ada ayat yang menantang mereka untuk bisa membuat sya'ir yang seindah Al-Quran. Kalau tidak mampun sebanyak Al-Quran, cukup sepuluh surat saja. Kalau pun tidak mampu ya sudah, bikin satu surat saja.
Kalau tidak mampu juga, ya bekerja sama saja. Semua pujangga Arab ayo dikerahkan. DAn pastinya mereka tidak akan mampu membuatnya. Mereka hanya bisa menikmati tapi menggubahnya tidak mampu.
* * *
Banyak yang belum sadar bahwa sumber utama dalam memahami Al-Quran adalah kemampuan bahasa Arab di level atas, kelasnya sya'ir-sya'ir itu.
Bahkan seorang calon Nabi Muhammad SAW pun sejak kecil sudah 'disekolahkan' di Bani Sa'ad, berpisah jauh dari ibundanya, hanya untuk menguatkan sisi kesusastraannya.
Dan di masa dewasa, Beliau SAW membanggakan masa-masa kecil belajar sastra di Bani Sa'ad. Beliau mengatakan : 'Aku adalah orang Arab yang paling tinggi sastranya'.
Al-Imam Asy-Syafi'i pun sejak kecil sudah dijejali berbagai sastra Arab, sampai beliau menguasai bahasa Huzail. Tentu juga Beliau sudah hafal Al-Quran sejak usia lima tahunan.
Ternyata modal dasar dalam belajar ilmu-ilmu keislaman memang kemampuan berbahasa. Wajar kalau di LIPIA kita diwajibkan memperdalam dulu kemampuan berbahasa Arab sampai tiga tahun sendiri, padahal kuliah S-1 nya hanya 4 tahun.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat