Bagaimana aku (=Syaikh Abdul Halim Mahmud) mengenal Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi?
Kami menunaikan shalat Ashar di sekitar makam Sidna Husain radhiyallahu 'anhu, dan kami telah berjanji untuk bertemu di masjid yang penuh berkah tersebut.
Kemudian kami menuju ke arah Stasiun Mishr untuk naik kereta menuju negeri Quthb yang berselubung (Sayyid Al-Badawi).
Itu terjadi pada bulan Oktober tahun 1960, dan kami sedang menantikan malam puncak perayaan maulid Sayyid Al-Badawi pada malam harinya.
Dengan susah payah, kami berhasil naik kereta dan bersyukur kepada Allah karena mendapatkan tempat untuk berdiri.
Kami berdiri sambil melintasi waktu, kadang berbincang-bincang, dan kadang diam, dengan penuh harapan untuk memperoleh malam yang bercahaya dan dilimpahi berkah di naungan Syekh Al-‘Arab.
Kereta pun berjalan...
Di hadapan kami, duduk seorang pria desa yang tampak memiliki ciri-ciri orang saleh, mengenakan jubah wol dan sorban, dengan tanda bekas sujud di dahinya, menunjukkan kesungguhannya dalam shalat.
Di sebelah kanannya duduk seorang wanita desa juga, mungkin saudara perempuannya atau istrinya, karena ia berbicara kepadanya dengan akrab, disertai senyuman lembut yang hampir tak pernah lepas dari bibirnya. Saat berbincang dengan wanita itu, ia tampak seolah-olah telah melupakan dunia di sekitarnya dan segala sesuatu selain mereka berdua lenyap baginya. Wajahnya penuh keteduhan, tanpa ketegangan sedikit pun, dan dari dirinya tampak jelas bahwa hatinya bersih dari kebencian terhadap siapa pun, atau dendam kepada makhluk lain. Pada wajahnya terlukis ketulusan yang begitu murni.
Aku terpesona melihatnya, wajah yang teduh dan penuh ketulusan, dan tanpa sadar mataku terpaku padanya.
Sepertinya ia telah sampai pada akhir ceritanya atau percakapannya dengan wanita itu, lalu ia mulai melihat ke sekelilingnya, kepada orang-orang yang duduk dan berdiri di sekitar. Ketika ia melihat ke arahku, matanya terpusat padaku, dan sejenak sebagian keteduhan di wajahnya sedikit berkurang, digantikan oleh sedikit ketegangan, menunjukkan perhatiannya padaku.
Ingin mengakhiri situasi itu, aku pun berpaling kepada teman-temanku dan berpura-pura berbicara kepada mereka. Salah seorang teman duduk di sebelah pria tersebut. Di sela-sela percakapan kami, pria desa itu melihat ke arah temanku dan berkata kepadanya, "Sampaikan kepada temanmu" — sambil menunjuk kepadaku — "bahwa ia akan berhaji tahun ini."
Aku menganggapnya sebagai pertanda baik, sebuah kabar yang mungkin akan terwujud. Berita itu, bagaimanapun, membantu mengurangi rasa sesak di dalam kereta dan menjadi hiburan di tengah panasnya udara.
Minggu dan bulan berlalu, dan tiba waktu menjelang musim haji. Koran-koran mengumumkan tanggal pendaftaran penerimaan permohonan haji.
Saat itu, aku belum mempersiapkan apa pun untuk berhaji, sehingga aku tidak mengajukan permohonan meskipun aku sangat merindukan untuk menunaikan haji dan ziarah, karena aku belum pernah menunaikan kewajiban haji sebelumnya.
Ketika koran-koran mengumumkan waktu penerimaan permohonan haji, aku teringat akan pertanda baik itu dan kabar gembira yang... mungkin akan menjadi kenyataan.
Namun, hari-hari penerimaan permohonan terus berlalu, satu demi satu, hingga hampir habis waktunya.
Aku tidak bergerak sedikit pun, seolah-olah dengan sikap ini aku menantang ramalan sang syekh — sebuah ramalan yang mungkin akan terwujud... Kemudian... akhirnya waktu pendaftaran habis, dan dengan berakhirnya waktu itu, harapanku untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini mulai memudar, meskipun harapan akan datangnya sebuah keajaiban masih tersisa.
Rombongan para calon haji yang telah memenuhi panggilan mulai berangkat menuju tanah suci, diiringi sorak-sorai bahagia dan doa-doa perpisahan.
Stasiun Kubra Al-Limun berada di jalur rutinitas harianku, jadi aku sering melihat pemandangan yang menggembirakan itu dan merasa sedih karena tidak termasuk di dalam rombongan tersebut.
Tinggal enam hari sebelum keberangkatan rombongan terakhir.
Suatu hari...
Pada pagi hari keenam sebelum keberangkatan rombongan terakhir, salah seorang teman meneleponku untuk bertanya tentang nama-nama buku karya Syekh Abdul Wahid Yahya dan cara mendapatkannya. Dia mengatakan bahwa Tuan Hasan Abbas Zaki tertarik untuk membeli beberapa atau semua buku tersebut jika memungkinkan dan ingin mengetahui judulnya serta cara membelinya.
Setelah berbincang dengan temanku itu, kami sepakat bahwa aku akan membawakan kumpulan buku tersebut untuk dilihat oleh Tuan Menteri, sehingga jika ada yang menarik baginya, kami dapat menghubungi toko buku Prancis di Kairo untuk memesan buku-buku itu dari Paris.
Pada sore hari yang sama, aku menyerahkan kumpulan buku itu kepada temanku.
Pada malam hari yang sama, temanku datang lagi dan berkata, “Tuan Menteri ingin bertemu denganmu, ayo kita pergi menemuinya.” Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Kami pun bertemu dengan Tuan Menteri dan mulai berbincang tentang Syekh Abdul Wahid Yahya. Kemudian Tuan Menteri beranjak untuk menerima panggilan telepon. Temanku, agar waktu tak berlalu dalam keheningan, memecah suasana dengan bertanya, seperti halnya kebiasaan para calon haji, “Adakah yang kamu inginkan dari Hijaz?” Ia menunggu jawaban bahwa mungkin aku ingin sebuah tasbih atau benda lain yang biasa dibawa oleh para jamaah haji sepulang mereka.
Namun, tanpa disangka, aku mendapati diriku tergerak untuk menjawab langsung, seolah-olah ada kekuatan yang mendorongku dan tak dapat aku tolak, “Ya, ada permintaan mudah yang ingin kusampaikan kepadamu, dan aku berharap kau bisa melakukannya dengan senang hati.” Temanku bersiap mendengar permintaanku dengan perhatian penuh.
Aku berkata, “Kumohon, berdirilah di hadapan makam mulia Nabi ﷺ, lalu katakan: Abdul Halim mengirim salam kepada tangan mulia itu, menyampaikan salamnya, dan menyatakan kerinduannya kepada Junjungan Rasulullah. Ia memohon kepadamu, wahai makhluk Allah yang paling mulia, untuk memanggilnya agar ia dapat berziarah kepadamu. Jika engkau melakukannya, semua hambatan akan hilang, dan ia akan datang memenuhi panggilan.”
Temanku terdiam sejenak, dan dengan raut wajah yang penuh perenungan, ia berkata, “Aku berharap doamu telah dikabulkan, dan semoga benar demikian.”
Setelah itu, Amirul Hajj menyelesaikan panggilan teleponnya — karena Tuan Hasan Abbas Zaki adalah Amirul Hajj tahun itu — lalu kembali dan temanku menyampaikan padanya apa yang kami bicarakan saat ia sedang menelepon.
Amirul Hajj pun berkata, “Semoga Allah mewujudkan harapan ini,” dan percakapan pun berakhir di sana.
Kami lalu sepakat untuk mengunjungi rumah Syekh Abdul Wahid Yahya bersama-sama agar Tuan Menteri bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kehidupannya.
Aku takkan pernah melupakan sosok Tuan Menteri saat ia berdiri di dalam ruang perpustakaan, di samping meja tempat Syekh Abdul Wahid biasa duduk untuk membaca dan menulis. Ia berdiri terhanyut seakan sedang mengembara dengan rohnya ke masa lalu, ingin mengenal Syekh dalam kehidupannya, atau lebih tepatnya, seakan sedang mengembara di masa kini menuju alam arwah, ingin melihat sosok sejati Syekh dalam alam gaib.
Pasti ada sesuatu dari peninggalan Syekh Abdul Wahid rahimahullah yang masih tersisa di tempat ini — tidak diragukan lagi. Saat itu, aku merasa bahwa Tuan Menteri dengan rohnya yang lembut, spiritualitasnya yang kuat, dan pandangannya yang tajam, seolah-olah sedang terhubung erat dengan jejak sang pemilik tempat.
Aroma Syekh yang lembut dan harum masih memenuhi setiap sudut ruangan ini. Keharuman itu masih meliputi atmosfer, bisa dirasakan oleh siapa saja yang jiwanya lembut, hatinya jernih, dan mata batinnya diterangi cahaya ilahi.
Kami pun berpisah.
Pada hari berikutnya — lima hari sebelum keberangkatan rombongan terakhir — saat aku sedang berada di Fakultas Ushuluddin, ikut serta dalam kegiatan ujian, tiba-tiba terdengar panggilan: “Datanglah untuk menyelesaikan prosedur haji.” Aku pun berkata, “Salawat dan salam sejahtera untukmu, wahai makhluk Allah yang paling mulia.”
Selama ibadah haji, pertemuan dengan Amirul Hajj terus berulang, dan setelah pulang, hubungan kami pun tidak terputus. Suatu hari, Tuan Menteri mengundangku untuk makan siang di rumahnya.
Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi juga hadir di sana dengan senyum tenang, wibawanya yang menenangkan, dan wajahnya yang bersinar dengan cahaya...
Ia mulai berbicara...
Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi tidak berbicara dengan cara yang sederhana atau biasa. Ia berbicara di tingkat yang tinggi. Ia mengejutkan para hadirin dengan mengemukakan suatu masalah, menjelaskannya sebagai suatu masalah, menerangkan sisi-sisi masalah tersebut, lalu meminta para pendengar untuk memecahkannya.
Dan beliau rahimahullah tidak meminta solusi kecuali untuk menarik perhatian mereka dengan cara yang lebih mendalam. Ketika perhatian mereka sudah sepenuhnya tercurah, barulah beliau mulai menyampaikan solusinya.Permasalahan-permasalahan yang beliau angkat biasanya berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga pada akhirnya pendengar menyadari bahwa Al-Qur'an tetaplah murni dan segar.
Selain itu, beliau juga membahas hadis-hadis Rasulullah ﷺ, sehingga pada akhirnya pendengar pun menyadari bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar dianugerahi kemampuan untuk menyampaikan makna yang padat dalam kata-kata yang singkat.
Demikianlah majelis Syekh: sebuah penafsiran terhadap Al-Qur'an atau penjelasan atas Sunnah yang mulia.
Orang-orang yang hadir di majelisnya sering kali melupakan dunia. Tidak ada ruang di majelisnya untuk percakapan yang sia-sia, kebatilan, ataupun hal-hal yang salah, dalam bentuk apapun. Setan tidak memiliki jalan ke majelisnya.
Apakah penafsiran dan penjelasan itu bersifat logis?
Apakah beliau berbicara secara rasional?
Apakah beliau berbicara secara ilmiah?
Apakah beliau berbicara secara intuitif?
Sesungguhnya, logika, ilmu, inspirasi, pandangan batin, pencerahan, dan teks, semua itu bersatu dan saling mendukung, menghasilkan rangkaian bunga yang memuaskan cita rasa yang cerdas, pikiran yang dewasa, dan keimanan yang tercerahkan.
Aku benar-benar terkejut dengan Syekh: terkejut oleh kepribadiannya yang sempurna dan selaras, oleh kepribadiannya yang kuat dan berpengaruh, oleh kepribadiannya yang ramah dan penuh kasih, oleh kepribadiannya yang cerdas dan kritis, serta oleh kepribadiannya yang penuh inspirasi, yang mendapatkan cahaya dari sumber-sumber cahaya.
Semua mata tertuju padanya, telinga terpaku padanya, dan akal tertuntun olehnya dalam ruang pemikiran yang dibimbingnya.
Dan hati pun menjadi tenteram dan bahagia.
Kemudian Syekh terdiam sejenak, lalu menghadap kepada Syekh Abdul Jalil dan berkata kepadanya dengan penuh kasih: “Sekarang giliranmu bicara, wahai anakku, Abdul Jalil.”
Orang yang dipanggil Syekh dengan “anakku Abdul Jalil” ini adalah salah satu ulama Al-Azhar yang cemerlang. Ia bekerja sebagai pengajar di Kementerian Pendidikan. Abdul Jalil memiliki cinta yang mendalam, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi kepada Syekh. Matanya selalu tertuju pada Syekh, dan pendengarannya senantiasa menyimak setiap perkataan Syekh.
Ia mendengar dalam setiap ucapannya, dan memperhatikan setiap isyaratnya, bahkan menuruti setiap keinginan Syekh meskipun Syekh tidak mengungkapkan keinginannya.
Meskipun ia begitu mengabdi pada Syekh, namun kepribadiannya tetap utuh di hadapan orang lain dan tidak lenyap ataupun tersembunyi.
Para pengikut Syekh mengenal kecerdasannya yang tajam, ilmunya yang luas, keseimbangannya dalam bertindak dan meninggalkan sesuatu, serta kebijaksanaannya dalam menangani masalah yang dihadapi oleh komunitas mereka. Mereka juga mengetahui ketekunannya dalam ibadah dan cinta Syekh terhadapnya.
Lalu, Syekh Abdul Jalil berdiri dan mulai berbicara, menafsirkan suatu ayat atau menjelaskan sebuah hadis.
Dalam majelis itu, Syekh memerintahkannya untuk menafsirkan firman Allah Ta'ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu memanjangkan bayangan? Dan jika Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikannya tetap. Kemudian Kami jadikan matahari sebagai penunjuk atas bayangan itu.” (Al-Furqan: 45)
Saat mendengar perintah Syekh kepadanya untuk menafsirkan ayat ini, aku berpikir dalam hati, “Apa yang mungkin akan dikatakan Syekh Abdul Jalil mengenai ayat yang sudah begitu jelas maknanya dan sederhana susunan kalimatnya; membaca saja sudah menunjukkan maknanya.”
Namun, ketika Syekh Abdul Jalil berbicara, ia memberikan penjelasan yang sangat baik, bermanfaat, dan memukau.
Tampak jelas bahwa Syekh sedang mempersiapkan Syekh Abdul Jalil untuk menjadi penerusnya. Ia mendidiknya dengan pengajaran, mengarahkannya melalui perintah, melatihnya dengan ibadah, dan mendidiknya dengan keheningan.
Syekh Abdul Jalil dipersiapkan oleh Syekh untuk mengisi posisi sebagai mursyid setelahnya. Syekh Abdul Jalil pun memiliki kesiapan penuh untuk menggantikan posisi tersebut.
Selesainya Syekh Abdul Jalil dari pembicaraannya menandai berakhirnya majelis tersebut. Kami berpisah secara fisik, namun kenangan akan Syekh tetap hidup dan berdenyut dalam hati.
Pertemuan dengan Syekh pun terulang, baik di rumahnya di Shiblanja maupun di Kairo.
Jika ingin membicarakan karakteristik dan keutamaan dari Syekh al-Qadhi, semoga Allah meridainya, maka tidak ada yang lebih tepat dan lebih jelas dari yang telah disampaikan oleh penerusnya, Syekh Abdul Jalil Qasim, dalam buku ini. Syekh al-Qadhi memiliki kedewasaan sejak dini, terlihat dari langkah pertamanya di masa muda. Ia mulai bergaul dengan orang-orang dewasa, duduk bersama mereka yang berpengalaman, mendengarkan dan menyimak kebijaksanaan mereka, hingga ia pun mulai menapaki jalan mereka. Sering kali ia memberikan pandangan, dan mereka mendapati pendapatnya bijaksana, hingga ia pun dikenal dan dihormati di antara mereka dengan kebijakan yang adil dan berintegritas. Orang-orang tua dan berpengalaman di desa pun mulai mengandalkannya, meminta pendapatnya dalam masalah-masalah penting, memanggilnya ke majelis perdamaian, serta mengajaknya untuk menyelesaikan perselisihan dan memberikan putusan dalam kasus-kasus yang ada.
Alangkah indahnya ketika penulis menceritakan kebiasaan-kebiasaan mulia Syekh yang terpuji. Di antara kebiasaannya adalah bangun pagi; ia bangun sebelum fajar untuk menunaikan kewajiban kepada Tuhannya, mengingat dan memuji-Nya, kemudian sarapan, dan berangkat dengan tawakal kepada Allah menuju kantor untuk mengajarkan Al-Quran hingga waktu Zuhur. Setelah itu, ia pulang ke rumah untuk makan siang, beristirahat sebentar pada waktu siang, lalu melanjutkan kegiatannya dengan mengawasi pertanian dan mengatur urusannya. Kemudian, ia kembali ke rumah untuk menyelesaikan berbagai urusannya, dan sisa harinya dihabiskan untuk membaca buku-buku agama, kisah para salihin, serta menceritakan riwayat hidup mereka dan karamah-karamah mereka kepada sahabat-sahabatnya dan anggota majelisnya. Ini adalah hobinya, untuk meneladani jejak mereka dan berjalan di atas jalan mereka.
Kecintaannya yang tulus kepada Rasulullah membuat Allah mengaruniakan padanya seseorang yang bisa memenuhi dahaganya akan kisah-kisah tentang kekasihnya. Suatu hari, salah satu ulama sepuh dari desa datang berkunjung ke rumahnya. Setelah berbincang tentang para salihin dan keutamaan mereka, ulama tersebut memberikan kepada Syekh sebuah manuskrip yang berisi berbagai bentuk shalawat yang diyakini memiliki pahala dan keutamaan yang berlipat ganda ketika dibacakan untuk Rasulullah ﷺ. Ulama tersebut berkata kepada Syekh, "Ambillah ini, salinlah, dan jadikan ini sebagai wiridmu. Shalawat ini memiliki manfaat dan berkah yang luar biasa."
Syekh bertanya kepada ulama tersebut, "Dari siapa engkau menyalin shalawat ini?"
Ulama itu menjawab, "Aku menyalinnya dari Syekh al-Asymuni, seorang ulama besar Al-Azhar yang terkenal. Beliau mewasiatkan kepadaku untuk membacanya karena memiliki rahasia yang luar biasa dalam membuka pintu-pintu keberkahan dan mendekatkan pembacanya kepada Rasulullah ﷺ."
Syekh pun menyadari bahwa ini adalah karunia dari Allah yang disampaikan melalui ulama tersebut. Dengan segera, ia menyalin shalawat itu dalam waktu singkat, karena memang terbiasa untuk bergegas dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama dan akhirat. Shalawat itu pun menjadi wirid harian Syekh, dan beliau menganggapnya sebagai kunci dari segala kebaikan yang datang kepadanya. Syekh sering berkata tentang shalawat ini, "Aku tidak menemukan cara yang lebih cepat untuk meraih keberkahan dan kedekatan dengan Rasulullah ﷺ, serta jalan yang paling mudah menuju ridha Allah, selain melalui shalawat ini. Ia mampu mengatasi berbagai kesulitan hidup, meringankan kesusahan, mendatangkan rezeki, serta memenuhi berbagai hajat."
Setiap kali Syekh menghadapi masalah atau kesulitan, ia segera melaksanakan shalat dan membaca shalawat ini, meneladani Rasulullah ﷺ yang senantiasa menunaikan shalat ketika menghadapi masalah. Syekh mendapati bahwa setiap kali ia membaca shalawat tersebut dalam keadaan terdesak atau tertimpa kesulitan, selalu datang kemudahan dan jalan keluar setelahnya. Karena itu, Syekh sangat menjaga dan mengamalkan shalawat ini, bahkan mewasiatkan kepada anak-anaknya untuk terus membaca dan menjaganya, merasakan cahaya dan berkah yang terkandung di dalamnya, serta ridha Rasulullah ﷺ.
Syekh sangat mencintai shalawat ini sehingga ia membacanya berkali-kali setiap hari. Ketika ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, "Aku membacanya sekali untuk diriku sendiri, dan sisanya untuk menutupi kekurangan anak-anakku." Kecintaannya terhadap shalawat ini begitu besar, hingga terkadang terdengar suara beliau membaca shalawat tersebut dalam tidur dengan suara yang terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Ketika terbangun, ia melanjutkan bacaannya dari tempat di mana ia berhenti.
Dan ini terjadi sedikit sebelum kepulangannya. Sebagai bukti besar atas keutamaan dan manfaatnya, Rasulullah ﷺ memegangnya dengan tangan mulianya dan berkata kepada sang Shyekh dalam mimpi: "Aku mencintainya, aku mencintainya, aku mencintainya."
Karena itu, sang Syekh tidak pernah meninggalkannya, baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggal, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, hingga hari ia menemui Allah Ta'ala, ia selalu membacanya seperti biasa. Karena kecintaan dan ketergantungan sang Syekh terhadapnya, banyak yang melihatnya dalam mimpi sedang memegang dan membacanya, serta menganjurkannya sambil menjelaskan keutamaannya, hingga ia berkata kepada beberapa orang yang melihatnya dalam mimpi: "Ini adalah wirid yang paling penting dalam jalan ini, bahkan ini adalah jalan itu sendiri." Kemudian penulis melanjutkan untuk menjelaskan perjuangan besar sang Syekh dan amal-amal mulianya dengan berkata:
Sang Syekh terus berjuang dalam perjuangan besar hingga ia mencapai usia sedikit lebih dari tiga puluh tahun. Ia merasakan dorongan kuat dan hasrat yang mendalam untuk menyalin Al-Qur'an dengan tangannya dalam bentuk juz-juz. Ia segera merespons keinginan ini, seperti kebiasaannya, dengan berdiam diri untuk pekerjaan mulia ini selama dua puluh lima hari, dan pada akhirnya menyelesaikan penulisan seluruh Al-Qur'an dalam juz-juz dengan tulisan yang jelas, lengkap dengan tanda baca, harakat, simbol-simbol di dalam mushaf, dan menghias awal surah dan juznya, serta membalut setiap juz dengan sampul yang kokoh dan indah. Selama periode ini, ia tidur dan makan sedikit, merasakan kekuatan spiritual yang luar biasa, semangat yang tinggi, dan energi besar. Ia sadar bahwa ini adalah tugas dari Allah dan bahwa ada sesuatu yang lebih besar setelahnya.
Karena ia tahu bahwa setiap orang yang menulis Al-Qur'an akan mendapatkan doa yang dikabulkan, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Doa apa yang akan aku panjatkan?" Dan ia tidak menemukan selain memohon kepada Allah setelah menyelesaikan penulisan Al-Qur'an, agar Allah menerima amalnya ini dengan ikhlas, menjadikannya jalan menuju-Nya, memberikan kesuksesan dalam apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya, serta memberikan akhir yang baik.
Setelah selesai menulis Al-Qur'an, ia bermimpi melihat sekumpulan orang-orang pilihan Allah yang sedang membuka halaman-halaman mushaf tersebut, saling bertukar pandang dengan kekaguman dan penghargaan. Kemudian, kelompok ini memutuskan untuk menerima dan mendistribusikan mushaf tersebut pada acara-acara keagamaan di kalangan warga desa, mengingat ketulusan dalam penulisannya. Benar saja, mushaf tersebut kemudian dipergunakan oleh umat Muslim dalam berbagai acara keagamaan mereka.
Salah satu amal mulia terakhir yang dilakukannya di akhir hidupnya adalah membangun masjid yang besar dengan menara tinggi yang menarik perhatian dari jauh.
Ia membeli tanahnya, menyiapkan bahan-bahan bangunannya, dan mengatur dana yang tersedia untuk membangunnya dan mendirikannya, serta memastikan desainnya dan memberi petunjuk untuk pelaksanaannya, tetapi ajal menjemputnya sebelum selesai.
Masjid ini dianggap sebagai oase di tengah padang pasir kehidupan, karena di dalamnya berkumpul para murid setiap hari untuk berdzikir dan menuntut ilmu, dikelilingi oleh malaikat, diturunkan rahmat kepada mereka, dan mereka disebutkan oleh Allah di hadapan-Nya.
Adapun amalnya yang benar-benar abadi adalah didikannya terhadap para elit yang belajar darinya, di antaranya adalah penggantinya, Syekh Abdul Jalil Qasim, Dr. Hasan Abbas Zaki, banyak ulama terkenal, dan putranya, Prof. Sulaiman Al-Qadi, seorang pengawas di Kementerian Pendidikan. Semoga Allah memberikan manfaat melalui mereka dan menjadikan mereka menara yang menerangi bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.
المنار الهادي في خصائص شيخنا القاضي
Sumber FB Ustadz : Nur Hasim