Ada Masanya Ilmu Lebih Penting Dari Amalan

ADA MASANYA ILMU LEBIH PENTING DARI AMALAN

ADA MASANYA ILMU LEBIH PENTING DARI AMALAN

Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kitab ? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yg penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu, merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal dan melaksanakan perintah.

Banyak Tidak Peduli Ilmu

Namun sayangnya, masih banyak sekali di antara kaum muslimin dan muslimat yg kurang mempedulikan landasan ilmu, ketika mereka beramal yg sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yg melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yg dia kerjakan. Bisa jadi, ini didasari anggapan, amal rutinitas  ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan oleh setiap orang muslim.

Memang, tidak ada yg sempurna dalam beribadah, kecuali sekelas ibadah para nabi dan rasul, namun sebagai hamba Allah subhanahu wa ta'ala yg terkena beban (taklif) agama, perlu terus berikhtiar  mencari ilmu untuk mencapai kesempurnaan ibadah. 

Seorang Muslim Harus Berilmu

Menurut Hujjatul Islam Al-Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari rahimahullah (wafat 1111 M di Thus Iran), dalam kajian ilmu syariat dan makrifat, ditemukan bahwa seseorang harus berilmu terlebih dahulu, sebelum melakukan ibadah yg wajib ataupun sunnah, karena mustahil seseorang bisa menjalankan ibadah dengan sebaik²nya tanpa mengetahui ilmunya. Misalnya, jika mau shalat dengan baik butuh ilmu, menjalankan ibadah puasa dengan baik butuh ilmu, mau mendapatkan pahala shalat dan puasa dengan baik, perlu mengetahui ilmunya, begitu juga zakat fitrah dan zakat mal yg benar, apalagi melaksanakan haji dan umrah.

Ilmu Harus Didahulukan

Sesungguhnya, ilmu pengetahuan itu mesti didahulukan berbanding dengan amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yg mampu membedakan antara yg hak dan yg batil dalam keyakinan umat manusia, antara yg benar dan yg salah didalam perkataan mereka; antara perbuatan yg disunnatkan, makruh dan yg membatalkan dalam ibadat; antara yg benar dan tidak benar dalam melakukan muamalah; antara tindakan yg halal dan tindakan yg haram; antara yg terpuji dan terhina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yg diterima dan ukuran yg ditolak; antara perbuatan dan perkataan yg boleh diterima dan yg tidak dapat diterima; antara dusta dan benar.

Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 720 M di Aleppo Suriah) pernah berkata : “Barang siapa yg melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan berkenaan dengan perkara itu, maka apa yg merusak adalah lebih banyak daripada apa yg dia perbaiki". (Kitab Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhluh : 1/27 karya Imam Ibnu Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah wafat 1071 M, Spanyol).

Ilmu Bagai Pohon, Ibadah Bagai Buah

Imam Al-Ghazali rahimahullah menyebut bahwa ilmu menempati posisi pohon dan ibadah adalah buahnya. Dalam menempati posisi pohon, ilmu lebih didahulukan dibanding buah. Keutamaan ilmu karena ia menjadi pohon, tempat asal atau sumber buah. Akan tetapi ilmu tidak berguna jika tidak berbuah. Sehingga seorang muslim harus berilmu dan beribadah. Ahli ilmu lebih utama dibanding ahli ibadah itu disebabkan ilmu sebagai asal dan petunjuk.

Jika pohon tidak berbuah, maka tidaklah lengkap manfaatnya. Demikian pula, buah tidak akan ada, tanpa adanya pohon. Oleh karena itu, ilmu dan ibadah merupakan satu kesatuan yg tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya, menjadi sarana yg dapat menyempurnakan amalan ibadah seseorang.

Keutamaan Ilmu Atas Amalan

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Al-Hambali Ad-Dimasyqi Rahimahullahu (wafat 1350 M di Damaskus Suriah) menyebutkan sebuah riwayat, salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhu (wafat 656 M, Madain, Irak) berikut :

فَضْلُ العِلْمِ خَيرٌ من فَضلِ العبادةِ، وخَيرُ دِينِكم الوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada amalan sunnah (tidak wajib/anjuran) dan sebaik² agamamu adalah sifat wara’. (HR. Imam Abu Nu’aim Al-Isfahani rahimahullah wafat 1038 M di Isfahan Iran; Imam Al-Hakim rahimahullah wafat 892 M di Tirmidz Uzbekistan dalam Kitab Al-Mustadrak Alas Shahihain, 1/171 halaman 317; Imam Ath-Thabrani rahimahullah wafat 918 M di Isfahan Iran dalam Kitab Mu'jamul Ausath 4/1 halaman 196; dan ada jalur riwayat Sahabat Said bin Abi Waqqash radliyallahu anhu wafat 674 M di Jannatul Baqi' Madinah oleh Imam Al-Hakim rahimahullah dengan sanad Shahih). 

Dalam Kitab Latha'if Al-Ma'arif Fi Ma Li Mawasim Al-Am Minal Wazhaif  (1/279) karya Al-Imam Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al-Hambali Ad-Dimasyqi rahimahullah (wafat 1393 M di Damaskus Suriah), ada riwayat Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu (wafat 650 M di Jannatul Baqi' Madinah) berkata :

لَئِنْ أَجْلِسَ مَجْلِسَ فِقْهٍ سَاعَةً أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ صِيَامِ يَوْمٍ وَقِيَامِ لَيْلَةٍ

“Seandainya aku duduk di majelis ilmu sesaat saja, (hal itu) lebih aku sukai daripada berpuasa (sunnah) sehari dan qiyamul lail semalam suntuk”. (Juga termaktub dalam Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah : 2/41 karya Imam Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Muflih ibn Muhammad ibn Mufarraj Ar-Ramini Al-Maqdisi Al-Hambali Ad-Dimasyqi atau Imam Ibnu Muflih rahimahullah wafat 1362 M, Damaskus, Suriah)

Alasan yg lainnya, kenapa ilmu lebih utama daripada amalan² sunnah, yaitu karena faedah/buah ilmu tetap ada meskipun orangnya telah mati. Kita tahu kitab² para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yg lebih dari 100 tahun mereka meninggal dunia, tapi Alhamdulillah kita masih bisa membaca dan mengambil faedah dari kitab² mereka dan terus kita doakan mereka, semoga Allah merahmatinya.

Ini jelas menunjukkan bahwa faedah dan buah ilmu menetap, meskipun pemiliknya telah telah wafat. Sedangkan ibadah terputus, setelah orangnya meninggal dunia. Sebagaimana didawuhkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib karromallahu wajhah (wafat 661 M di Kufah Iraq) :

مات خزان الأموال وهم أحياء،والعلماء باقون ما بقي الدهر

“Orang² yg punya harta (tapi tidak bertakwa) telah mati di hadapan manusia ketika mereka masih hidup. Orang² yg berilmu senantiasa ada sepanjang masa sampai hari kiamat".

Pada aspek pemberian keutamaan yang dibenarkan oleh agama ialah keutamaan ilmu berbanding dengan amalan. Ilmu itu harus didahulukan daripada amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah terhadap amalan yg akan dilakukan. 

Dalam hadits riwayat Sahabat Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal Al-Khazraji radhiyallahu anhu (wafat 639 M di Syuriah) disebutkan :

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu itu pemimpin, dan amalan adalah pengikutnya". (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu 'Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah (wafat 2 Desember 1071 M, Spanyol) hadits marfu’ dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadith mauquf. (Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah wafat 1350 M di Damaskus Suriah dalam Kitab Miftah Darus Sa'adah 1/82).

Saking pentingnya mempelajari ilmu terlebih dahulu, misalnya kepada para pemimpin dan pedagang, Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu anhu (wafat 644 M di Masjid Nabawi Madinah) mengatakan :

تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

“Belajarlah ilmu, sebelum menjadi pemimpin”. (Riwayat Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah wafat 849 M di Kufah Iraq).

Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga berkata :

لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Janganlah berjualan di pasar kami orang yg belum paham tentang ilmu agama”. (Diwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah wafat 892 M di Tirmidz Uzbekistan).

Ilmu Mendahului Perkataan dan Perbuatan

Atas sebab inilah, Imam Bukhari rahimahullah (wafat 870 M di Bukhara Uzbekistan) meletakkan satu bab khusus tentang ilmu dalam Kitab  Jami’ Shahihnya ataupun lebih dikenali dengan nama Kitab Shahih Al-Bukhari dengan tajuk ‘Ilmu Mendahului Perkataan dan Perbuatan’ (bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal).

Keadaan keduanya (perkataan dan perbuatan ) itu tidak dianggap shahih kecuali tanpa ilmu, sehingga ilmu tetap itu didahulukan daripada keduanya. Ilmulah yg membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yg akan dilakukan.

Sebagaimana penjelasan (syarah) Shahih Bukhari oleh Al-Imam Al-Hafidh Abu Muhammad Mahmud Badruddin Al-Aini Al-Hanafi Al-Maturidi rahimahullah (wafat 28 Desember 1451 M, Kairo, Mesir) dengan mengutip perkataan Imam Ibnul Munayyir rahimahullah (wafat 1284 M) berikut :

"Yang beliau maksudkan bahwasannya  ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai, kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yg akan men-sahkan niat, dan niat adalah yg men-sahkan amal". (Kitab Umdatu Al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafidz Al-Aini, jilid 2, halaman 476).

Al-Imam Al-Muhadits Umam Nashirudin Ali Bin Muhammad bin Munir Al-Iskandari atau Imam Ibnul Munir  rahimahullah (wafat 1291 M)  berkata : “Yang dimaksudkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan.  Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yg akan memperbaiki amalan.” (Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari : 1/108)

Dari keterangan Imam Ibnul Munir rahimahullah tersebut, dapat disimpulkan bahwa posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yg benar, jika dia memahami (baca : mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yg disampaikan oleh Imam Ibnu Batthal al-Maliki Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 1057 M) dengan mengutip keterangan Al-Imam Al-Qadhi Al-Muhaddits Al-Faqih Al-Muhallab bin Abi Shafrah Al-Maliki Al-Andalusi atau Imam Al-Muhallab rahimahullah (wafat 1034 M di Spanyol) dalam kitab Al-Mukhtashar An-Nashih Fi Tadzhib Al-Jami’ Ash-Shahih, yg mengatakan :

"Amal itu tidak mungkin diterima, kecuali yg didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yg Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan orang gila, yg tidak dicatat amalnya". (Kitab Syarh Shahih Bukhari karya Imam Ibnu Batthal rahimahullah, Syamilah, 1/145)

Ilmu Dulu Baru Amalan

Keterangan Imam Bukhari rahimahullah ulama hadits di atas, Al-‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)“, merupakan kesimpulan yg beliau ambil dari firman Allah subhanahu wa ta’ala :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah) ! Bahwasannya tiada sesembahan yg berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”.

(QS. Muhammad : 19).

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta'ala memulai dengan ‘ilmuilah’, lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmui-lah yg dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Salah satu guru Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, yaitu Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali Al-Kufi Al-Makki rahimahullah  (wafat 25 Februari 815 M, Jannatul Ma'la Mekkah) berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. 

Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Abu Nu’aim Al-Isfahani rahimahullah (wafat 1038 M di Isfahan Iran dalam Kitab Hilyatul Auliya Wa Thobaqatul Ashfiya, ketika menjelaskan biografi Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah dari jalur Imam Abu Taubah Ar-Robi’ bin Nafi’ Al-Hallab rahimahullah; darinya, bahwa Imam Sufyan bin Uyyainah rahimahullah membaca ayat ini, lalu mengatakan : “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal ?(Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari 1/108; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i rahimahullah wafat 1449 M di Kairo Mesir).

Selain itu, juga berdasarkan keterangan Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu (wafat 820 di Fustat Mesir) yg mengatakan :

ليس شيء بعد الفرائض أفضل من طلب العلم

“Tidak ada satu amal pun yg lebih utama setelah amal² yg Allah wajibkan daripada amalan menuntut ilmu agama.”

Untuk Apa Belajar

Mungkin dari tulisan Imam Bukhari rahimahullah di atas, ada sebagian orang yg bertanya : "Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan ?"

Simaklah, sesungguhnya, setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yg dia pelajari belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Imam Al-Hafidh Badruddin Al-Aini Al-Hanafi rahimahullah, ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari rahimahullah di atas, beliau menyatakan :

"Imam Bukhari mengingatkan hal ini –Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan–, agar tidak didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal. Pemahaman ini dilatar belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari ilmu". (Kitab Umadatul Qori Syarh Shahih Bukhari, As-Syamilah, 2/476)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yg bermanfaat adalah amalan yg terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yg di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap² ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yg dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yg pena diangkat dari dirinya.“ (Kitab Syarh Al-Bukhari libni Baththol, 1/144).

Muncul Zaman Butuh Ilmu

Sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu (wafat 650 M di Jannatul Baqi' Madinah) berkata :

أَنْتُمْ فِي زَمَانِ الْعَمَلُ فِيْهِ أَفْضَلُ مِنَ الْعِلْمِ وَسَيَأْتِي زَمَانُ الْعِلْمُ فِيْهِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ.

"Kalian berada pada masa di mana amalan itu lebih baik daripada ilmu, dan akan datang suatu zaman di mana ilmu itu lebih baik daripada amalan".

Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah (wafat 1111 M di Thus Iran) dalam kitab Ihya’ Ulumuddin  mengutip sebuah riwayat, berikut  : “Sesunggunya kalian berada dalam zaman dimana fuqaha’nya (ahli ilmu) banyak dan sedikit oratornya (khutoba’). Amal pada zaman ini lebih baik daripada ilmu. Dan kelak manusia akan tiba pada masa di mana fuqaha’nya sedikit tetapi ahli oratornya banyak. Pada zaman itu ilmu lebih baik daripada amal".

Imam Sufyan Ats-Tsauri Al-Bashri rahimahullah (wafat 778 M, Basrah, Irak)

dan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (wafat 830 M di Fustat Mesir) menyatakan, bahwa setelah pelaksanaan apa saja yg diwajibkan (al-faraidl) tidak ada yg lebih utama dari menuntut ilmu (belajar). Tidak asing bagi kita tentang ungkapan, bahwa menyibukkan diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, karena Allah subhanahu wa ta'ala, itu lebih utama dari ibadah² sunnah, seperti shalat, puasa, tasbih, berdoa dan sebagainya.

Ungkapan para ulama Salafus sholih di atas benar adanya, dengan beberapa alasan, karena :

1. Ilmu itu bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain, sedangkan ibadah² sunnah yg bersifat fisik itu, manfaatnya hanya terbatas untuk diri para pelakunya.

2. Ilmu bisa mengkoreksi beragam ibadah, implementasi ibadah butuh ilmu dan keabsahannya juga tergantung kepada ilmu, sedangkan ilmu sama sekali tidak tergantung kepada ibadah.

3. Para ulama adalah pewaris (ilmu) dari para Nabi, ilmu bukan diwariskan kepada para ahli ibadah.

4. Orang yg tidak berilmu (al-jaahil) berkewajiban menaati orang yg berilmu (al-'aalim).

5. Pengaruh ilmu itu terus berlangsung, meskipun pemiliknya telah meninggal dunia, sedangkan ibadah² sunnah terhenti, setelah pelakunya meninggal dunia.

6. Sesungguhnya ajaran agama itu bertumpu pada kelanggengan ilmu dan manfaatnya.

Saking pentingnya ilmu atas ibadah, Al-Imam An-Nawawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari rahimahullah (wafat 1277 M di Nawa Suriah) berpendapat bahwa meyibukkan dengan mencari ilmu, itu lebih afdhal daripada sibuk beribadah sunnah, seperti shalat, puasa sunnah dan menbaca tasbih.

Mengapa beliau mengatakan begitu ? Ada beberapa alasan yg diungkapkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Muqaddimah Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab’, halaman 48), yaitu :

1. Manfaat ilmu itu lebih meluas kepada kaum Muslimin. Sedangkan ibadah sunnah manfaatnya hanya untuk perorangan, yaitu orang yg melakukan ibadah² sunnah tersebut.

2. Karena ilmu itu mengoreksi ibadah sedangkan ibadah sunnah itu membutuhkan ilmu agar benar, sempurna dan diterima.

3. Ulama merupakan para pewaris nabi, sedangkan ilmu adalah bentuk nyata warisan Nabi.

4. Karena ilmu tetap kekal, meskipun ahli ilmu meninggal dunia. Sedangkan ibadah sunnah terputus jika seseorang meninggal dunia.

Namun, fenomena saat ini, banyak orang berbangga dengan ibadah² dan amaliah² sunnah-nya, sedangkan dia enggan mengkaji dan mempelajari ilmu. Padahal, Sahabat Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :

‌وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ‌مَجْلِسُ ‌فِقْهٍ ‌خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً

“Ibnu Umar meriwayatkan dari nabi Muhammad bahwa beliau bersabda “Majelis fikih (ilmu) lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun". (Muqaddimah Kitab Syarh Majmu’, halaman 47).

Dikisahkan, dari riwayat Sahabat Abdullah bin Amr bin Al-Ash radliyallahu anhu (wafat 682 M di Mesir). Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam keluar, tiba² beliau melihat di dalam masjid ada dua majelis. Yaitu majelis yg membahas ilmu² syariat dan kedua majelis yg isinya doa kepada Allah subhanahu wa ta'ala (dzikir).

Para Sahabat kemudian bertanya tentang dua majelis tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjawab : ‘Kedua majelis itu mengajak kepada kebaikan. Yang satu berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan satunya mereka belajar ilmu dan mengajari orang yg bodoh. Mereka inilah yg lebih utama (dari majelis pertama), saya diutus untuk mengajar manusia. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam duduk bersama mereka (majelis ilmu)". (HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah wafat 887 M di Qazwin Iran).

Alkisah lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk ke sebuah majlis. Di majlis itu, tampak ada dua kelompok; yg pertama sedang berzikir, dan yg kedua sedang mempelajari ilmu. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Kelompok pertama adalah kelompok yg baik. Mudah²an Allah mengampuni mereka. Sementara itu, kelompok kedua lebih tinggi dari kelompok pertama; mudah²an Allah membimbing mereka ke jalan yg lurus.” (HR. Imam Ath-Thabrani rahimahullah wafat 918 M di Isfahan Iran).

Generasi zaman ini telah mulai banyak menggandrungi model² ritual massa, seperti semarak sholawatan, gebyar haul, dan lainnya, dampaknya malas mempelajari ilmu, kemudian yg tidak mengenal lagi ulama² alim allama. Mereka hanya mengenal para ustadz dan dai digital, melalui media sosial dan televisi. Apalagi jika telah ada orang² yg menyamar sebagai ulama dengan modal ilmu yg minimalis. Bahkan, belajar agama mereka cukupkan dengan melalui media sosial dan internet.

Dan juga banyak sekali perkataan ulama salaf tentang masalah ini. Di antaranya, perkataan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah taala,

الربيع يقول سمعت الشافعي يقول طلب العلم "أفضل من صلاة النافل

Al-Imam Abu Muhammad Ar-Rabi Bin Sulaiman Al-Muradi Al-Mishri Al-Muadzin rahimahullah (wafat 884 M di Mesir) berkata : aku mendengarkan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata : “menuntut ilmu lebih afdhal (lebih utama) dari shalat sunnah".

Ungkapan di atas adalah penentu permasalahan ini yakni : Belajar ilmu lebih baik, dari pada melakukan amalan² sunnah.

Dari Sahabat Abi Dzar Al-Ghifari radliyallahu anhu (wafat 652 M,  Ar-Rabatha Arab Saudi), Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya kamu pergi pada pagi hari lalu mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik bagimu daripada kamu shalat seratus raka’at. Dan sesungguhnya kamu pergi pada pagi hari dan mempelajari satu bab dari ilmu, baik diamalkan atau tidak itu lebih baik daripada shalat seribu raka’at.” (HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah wafat 887 M di Qazwin Iran).

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (wafat 661 M di Kufah Iraq) pernah berkata : “ada kelompok orang yg membuat punggungku patah. Pertama, orang bodoh yg puas dengan kebodohannya; dan kedua, orang alim yg tidak mengamalkan ilmunya.”

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : ‘Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang yg mengajarkan ilmu.’ Beliau juga bersabda, ‘jika kamu bangun di pagi hari dan membuka satu bab ilmu pengetahuan, itu lebih baik bagi kamu daripada ibadat semalam suntuk’ (HR. Ath-Thabrani rahimahullah). Jadi orang yg salat tahajud, tidak tidur satu saat pun, pahalanya kalah besar dari orang yg mempelajari satu bab ilmu.

Pada perkembangan mutakhir, ternyata banyak orang yang merasa nikmat dengan menghadiri majelis dzikir daripada majlis ilmu. Inilah yg menyebabkan orang Islam ketinggalan dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa² lain. 

Syekh Syaqib Arsalan rahimahullah (wafat 9 Desember 1946 M di Lebanon)

menulis dalam bukunya, Limadza Ta’akara Al-Muslimun wa Taqoddana Ghairuhum ? (Mengapa Umat Islam Terbelakang sedangkan Umat Non-Muslim Maju ?). Salah satu jawabannya ialah karena pernah, dalam sejarah perkembangan umat Islam, kita lebih mengutamakan majelis dzikir daripada majlis ilmu.

Sekarang tampaknya kita harus menggeser lagi perhatian seperti itu, supaya kita memperhatikan majelis² ilmu, untuk menutupi kekurangan ibadah, bukan mengganti ibadah. Untuk menutupi kekurangan itulah, kita menghadirkan majelis² ilmu, membaca buku, mempelajari pengetahuan, bukan buku agama saja, tetapi juga berbagai buku ilmu pengetahuan.

Orang sering mengatakan bahwa Islam adalah agama egalitarian, agama yg menekankan persamaan. Meskipun demikian, dalam Islam, ada yg harus dibedakan. Alquran menegaskan bahwa dalam hal ilmu kita harus ‘diskriminatif’, dalam hal ilmu, kita tidak boleh memperlakukan sama. Kita tidak boleh membedakan orang karena kekayaannya, keturunannya, jabatannya, asal-usulnya. Kita hanya membedakan orang dari ilmunya. Dalam hal ilmu, kita harus membedakan orang.

Bahkan, Allah menegaskan beberapa kali; ‘apakah sama orang yg berilmu dengan orang yg tidak berilmu?’ (QS. Az-Zumar : 9). Pertanyaan dalam ayat itu dalah pertanyaan retoris; artinya, jawabannya sudah pasti, yaitu ‘tidak sama’. ‘Apakah sama orang² yg buta dengan orang yg melihat ?’ (QS. Al-An’am : 50) ‘Apakah sama kegelapan dengan cahaya ?’ (Ar-Ra’du : 16).

Berulang kali Alquran menyebutkan bahwa tidak sama antara kebodohan dan ilmu. Kemuliaan dalam Islam terletak dalam ilmu. Karena itulah, Islam menunjukan keutamaan majelis ilmu dibandingkan majelis zikir. Namun yg paling baik ialah banyak berdzikir, sekaligus banyak mempelajari ilmu. Menyeimbangkan potensi hati dengan dzikir dan menajamkan potensi pikiran dengan mempelajari ilmu

Ilmu dalam Islam menempati posisi yg penting. Sebagaimana diketahui,  mencari ilmu berada pada tingkatan wajib. Barangkali kalau dikumpulkan, ada puluhan ayat dan hadis Nabi yg menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan kewajiban mencarinya. Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ahli ilmu lebih utama dibanding ahli ibadah.

Dalam Kitab Minhajul Abidin karya Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah, dijelaskan ada dua hal penting dalam agama, yaitu ilmu dan ibadah. Bahkan lebih lanjut, Imam Al-Ghazali mempertegas selain ilmu dan ibadah hanya ada kebatilan yg nihil kebaikan dan kesia²an belaka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat At-Thalaq ayat 12 dan surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنزلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah-lah yg menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Lebih diutamakannya ilmu dibanding ibadah dikarenakan ilmu sebagai asal atau sumber. Sedangkan ilmu diposisikan sebagai asal karena dua hal. Pertama, dengan memiliki ilmu, ibadah akan terlaksana secara benar. Bagaimana mungkin seseorang beribadah tanpa memiliki pengetahuan tentang Dzat yang Disembah, apa yang Ia perintah dan Ia larang. Maka ilmu lebih didahulukan agar umat Islam tidak keliru dalam beribadah sehingga membuat ibadahnya sia-sia.

Kedua, ilmu yang bermanfaat menjadikan takut kepada Allah (khosyatillah) dan mendapat derajat kemuliaan di sisi-Nya. Orang yg tidak memiliki ilmu tentang Allah dan segala perintah dan larangan-Nya tidak akan mendapatkan derajat kemuliaan dari-Nya. Karena dengan ilmu, orang akan menjadi taat dan terjauhkan dari maksiat berkat anugrah Allah. Sedangkan anugrah-Nya tidak akan diberikan bagi mereka yang tidak berilmu.

Selain itu, sejarah Islam telah membuktikan bahwa pengangungan dan perhatian terhadap ilmu telah berhasil membawa Islam sebagai peradaban yg gemilang. Pemerintahan Islam yg berjaya di masa lalu ialah mereka yg menempatkan ilmu pengetahuan sebagai pondasinya. Ilmu memiliki urgensi yg signifikan dalam lingkup individual dan sosial.

Philip K. Hitti (meninggal 24 Desember 1978 M,  Princeton, New Jersey, Amerika) mencatat dalam bukunya, The History of Arabs, perkembangan ilmu yg pesat mulai dari kajian kedokteran, astronomi, arsitektur, matematika, geografi, sejarah, sastra, seni hingga filsafat membuat dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Spirit keilmuan ini ditangkap oleh dunia Barat melalui gerakan Averoisme (para murid Ibnu Rusyd) yg menjadi faktor lahirnya kebangkitan (renaissanse) dan pencerahan (Aufklarung) Eropa. Dampaknya, dunia menjadi lebih cerah dan maju karena perkembangan ilmu pengetahuan.

Wallahu a’lam bis shawab. Semoga bermanfaat !!

From various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik 

#sarinyala #ngajirutin #ilmu #sufi #majelisilmu #nu #santrinjoso #tebuireng #aswaja #fiqih #ngajionline #live #santri #ayongaji #pbnu #lembagadakwahnu #pwnujatim #pcnugresik #nugres #viral #pondokpesantren #kyai #nuonline #hadits #nuonlinejatim #nahdlatululama #santrionline #kontendakwah 

Sumber FB : Sarinyala.id

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ada Masanya Ilmu Lebih Penting Dari Amalan - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®