🔰 IBNU QAYYIM DAN SYAIKH IBNU TAIMIYAH MEMUJI SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES
Oleh Ustadz : Aisyatul Mabrurah Al Hamaamuh
Versi: Filsuf yunani.
Sesuatu yang tidak dapat dipungkiri adalah apabila ada kebenaran yang keluar dari siapapun yang mengatakan yang selaras dan tidak menyimpang dari isi Al Quran dan Sunnah. Maka, ia boleh diambil dan patut dipuji orang yang mengatakannya. Sebab, patokannya adalah sesuatu yang dikatakan bukan orang yang mengatakan.
Al Imam Assindi (W 1138 H) mengatakan:
ينبغي أن يكون نظر المرء إلى القول لا إلى القائل. وهذا كما يقال : انظر إلى ما قال ولا تنظر إلى من قال.
Artinya: Seharusnya seseorang menilai pada ucapan bukan pada yang orang mengucapkan. Ini sebagaimana yang dikatakan: Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan.
[Syarah Sunnah Ibnu Majah Lissindi: 4/454]
Begitulah yang dilakukan oleh dua ulama besar junjungan salafi wahhabi yaitu Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang wafat tahun 752 Hijriyah dan Syaikh Ibnu Taimiyah ketika guru dan murid ini meneliti tiga tokoh filsuf dalam judul diatas.
Ibnu Qayyim memuji Socrates, dikarenakan pandangan/ucapannya Socrates mengenai sifat ketuhanan lebih mendekati kebenaran seperti madzhabnya ahli Itsbat.
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (W 751 H) mengatakan:
وكان مذهبه في الصفات قريباً من مذهب أهل الإثبات.
Artinya: Madzhab nya Socrates dalam sifat (ketuhanan) itu dekat dengan madzhab ahli Itsbat.
[Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Assyaithan: 1/215]
Ibnu Qayyim juga mengutarakan perkataan Socrates mengenai sifat ketuhanan.
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (W 751 H) mengatakan:
وقال : إن علمه، وقدرته ووجوده، وحكمته بلا نهاية لا يبلغ العقل أن يصفها.
Artinya: Socrates mengatakan: Sesungguhnya sifat ilmunya, qudrah nya, wujudnya dan hikmahnya tanpa penghabisan akal tak bisa mencapai untuk menyifati nya.
[Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Assyaithan: 1/215]
Selain itu, Ibnu Qayyim menegaskan bahwa ucapannya Socrates mengenai hari kebangkitan, sifat ketuhanan dan perkara yang berkaitan dengan kausalitas lebih mendekati ucapannya para nabi, yang artinya Socrates ada benarnya dan boleh diikuti dalam sudut pandang ini.
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (W 751 H) mengatakan:
وكلامه في المعاد والصفات والمبدأ أقرب إلى كلام الأنبياء من كلام غيره. وبالجملة، فهو أقرب القوم إلى تصديق الرسل، ولهذا قتله قومه . وكان يقول : إذا أقبلت الحكمة خدمت الشهوات العقول، وإذا أدبرت خدمت العقول الشهوات. وقال : لا تكرهوا أولادكم على آثاركم، فإنهم مخلوقون الزمان غير زمانكم.
Artinya: Perkataannya (Socrates) tentang hari kebangkitan, sifat sifat (ketuhanan) dan perkara permulaan lebih mendekati ucapannya para nabi ketimbang ucapan yang lainnya. Kesimpulannya, Socrates merupakan paling dekatnya kaum pada kebenaran para rasul. Karena sebab inilah kaumnya membunuhnya.
Socrates pernah mengatakan: Apabila ilmu hikmah diterima. Maka, syahwat/nafsu akan tunduk pada akal dan apabila hikmah dicampakkan. Maka, akal akan tunduk pada nafsu.
Dan dia berkata: Janganlah engkau paksakan anak anak kalian untuk selalu mengikut jejak langkah kalian. Karena sesungguhnya mereka tidak di lahirkan di masa kalian (di lahirkan).
[Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Assyaithan: 1/216]
Selepas memuji Socrates, Ibnu Qayyim langsung melanjutkan dengan memuji murid kesayangan Socrates yakni Plato. Karena, Plato sudah dikenal akan ketauhidannya, mengingkari penyembahan berhala dan menetapkan kebaharuan alam semesta ini.
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (W 751 H) mengatakan:
وكذلك أفلاطون، كان معروفاً بالتوحيد، وإنكار عبادة الأصنام، وإثبات حدوث العالم، وكان تلميذ سقراط.
Artinya: Begitupun seperti Plato, dia dikenal sebagai bertauhid, mengingkari penyembahan berhala, menetapkan kebaharuan alam dan ia merupakan murid nya Socrates.
[Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Assyaithan: 1/216]
Lebih hebat lagi adalah Ibnu Qayyim mengkategorikan Plato sebagi mutsabbit (orang yang menetapkan sifat ketuhanan).
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (W 751 H) mengatakan:
فهو مثبت للصفات وحدوث العالم ومنكر لعبادة الأصنام ولكن لم يواجه قومه بالرد عليهم وعيب آلهتهم فسكتوا عنه وكانوا يعرفون له فضله وعلمه.
Artinya: Plato adalah seorang mutsabbit pada sifat sifat, (mengatakan) kebaharuan alam dan mengingkari peribadahan berhala. Akan tetapi, dia tidak mengemukakan nya pada kaumnya sebagai bentuk bantahan atas mereka dan dia mencela tuhan mereka tapi kaumnya berdiam tentangnya (menghiraukan). Namun, mereka tahu keutamaannya dan keilmuannya.
[Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Assyaithan: 1/216]
Lalu bagaimana dengan Aristoteles? Menurut pandangan dua ulama ini Aristoteles tidak layak ucapannya dibenarkan mengenai Ilahiyyah (ketuhanan) bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah menganggap Aristoteles lebih bodoh ketimbang orang yahudi dan Nasrani. Namun, Aristoteles dinyatakan benar dan bagus dalam hal logicalrisme atau bahasa arabnya mantiq dan dalam hal Tabi'iyyat (Alam).
Syaikh Ibnu Taimiyah (W 728 H) mengatakan:
وأما في الطبيعيات فغالب كلامه جيد وأما المنطق فكلامه فيه خير من كلامه في الإلهي.
Artinya: Adapun dalam hal Tabi'iyyat. Maka, perkataan dia bagus dan adapun ilmu mantiq (logic). Maka, ucapannya mengenai itu lebih baik ketimbang ucapannya mengenai ketuhanan.
[Arrad 'Ala Al Mantiqin: 278]
Jadi, dalam dua hal ini Aristoteles dapat diterima sedangkan mengenai ketuhanan tidak alias mantiq dan Tabi'iyyat Aristoteles bagus dapat diterima.
Selesai.
© ID Cyber aswaja.
NB: Dilarang untuk merubah sumber yang telah diterbitkan tanpa adanya izin resmi dari tim ID Cyber aswaja dan penulis tanpa terkecuali.
Sumber FB : ID Cyber Aswaja