Hari ini ketika kuliah teologi, saya menemukan beberapa fakta yang cukup membuat saya terbengong2.
Pertama, ternyata mayoritas mahasiswa teologi di Indonesia membagi corak teologi kepada dua, yaitu tradisional dan rasional. Tradisional diwakili oleh Asy'ariyah dan rasional diwakili oleh Mu'tazilah.
Padahal sejauh yang saya tahu dan pelajari, kalangan tradisionalis ini lawannya adalah modernis, bukan rasional. Kurang rasional apa Asy'ariyah? Asy'ariyah adalah aliran yang mematenkan paham bahwa akal dan wahyu selalu sejalan. Tidak mungkin ada pertentangan antara wahyu dan akal. Sedangkan Mu'tazilah adalah aliran yang sudah lama padam karena terlalu banyak kontradiksi dalam ajarannya.
Bahkan kalangan modernis yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, kemudian disebarkan di Indonesia oleh para pengikutnya, mereka semua beraliran Asy'ariyah dalam ilmu kalam. Yang mereka kritisi dari kalangan tradisionalis adalah bagaimana ajaran Islam telah dicampuri oleh tradisi2 lokal sehingga sulit membedakan mana yang tradisi dan mana yang agama. Apalagi di antara tradisi2 tersebut ada yang yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya kaum tradisionalis berkeyakinan bahwa tradisi ini sangat penting dalam menjaga ruh dan corak keislaman tetap kekal di tengah masyarakat.
Kedua, ternyata mayoritas mahasiswa teologi di Indonesia berkeyakinan bahwa aliran Asy'ariah menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami teks2 agama. Hal yang berbeda dengan Mu'tazilah yang menggunakan pendekatan kontekstual. Lucunya bukti yang diketengahkan adalah penafsiran terhadap ayat2 mutasyabihat. Mereka contohkan dalam menafsirkan ayat "Yadullah fauqa aidihim" (Tangan Allah di atas tangan2 meraka) bahwa Asy'ariyah berkata bahwa Allah mempunyai tangan, hanya saja tidak serupa dengan tangan makhluk. Ini kan lucu sekali, karena selama ini yang berdebat dengan aliran salafi bahwa Allah tidak mempunyai tangan dan kata "tangan" dalam ayat tersebut mesti ditakwil adalah Asy'ari. Kok bisa2nya mereka berpahaman bahwa Asy'ari berkeyakinan Allah punya tangan?
Ketiga, ternyata mayoritas mahasiswa teologi di Indonesia berkeyakinan bahwa Asy'ariyah berpaham jabariah dalam hal taqdir yang mana berbeda dengan Mu'tazilah yang berpaham qadariah.
Jabariah adalah paham di mana manusia tidak memiliki kuasa untuk memilih apa yang akan dilakukannya dan dia hidup hanya seperti wayang. Sedangkan qadariah adalah paham bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak menentukan pilihan terhadap apa yang dilakukkannya sehingga menjadi landasan pertanggung-jawabannya di akhirat kelak.
Padahal faktanya Asy'ariyah adalah aliran yang meluruskan dua paham ini; jabariah dan qadariah. Asy'ariah dan Maturidiah mengetengahkan paham "kasab" dan "ikhtiyar" untuk menyelesaikannya. Kemudian ada juga konsep "taqdir mubram dan muallaq". Artinya walaupun taqdir manusia sudah ditentukan oleh Allah, manusia tetap memiliki kemampuan untuk memilih apa yang akan dilakukannya sebagai landasan pertanggung-jawabannya di akhirat.
Dalam kasus ini paham qadariah bermasalah serius, karena seolah menafikan campur tangan Allah dalam kehidupan manusia. Paham ini menyebabkan doa kepada Allah, harap akan rahmat Allah dan takut kepada azab Allah kehilangan esensinya. Paham ini menafikan Kehendak Allah dan Taufik dari Allah. Karena semuanya di tangan manusia dan atas kehendak manusia. Paham ini sama dengan paham Aristoteles bahwa Allah hanya "Sebab Pertama" adanya alam semesta ini, kemudian Allah berlepas tangan dan membiarkan alam ini berjalan dengan sendirinya. Setelah alam diciptakan, Allah hanya "duduk manis" dan tidak memiliki kekuasaan apa2.
Uniknya Asy'ariah dituduh sebagai penyebab ketertinggalan umat Islam dengan paham jabariyah-nya. Contoh kasus yang diketengahkan adalah bagaimana Iran, Hizbullah dan Houti (yang dikatakan syi'ah berpaham neo-mu'tazilah) bergerak dalam teknologi dan militer sehingga mereka mampu membantu Palestina secara nyata. Sedangkan umat Sunni yang Asy'ariah hanya mampu berdoa dan mengutuki saja seolah dunia akan berubah dengan doa dan kutukan mereka. Padahal kita tahu penyebab sunni tidak bergerak karena mereka dipimpin oleh orang2 munafik, diktator, tirani, korup, bermental budak, cinta dunia dan takut mati!
3 hal ini yang menjadi tema kami dalam diskusi kelas teologi di antara tema2 lainnya. Ketika berdiskusi sanad pemahaman ini akan selalu kembali ke Harun Nasution lagi Harun Nasution lagi. Ternyata kalau kita telusuri dalam jurnal2 yang ada, kajian mereka memang selalu mengacu pada tokoh ini. Ketika saya katakan; coba sebutkan satu saja kitab Tafsir ulama Asy'ariah yang menafsirkan ayat mutasyabihat secara tekstual, atau satu saja kitab Aqidah Asy'ariah yang berpaham jabariah, tidak ada satu pun yang menjawab. Inilah lemahnya metode kuliah di Indonesia yang membangun dasar pemikiran dari jurnal ke jurnal, dari makalah ke makalah, tanpa pernah membaca sumber aslinya. Hal yang sangat jauh berbeda dengan Al-Azhar yang selalu menekankan originalitas pemikiran kajian turats-nya. Masih terngiang dan trauma menyaksikan sidang tesis dan disertasi di Al-Azhar ketika para penguji selalu berkata: "Emangnya dia ini siapa? Kenapa merujuk kepadanya? Tidak adakah ulama terdahulu yang sudah menjelaskannya?" Atau pertanyaan: "Emangnya kamu siapa sudah bisa beropini seperti itu? Sudah berapa kitab yang kamu baca dan kaji?" Yaaaah...
_________
Di kuliah ada yang nanya: Kenapa buku sekelas Harun Nasution ga laku di Mesir?
Mendengar itu saya tertawa. Saya jawab: Buku sekelas Al-Jabiri, M. Arkun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan M. Syahrur saja tidak laku di Mesir apalagi Harun Nasution. Tapi mereka ini laku sekali jadi rujukan di Indonesia 😁
_________
Pertanyaan yang mengganggu saya; Kenapa ketika berbicara pemikiran Islam yang menjadi rujukan akademisi adalah Al-Jabiri, M. Arkoun, Hasan Hanafi, Nasar Hamid Abu Zaid, M. Syahrur, atau dari Indonesia Nurcholis Majid, Harun Nasution, atau sang guru besar Fazlur Rahman dari Amerika?
Berikut di antara nama-nama pemikir Islam yang saya rekomendasikan untuk dikaji dan masih banyak yang lainnya. Saya sebutkan tidak berurutan sesuai tahun wafat karena sebatas yang teringat saat ini.
- Jamaluddin Al-Afghani
- Muhammad Abduh
- Muhammad Rasyid Ridha
- Rifa'ah Al-Tahtawi
- Qasim Amin
- Mustafa Abdurraziq
- Muhammad Iqbal
- Sa'ad Zaglul
- Abdul Hamid bin Bades
- Malik bin Nabi
- Muhammad Al-Ghazali
- Yusuf Al-Qaradawi
- Muhammad Imarah
- Syakib Arselan
- Ibnu Asyur
- Hibatullah Al-Syahrastani
- Salman Audah
- Abbas Mahmud Al-Aqqad
- Abdurrahman Al-Kawakibi
- Farid Wajdi
- Ahmad Khairi Al-Umari
- Mustafa Lutfy Al-Manfaluti
- Abu Hasan Al-Nadawi
- Said Nursi
- Fathullah Gulen
- Dll
Sumber FB Ustadz : Yahya Ibrahim
_____
Di sana, Asy'ariyyah diadu dengan Wahhabiyah.
Di sini, Asy'ariyyah diadu dengan Mu'tazilah.
Kawan-kawan saya banyak yang mengaku Asy'ari, tapi membela Wahabi, dengan dalih persatuan umat adalah nomor satu, tapi dengan Mu'tazilah pantang berdamai.
by FB Ustadz : Fahmi Syam Hafid
_______
Ya, kalau rujukannya cuma jurnal memang begini jadinya. Kebanyakan jurnal berbahasa indonesia yang bicara soal ilmu spesifik dalam islam isinya tidak berbobot karena hanya merujuk pada sumber sekunder. Sudah sekunder masih harus tahun-tahun belakangan pula, di mana faktanya makin ke belakang makin banyak yang gak paham apa yang mereka omongkan tentang keilmuan spesifik itu. Gimana mau paham, kebanyakan gak bisa baca kitab dengan lancar.
Kalau pun ada konten yang dianggap baru, seringkali bukan hal yang benar-benar baru tapi hal lama yang kebetulan banyak orang lain tak tahu sehingga mereka percaya saja ketika dikatakan bahwa itu baru. Sebab itulah, kritik-kritik dalam wacana studi islam yang ada di jurnal baru itu kebanyakan sudah ada jawabannya berabad-abad lalu tapi sayang orang sekarang tidak membacanya sehingga pengkritiknya dianggap hebat, padahal aslinya ketinggalan kereta.
by FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad