Generasi Tabiin dan Tabiit-Tabiin Bukan Dalil?
Sebelumnya pernah kita sebutkan mengenai dalil. Sederhananya dalil seperti yang disebutkan dalam kitab Alluma’ karya Imam Syairazi maknanya adalah petunjuk menuju sesuatu yang diinginkan. Di ushul fikih, maksud dari dalil itu adalah petunjuk untuk mengetahui ketentuan hukum fikih. Para ulama memberikan urutan-urutan terkait petunjuk tadi, bermula dari Quran, lalu sunnah, lalu ijmak, lalu kiyas. Empta dalil tadi sudah menjadi “kesepakatan” para ulama ushul. Setelah itu masih banyak lagi dalil yang mukhtalaf alaih yang jumlahnya sangat banyak. Para ulama bahkan ada yang menghitung hinga 36 dalil. Di antara yang masih mukhtalaf itu adalah aqwal assahabi, maslahah mursalah, syariat ma qablana, urf, af’alul ahlil madinah dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, mengapa para ulama tidak mencukupkan pada dalil al-Quran dan sunnah saja? Atau ditambah dengan ijmak dan kiyas saja? Jawabnya cukup sederhana, karena persoalan umat selalu berkembang tiada batas, sementara dalil dari al-Quran dan sunnah sangat terbatas. Karena keterbatasan nas tadi, maka para ulama meletakkan sumber-sumber hukum lainnya. Tentu saja, berbagai sumber hukum tadi tetap mempunyai timbangan, yaitu spirit (maqashid) dari sumber hukum primer utama; Quran dan Sunnah.
Mengapa para ulama ushul tidak memasukkan para tabiin dan tabiit-tabiin sebagai dalil? Jawabnya adalah bahwa tabiit tabiin terdiri dari ratusan ribu atau bahkan jutaan jiwa. Dari jutaan jiwa itu, tidak semuanya mujtahid. Tidak semua dari mereka juga orang yang shalih. Jadi sangat logis jika mereka tidak dijadikan sebagai dalil.
Jangankan generasi tabiin dan tabiit tabiin, para ulama saja masih khilaf menjadikan para sahabat sebagai hujah atau dalil. Mengapa demikian? Karena perkataan sahabat, bisa jadi merupakan ijtihad sahabat. Bisa jadi antara satu sahabat dengan sahabat lain terjadi khilaf. Jika kita membuka lembara kitab fikih, kita akan menemukan banyak sekali terjadi khilaf di zaman sahabat ini. contoh sederhana terkait khilaf antara Abu Hurairah dengan Aisyah terkait wanita yang melewati orang shalat, apakah membatalkan shalat ataukah tidak? Bagi Abu Hurairah, itu membatalkan shalat,sementara bagi Aisyah tidak. Keduanya membawa hadis dari Rasulullah saw.
Bagaimana menyikapi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat itu? Tentu membutuhkan manhaj metodologi ijtihad. Kajiannya bisa dari dua sisi sekaligus, yaitu dari sisi ilmu hadis dan ushul fikih. Terkait hadis, harus dilihat kekuatan masing-masing hadis, kiranya mana yang paling shahih. Dari sisi ushul fikih, dilihat dari system istidlal, apakah akan dilakukan jam’ wa taufiq, tarjih atau tiap hadis punya kasus secara independen? Lalu bagaimana pula kira-kira beristidlal dari masing-masing dalil?.
Ini baru perbedaan di ranah sahabat. Belum lagi ketika kita masuk ke generasi selanjutnya, yaitu generasi tabiin lalu tabiitabiin. Di masa ini, khilaf jauh lebih besar lagi. Dalam sejarah fikih (tarikh tasyri), madzhab yang ada pada waktu itu setidaknya ada 80-an madzhab. Tiap madzhab punya system istidlal sendiri-sendiri. Mereka punya rumusan ushul fikih masing-masih, meski tidak terbukukan secara rapi dan independen. Ushul fikihnya banyak yang masih bertebaran dari berbagai karya dan fatawa mereka dan sedikit yang sudah terbukukan secara rapi, seperti halnya arrisalahnya Imam Syafii. Dari system istidlal yang berbeda-beda ini, lantas menghaslkan hukum fikih yang berbeda-beda pula.
Mengapa para ulama madzhab tidak menjadikan tiga generasi awal sebagai dalil fikih? Bukankah rasulullah saw bersabda, “
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya”[ Al-Bukhaariy dna Muslim).
Kita harus memahami dalil itu secara baik. Apakah yang dimaksudkan dengan generasi terbaik? Generasi terbaik maksudnya adalah bahwa dalam tiga generasi awal tadi, dengan jumlah penduduk yang sedemikian besar, mayoritas dari mereka terdiri dari orang-orang shalih. Bayangkan, mayoritas adalah orang shalih. Bandingkan saja dengan generasi kita saat ini, berapakah yang disebut sebagai orang shalih. Inilah mengapa mereka disebut dengan generasi terbaik.
Hanya saja, meski mayoritas adalah orang-orang pilihan, namun dari mereka, ada juga orang-orang jahat. Bahkan di zaman nabi pun sebagai generasi terbaik sepanjang masa juga terdapat orang fasiq, munafiq bahkan orang kafir. Jadi, kebaikan itu, dilihat dari sisi kualitas dan kuantitasnya, meski tetap terdapat orang-orang yang tidak masuk terbaik itu. Pembunuh sahabat Umar bin Khathab adalah orang Yahudi. Apakah ia juga masuk orang terbaik karena hidup di masa sahabat? Tentu saja tidak. Secara akidah sudah bukan muslim, secara interaksi dengan kaum muslimin dia adalah pengkhianat. Ditambah lagi ia pembunuh sang khalifah. Lengkaplah sifat jahat yang ada pada dirinya.
Terkait sahabat nabi itu, apakah mereka semua mujtahid? Tentu saja tidak. Dari jumlah 124-an ribu sahabat, berapakah dari mereka yang layak disebut mujtahid? Menurut Syaih Ali Jumlah tidak lebih dari 8000 sahabat. Dari 8000 sahabat tadi, yang masyhur sebagai mujtahid juga tidak banyak. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa jumlah mujtahid dari sahabat hanya 114 sahabat saja. Di antara mereka ada sahabat-sahabat besar yang terkenal dengan ijtihadnya, di antaranya adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abu Hurairah, Abu Bakar, Anas bin Malik, Abdullah bin Amru bin Ash dan lain-sebagainya.
Terkait sahabat, menurut paham ahli sunnah, semuanya adalah udul. Mereka ini manusia terbaik dan bisa dijadikan sebagai panutan. Mereka ini pembawa risalah Muhammad saw. Jika bukan karena mereka, niscaya risalah dari kanjeng nabi Muhammad saw tidak akan sampai kepada kita. Dengan alasan ini pula, sahabat dijadikan sebagai dalil ijtihad. Terkait dalil sahabat pun, tidak menjadi kesepakatan para ulama. Masih ada yang menganggap bahwa mereka juga manusia yang melakukan ijtihad. Tidak serta merta juga ijtihad para sahabat tersebut diterima apa adanya.
Lalu lainnya? Mereka adalah sahabat yang taat beragama dan beramal shalih namun tidak mampu berijtihad. Bagaimana dengan tabiin dan tabiit tabiin? Jumlah tabiin dan tabiit tabiin lebih besar disbanding sahabat, dan dari sisi jumlah para mujtahid, juga lebih banyak. Mereka-mereka ini adalah pewaris ilmu dari para sahabat. Mereka adalah murid-murid sahabat Rasulullah saw.
Tentu ini berbeda dengan tabiin. Semua ulama sepakat bahwa tabiin dan generasi setelahnya, yaitu tabiit tabiin bukanlah manusia udul. Di zaman ini juga terjadi perang tiada henti, peninggalan dari fitnah kubra zaman sahabat. Masih terjadi pertempuran di sana sini antara berbagai kelompok Islam. Khawarij tidak henti-hentinya melakukan pemberontakan terhadap kubu Muawiyah yang dianggap tidak konstitusional. Demikian juga Syiah yang juga beberapa kali melakukan makar politik dan membawa pasukan untuk melawan kekhalifahan Bani Umayyah. Dari pertempuran itu, telah memakan korban ribuan kaum muslimin.
Kekacauan politik ini berimplikasi negatif terhadap ketsiqahan seseorang. Bahkan di sini, mulai banyak pemalsuan hadis nabi. Rebutan kekuasaan tadi, banyak yang menjadikan al-Quran dan sunnah nabi sebagai justifikasi kebenaran, meski dalil hadisnya terkadang dibuat-buat belaka. Munculnya hadis-hadis palsu.
Para ulama nampaknya menyadari mengenai kondisi sosial kemasyarakatan yang terjadi pada masa tabiin dan tabiit tabiin ini. Jadi sangat rasional jika mereka tidak dijadikan sebagai dalil ijtihad, meski dari mereka muncul para mujtahid mutlak yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam pasca mereka.
Apakah dengan tidak menjadikan generasi kedua dan ketiga sebagai dalil, berarti menafikan kebaikan mereka? Tentu saja tidak. Kita tetap menganggap bahwa mereka adalah generasi terbaik umat ini. Hanya saja, ketika kita bicara masyarakat secara umum, berbeda ketika kita berbicara soal ijtihad. Untuk menggali hukum hingga membuat kesimpulan hukum fikih, membutuhkan banyak piranti. Ia butuh penguasaan terhadap berbagai cabang ilmu keislaman.
Di kalangan tabiin dan tabiit tabiin pun, banyak sekali terdapat perbedaan pendapat. Seperti saya sampaikan di atas, madzhab Islam yang ahli sunnah saja sampai ada 80 madzhab. Bagaimana kita memilih 1 pendapat dari sekian pendapat yang ada? Apakah kita ambil sesuka hati karena mereka semua adalah mujtahid dan generasi awal yang “pasti benar”?
Tentu saja tidak. Karena asal ambil hokum fikih artinya talfiq atau mencapuradukkan hokum fikih. Mengapa demikian? karena setiap imam, ketika ia akan menggali hukum fikih, dia mempunyai system ijtihad. Ada konsistensi antara system istidlal dengan hukum fikih yang dihasilkan. Jika kita asal comot, itu artinya kita tidak ada konsistensi antara dalil dan system istidlal yang akhirnya mengacaukan sebuah hukum.
Ini bisa kita buktikan dengan para murid-murid Imam Besar yang kemudian merumuskan ushul fikihnya masing-masing. Antara Syafiiyah, beda dengan Hanafiyah, demikian juga beda dengan Hambaliyah dan Malikiyah. Jangankan dari sisi produk hukum fikih dan ushulnya, dari sisi cara membuat rumusan metodologi ijtihad saja beda. Syafiiyah menggunakan teori murni untuk kemudian dirumuskan sebuah metodologi ushul fikih yang kemudian membuat turunan hukum fikih, sementara Hanafiyah membuat rumusan ushul fikih dari produk hukum fikih sang Imam yang kemudian dibuat rumusan ushul fikih. Itu dilakukan, karena sang imam tidak menuliskan ushul fikih, sementara untuk melakukan ijtihad, mutlak dibutuhkan sebuah metodologi. Kebutuhan mendesak inilah yang kemudian mendorong para murid Abu Hanifah untuk merusumkan metodologi ijtihad itu, meski harus meneliti dari hasil fikih sang imam. Hal itu juga karena kepercayaan mereka bahwa sang Imam ketika berijtihad, pasti menggunakan sebuah metodologi. Dan tentu saja, antara metodologi dengan hasil, pasti ada konsistensi yang bisa dilakukan dan dipraktekkan oleh para generasi setelah Abu Hanifah.
Ushul fikih sendiri sebagai sebuah metodologi penggalian hukum fikih, tidak langsung jadi begitu saja. Ada banyak proses dengan lintas sejarah yang panjang sehingga sampai pada ushul fikih yang ada seperti sekarang ini. Banyak terjadi modifikasi dan perkembangan yang membuat ushul fikih semakin matang. Dulu imam Syafii belum mebahas tentang maqashid syariah, dan sekarang maqashid syariah justru mendapatkan porsi yang luar biasa. Dulu belum terfikirkan terkait ijtihad jamaa’iy dan sekarangijtihad jama’iy menjadi tred. Dulu untuk menentukan sebuah illat hokum tidak sampai membentuk laboratorium resmi, namun sekarang sudah ada lembaga tersebut seperti yang dibuat oleh MUI dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang disebut LPPOM MUI.
Selain itu, banyak sekali persoalan kontemporer yang tidak kita temukan di tiga generasi awal. Persoalan ATM, narkoba, demokrasi, ekonomi modern dan banyak lagi. Jika kita terpaku pada generasi awal saja, tentu banyak sekali persoalan kontemporer yang akan terlewatkan. Untungnya sang Imam dan juga para ulama setelah mereka, telah meletakkan metodologi ijtihad yang bisa kita gunakan hingga saat ini. Jika bukan karena jasa sang Imam dan para ulama setelah merek, tentu kita akan banyak mengalami kesulitan.
Mencukupkan tiga generasi awal juga bukan persoalan mudah.Berapalah buku peninggalan karya mereka itu? Dari mana pula kita mengetahui buku-buku generasi awal itu? apakah kita akan melakukan loncatan dengan mencari manuskrip asli yang ditinggalkan mereka? tentu ini butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit, disamping juga ilmu manuskrip yang mendalam. Apalgi banyak dari manuskrip itu yang tidak sampai kepada kita. Buku-buku tiga generasi awal yang sampai kepada kita pun, itu karena jasa para ulama setelah mereka. tanpa para ulama itu, kita tidak akan pernah mengetahui siapa dan apa itu generasi awal.
Lagi pula, yang memperkenalkan buku-buku karya mereka hingga sampai kepada kita adalah para ulama setelah mereka. Buku itu dibawa sang imam, lalu kepada murid, lalu diajarkan lagi kepada muridnya hingga sampai kepada kita saat ini. Uniknya lagi, Imam Abu Hanifah tidak punya buku ushul fikih. Lalu ushul fikih yang ada di tangan mereka itu karya siapa? Bukan karya sang imam, tapi karya murid-murid sang imam dengan meneliti fatwa dan fikih sang imam. Metodologi itu juga terus dikembangkan hingga saat ini. Dari metodologi sang imam itu, jutaan hukum fikih bisa ditelurkan.
Jadi terlalu naïf jika kita sekadar menjadikan tiga generasi pertama sebagai rujukan. Itu artinya, ribuan buku karya ulama besar, seperti karya mam Qusyairi, imam Ghazali, imam Nawawi, imam Ibnu Taimiyah, imam Ibnul Qayim, imam Muhamamd bin Abdul Wahab, imam Haramain, imam Baqilani, imam Baidhawi, apalagi ulama kontempor seperti al-Aalbani, Syaih Utsaimin, Syaih Nabhani, Abu Bakar al Jazairi, Qaradhawi, Ramadhan al-Buthi, dan deretan ulama besar lainnya harus kita singkirkan. Kita akan menghapus jutaan karya ulama besar yang telah membawa ilmu dari masa ke masa.
Ketika saya membaca karya para ulama terdahulu baik yang salaf atau khalaf, saya merasa kerdil sekali. Sama sekali saya tidak punya ilmu apapun disbanding mereka ini. Karyanya begitu banyak dan bisa memberikan pencerahan serta solusi atas berbagai persoalan umat. Lantas apakah dengan mudah kita singkirkan mereka ini karena menganggap mereka bukan berawal dari tiga generasi awal? Siapakah kita dibandingkan dengan kebesaran mereka ini?
Bagi saya, kita harus berterimakasih kepada para ulama itu,baik tiga generasi awal atau ulama generasi setelah mereka, baik ulama salaf, khalaf, muaakhirin maupun ulama kontemporer. Jika bukan karena jasa para ulama, tentu risalah kenabian tidak akan sampai kepada kita. Tidak mungkinlah kita melakukan loncata, meneliti manusrkip klasik peninggalan mereka. apalagi banyak manuskrip klasik yang sudah tidak ada lagi. Namun pendapat mereka masih ada dan bertebaran di buku karya para ulama khalaf. Tafsir Ibnu Abbas yang dicetak saat ini, bukanlah karya ibnu Abbas langsung. Itu pendapat beliau dan dinukil oleh para murid-murid setelahnya, lalu tercantum di berbagai buku karangan ulama. Dari sana lalu dikumpulkan dan jadilah tafsir Ibnu Abbas seperti yang kita lihat di pasaran.
Terimakasih ulama. Benarlah bahwa engkau pewaris nabi. Tanpamu, kami tidak akan dapat mengenal Islam. Agama ini hanya bisa diambil darimu, dari ulama pewaris nabi.
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud)
Wallahu a'lam
Sumber FB Ustadz : Wahyudi Abdurrahim