KEBENARAN DI ATAS APAPUN DAN SIAPAPUN
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Diantara hal yang paling saya tekankan kepada para santri kami di pondok pesantren adalah agar jangan sampai atas nama menjaga adab kepada guru, pembelaan kepada teman, atau sebaliknya karena ketidaksukaan kepada lawan membuat mereka kehilangan objektivitas.
Sudah menjadi syarat yang tak boleh ditawar lagi, bahwa pengemban ilmu harus selalu jujur dan amanah. Yang benar tetaplah benar meski keluar dari lisan lawan, yang salah tetaplah salah meski dikatakan oleh kawan atau difatwakan oleh guru panutan.
Karena keagungan ilmu dan kebenaran harus diletakkan di atas pengagungan kita kepada apapun dan siapapun. Kita mencintai guru-guru kita, namun kebenaran lebih kita cintai dari siapapun.
Karena itulah tradisi berdiskusi dan saling mengkoreksi, adalah hal biasa di pesantren kami. Saya akan marah jika saya salah namun mereka tidak berani menyalahkan hanya karena saya kiyai. Saya selalu katakan kepada mereka : "Cinta dan hormatmu kepada gurumu bukan hanya wujud dalam kepatuhanmu. Tapi juga koreksimu atas kesalahan guru."
Bukan apa, siapapun tahu bagaimana segannya santri jika harus mengoreksi seorang kiyai. Itu pasti dirasakan oleh siapapun yang pernah nyantri. Tapi di zaman yang sudah seperti ini, para kiyai tentu juga dituntut untuk lebih berhati-hati.
Dan bentuk kehati-hatian itu menurut saya adalah : Jangan sampai atas nama posisi, derajat, kedudukan dan ilmu yang dimiliki, santri menjadi terintimidasi dari membela ilmu dan kebenaran. Maksudnya ?
Ya sederhananya santri itu melihat kiyainya itu sosok yang sangat wah dan super. Berilmu, berwibawa dan ber ber lainnya. Tak pelak saya juga dibegitukan, meski saya ini cuma kiyai-kiyaian. Maka jangan sampai santri itu melihat gurunya dalam sosok "tanpa cacat", dan "tak boleh salah".
Biarkan mereka melihat bahwa kita para guru itu setinggi apapun ilmu kita, tetaplah adalah makhluk yang kakinya tidak ngambang di atas tanah. Artinya yang tak boleh salah.
Kita para ustadz atau kiyai kalau mau berdiskusi dengan santri-santri, jangan sampai menggunakan "privilege" kita, menggunakan "kekuasaan" kita untuk "menekan" kemerdekaan dan kebebasan intelektualitas lawan diskusi kita. Meski itu hanya seorang santri.
Makanya saya paling benci kalau ada santri yang dia bawa-bawa senioritas saat sedang berdiskusi. Menurut saya itu sudah merupakan bentuk keculasan dalam dunia ilmu.
Para ulama dahulu juga paling anti terhadap sikap arogansi karena merasa punya posisi lalu itu dibawa ke meja debat untuk menekan mental lawannya.
Orang yang tua sekalipun tidak boleh menyepelekan lawan diskusinya karena dia anak kecil. Termasuk guru kepada muridnya. Dan Ayah kepada anaknya.
Imam Syafi'i rahimahullah misalnya sampai mewasiatkan dalam Diwannya :
إذا ما كنت ذا فضل وعلم بما اختلف الأوائل و اْلأواخر فناظر من تناظر فى سكونٍ حليما لا تلح ولا تكابر
“Apabila engkau adalah orang mulia dan berilmu lalu (punya pendapat) berbeda dengan orang lain, maka berdiskusilah dengan orang yang engkau ajak diskusi dengan tenang, sabar, tidak pongah dan jangan menunjukkan arogansi."
Begitulah ulama dahulu, mereka begitu menjaga netralitas agar ilmu itu bisa bebas dari kepentingan dan hawa nafsu. Diskusi benar-benar murni untuk mencari kebenaran bukan kemenangan.
Karena sungguh yang paling bisa merusak ilmu itu bukan orang-orang jahil dengan pendapat ngawurnya, tapi orang-orang alim yang ketika salah dicari-cari pembenarannya.
Yang itu biasa dilakukan oleh murid-muridnya yang tak terbiasa dan tak mau menerima kenyataan bahwa gurunya bisa saja salah.
Sehingga kalimat pemungkas yang sering saya katakan kepada santri kami : "Kamu fanatik ke ulama sekelas imam madzhab itu logis. Tapi kamu fanatik ke orang seperti Ahmad Syahrin Thoriq, kamu santri yang nggak waras !"
•┈┈•••○○❁༺αѕт༻❁○○•••┈┈•
Kalau sedang mengajar, saya duduk di atas kursi para santri bisa hanya melantai. Tapi kalau sedang diskusi, harus duduk sama tinggi....
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq