Rukyah Adalah Ziyadah Ilm?
Ada beberapa, sebenarnya agak banyak, yang bertanya apakah benar Rukyatullah adalah ziyadah ilm? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak tapi harus diberi mukaddimah dahulu sehingga duduk perkaranya jelas dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ziyadah ilm tersebut dalam ibarah para ulama Ahlussunnah al-Asy'ariyah. Agar mudah dicerna oleh pembaca umum, saya akan membuat penjelasan ini menjadi poin-poin yang runtut sebagai berikut dengan mengacu pada penjelasan Imam Ibnu at-Tilimsani dalam Syarh Ma'alim Ushul ad-Din yang mensyarah kalam Imam ar-Razi.
Ceritanya begini:
1. Idrak (informasi yang diperoleh dalam benak manusia) ada tiga tingkatan, yaitu:
- Pertama, informasi yang diperoleh dari tanda atau jejak. Misalnya adalah ketika melihat sebuah rumah, maka kita tahu bahwa ada tukang yang membangunnya. Tukangnya tidak pernah kita lihat, tapi kita tahu bahwa si tukang ini pasti ada sebab ada bukti berupa rumah yang dia bangun. informasi semacam ini adalah jenis informasi yang paling lemah, tapi dipakai.
- Kedua, informasi yang diperoleh dari pengetahuan atas objek yang diketahui. Misalnya ketika anda mendengar kalimat "rumahnya berwarna putih", maka anda akan mengetahui bahwa rumah yang dimaksud berwarna putih. Anda tidak akan salah membedakan yang mana rumah tersebut di antara rumah-rumah yang berwarna-warni. Anda akan langsung dengan mudah mengidentifikasi rumah warna putih sebab anda tahu betul putih itu bagaimana dan apa bedanya putih dan warna lain. Informasi berjenis pengetahuan ini adalah jenis informasi yang menengah sebab lebih jelas dari tipe pertama.
- Ketiga, Informasi yang diperoleh dari observasi atau melihat langsung. Ini adalah jenis informasi yang tertinggi sebab sangat jelas. Jadi, ketika ada sebuah rumah berwarna putih yang dilbuat oleh tukan bernama fulan, lalu anda melihat sendiri fulan si tukang itu dan melihat sendiri rumah tersebut, maka informasi anda lebih sempurna dan lebih jelas dari informasi yang didapat dari informasi tipe pertama dan kedua di atas.
Imam ar-Razi menjelaskan tingkatan informasi (idrak) ini dalam SS ke-1 yang saya jelaskan dengan bahasa saya sendiri agar lebih mudah. Silakan dilihat SS ibarah ke-1.
2. Asyáriyah meyakini bahwa informasi yang didapat dari Rukyah (melihat langsung dengan penglihatan) adalah sifat yang punya nilai plus dari sekedar ilmu (sifat zaídah ala al-'ilm). Maksudnya, melihat Allah nanti di akhirat tidak sama dari sekedar mengetahui keberadaan Allah, tapi lebih dari itu ada informasi tambahan yang dimiliki oleh rukyah yang tidak dimiliki oleh sekedar tahu. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan bahwa rukyah adalah ziyadah ilm itu.
Imam Ibnu at-Tilimsani menjelaskan ini dalam SS ke-2. Silakan perhatikan teks yang saya stabilo dari SS ke-2.
3. an-Nadhar yang dimaksud dalam konteks melihat Allah di akhirat adalah melihat betulan dengan penglihatan (ar-ru'yah wa al-abshar). Jadi bukan sekedar tahu tentang Allah saja.
Tapi harus dicatat baik-baik bahwa melihat Allah bukanlah dalam makna ada cahaya yang memantul dari jisim dan membawa citra jisim tersebut ke bola mata. Yang begini ini adalah makna melihat jisim sebagaimana kita melihat berbagai objek di dunia ini. Makna ini dalam perspektif Asy'ariyah adalah makna majas bukan makna hakikat. Makna rukyah secara hakikat adalah kemampuan untuk melihat, tanpa disyaratkan adanya cahaya, arah, terbukanya mata dan sebagainya. Ini pernah saya tulis panjang lebar dalam tulisan lain beberapa tahun lalu.
Imam Ar-Razi dan Imam Ibnu at-Tilimsani menjelaskan hal ini dalam SS ke-3 yang berisi dua jenis makna nadhar, yakni makna hakikat yang berlaku pada melihat Allah nanti di akhirat dan makna majas yang berlaku ketika kita melihat jisim-jisim di sekitar kita. Silakan cermati bagian SS ke-3 yang saya stabilo.
Jadi, ungkapan bahwa rukyatullah adalah ziyadah ilm adalah benar bila dimaknai bahwa melihat merupakan sifat yang memberikan informasi yang lebih dari sekedar mengetahui suatu objek. Namun dalam kasus melihat Allah di akhirat, manusia tidak sekedar tahu saja keberradaan Allah tetapi betul-betul melihat Allah dengan penglihatan yang ada tapi tanpa ketergantungan pada lurus tidaknya bola mata, arah objek, cahaya dan semacamnya. Adapun bila dimaknai bahwa Allah tidak betul-betul dilihat dengan penglihatan tapi hanya sekedar diketahui dan pengetahuan itu lebih banyak, maka ini adalah kesalahpahaman.
Ada banyak referensi lain, tapi satu kitab berjudul Syarh Ma'alim Ushul ad-Din ini kiranya cukup memberi gambaran umum konteks masalah ini.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
- Dilarang Menyambung Lafadz Amin Dengan Kalimat Lain?
- Ahli Sholawat Tidak Mudah Membid'ahkan
- Satu Bejana Disembunyikan
- Pola Licik Wahhabi Untuk Mengambil Masjid Aswaja
- Tafsir Nabawi (II)
- Sabar dan Syukur Sebagai Jalan Tawakal
- Salah Satu Kelebihan Ahlussunnah Wal Jama'ah
- Tidak Ada Khilafiyah?
- Cadar Dalam Mazhab Syafi’i
- Memahami Perkataan Imam Malik RA