Dengan Apa Kita Melihat Allah Di Akhirat?
Dulu Muktazilah berkata bahwa Allah tidak dapat dilihat sebab kalau dilihat berarti Allah itu akan menjadi jisim atau sesuatu yang muhdats sebab mata hanya mampu melihat sesuatu yang muhdats atau jisim saja.
Imam Abul Hasan al-Asy'ari dalam kitab al-Luma' menjawab bahwa Allah dilihat dengan penglihatan manusia (mata) dan hal ini tidak berkonsekuensi membuat Allah menjadi jisim atau muhdats. Menurutnya, secara logika (analogi/qiyas) hal ini mudah dijelaskan. Analoginya gampang, penglihatan sama sekali tidak dapat mengubah objeknya. Bila misalnya objeknya hitam, maka tidak akan berubah menjadi putih hanya karena dilihat. Demikian juga dengan Allah yang bukan jisim dan bukan sesuatu yang muhdats, ia tidak akan berubah menjadi jisim atau sesuatu yang muhdats hanya karena dilihat dengan penglihatan.
Dengan demikian, maka menyatakan bahwa Allah dapat dilihat dengan penglihatan tidaklah berkonsekuensi tasybih atau tajsim. Dengan ini, Ahlussunnah wal Jamaah berbeda dengan dua aliran sesat ekstrem, yakni Muktazilah dan Mujassimah. Muktazilah meniadakan kemungkinan Allah dapat dilihat di akhirat dengan penglihatan sebab bagi mereka itu berkonsekuensi menjisimkan Allah. Sedangkan Mujassimah, sebagaimana diikuti oleh Wahabi-Taymiy, meyakini bahwa Allah adalah jisim karena dapat dilihat dengan penglihatan ketika di akhirat.
Lalu bagaimana bisa Allah yang bukan jisim dan bukan muhdats dilihat oleh penglihatan? Jawabannya adalah "bila kaif". Ungkapan bila kaif adalah ungkapan bagi sesuatu yang di luar pengetahuan dan jangkauan nalar manusia sebab Allah itu tidak sama dengan apa pun yang diketahui manusia sehingga melihat-Nya tidak dapat dijelaskan seperti kita melihat apa pun yang pernah dilihat manusia selama ini. Inilah akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Di SS terlihat pernyataan asli beliau di kitab al-Luma' yang saya sederhanakan penjelasannya.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad