"Kondisi asal itu ketiadaan"
Maksud kaidah ini adalah bahwa kondisi asal segala sesuatu itu memang tidak ada, selama faktor yang mengubah kondisi asal itu diragukan maka yang kuat tetap kondisi asal ini.
Contohnya A menagih hutang ke B karena A memiliki catatan lengkap terkait piutangnya, kemudian B mengklaim telah membayar hutangnya namun ia tidak bisa mendatangkan bukti bahwa ia sudah membayar, dalam kasus ini maka yang kuat adalah A karena ia punya catatan, adapun status pembayaran yang dilakukan karena ia tidak terbukti maka kembali kepada asalnya yakni tak ada pembayaran.
Contoh lain, A memakan makanan milik B lalu A digugat, A berargumen bahwa B telah memberikan izin tapi B menolak klaim tersebut dan menyatakan belum memberi izin, dalam kasus ini maka B yang menang karena status izin itu diragukan hingga dikembalikan kepada asalnya yakni tidak ada. Kecuali jika memang B bisa memberikan bukti atas klaim adanya izin tersebut. Kasusnya sama jika A mengambil barang B dengan argumen A telah memberikannya, jika ia tak bisa menghadirkan bukti aktifitas pemberian maka yang menang adalah A.
Contoh lain dalam kasus akad bagi hasil (mudharabah), terjadi sengketa antara pemilik modal dan pengelola terkait dengan keuntungan, pengelola modal mengklaim usahanya tidak menghasilkan keuntungan dan pemilik modal menuduh pengelola menyembunyikan keuntungan, dalam kasus ini yang menang adalah pengelola karena status keuntungannya diragukan hingga hukumnya kembali kepada asalnya yakni ketiadaan, kecuali jika pemilik modal bisa menghadirkan bukti atas tuduhannya.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho
Kaidah Fikih Utama II : Tentang Hukum Asal