"Tujuan dari ucapan itu sesuai dengan niat orang yang mengucapkannya"
Secara teori kaidah ini sangat mudah dipahami karena memang yang tahu maksud dari suatu ucapan ya pengucap itu sendiri, meski terkadang pada praktiknya tidak semudah itu.
Contoh penggunaan kaidah ini, jika seseorang memiliki nama "thaliq" yang bisa bermakna cerai atau "hurrah" yang bisa bermakna merdeka lalu suami atau tuannya memanggil nama tersebut, jika panggilan "ya thaliq" atau "ya hurrah" itu bertujuan untuk menyatakan cerai atau memerdekakan dari perbudakan maka jatuhlah cerai dan kemerdekaan itu, tapi jika panggilan itu hanya bertujuan untuk manggil saja maka tidak.
Contoh kasus lain ketika seseorang berkata "cerai, cerai, cerai" kepada istrinya, jika niatnya adalah untuk talak tiga sekaligus maka jatuh talak tiga, tapi jika niatnya adalah hanya sebagai penegasan maka jatuhnya talak satu, tapi jika tidak niat apapun maka ada perbedaan pendapat antara para ulama dan yang rajih adalah jatuh talak tiga.
Contoh kasus lain, jika berkata kepada seorang bani 'Alawi "kamu itu bukan keturunan 'Ali" dan niatnya adalah menyatakan tidak nyambung nasabnya karena ada orang lain yang menjadi penghalang maka tidak jatuh hadd qadzf, tapi jika niatnya adalah tuduhan zina maka jatuhlah hadd qadzf. Contoh lain adalah ketika membaca ayat tertentu dalam shalat jika niatnya adalah menasehati makmum maka batal shalatnya, jika niatnya adalah membaca al-Qur'an saja maka tidak batal, jika niat dua-duanya maka tidak batal juga. Begitu pula orang junub atau haid yang membaca al-Qur'an, jika niatnya adalah membaca maka haram, jika niatnya adalah dzikir maka boleh, jika niatnya keduanya maka haram, dan jika tanpa niat juga tetap haram.
Tak hanya ucapan sebenarnya, perbuatan juga sama. Orang junub lalu memasukkan tangannya ke air, jika niatnya adalah untuk mengecek kadar kehangatan air atau menciduk air maka airnya tidak jadi musta'mal, tapi jika niatnya adalah membasuh maka airnya berubah jadi musta'mal. Orang membeli emas untuk dijadikan perhiasan maka tidak ada kewajiban zakat, tapi jika niatnya adalah untuk investasi maka ada kewajiban zakat.
Ada satu pengecualian dari kaidah ini yaitu ketika hakim meminta orang untuk bersumpah maka sumpah yang ia ucapkan itu sesuai dengan niat hakim yang meminta sumpah itu dan bukan niat dari pengucap sumpah tersebut.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho
Kaidah Fikih Utama I : Tentang Niat.