"Celaan Untuk Ahlul Bid'ah"
Ibnu Qudamah menurut sejarawan merupakan keturunan Umar Ibnu Khatab melalui jalur Ibnu Umar ra, beliau lahir 541 H.
Masyhur dikalangan ulama tercatat beliau termasuk murid Syekh Abdul Qodir Jilani (ulama tasawwuf yg bermadzhab Hambali).
Pada tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, kemudian pulang ke Damascus, di sana beliau mulai menyusun kitab "al Mughni" (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara umum, dan khususnya di madzab Hanbaliyah. Sampai² Imam ‘Izzudin Ibn Abdus Salam As Syafi’i, yg digelari Sulthanul ‘Ulama mengatakan tentang kitab ini :
“Saya merasa belum puas dalam berfatwa sebelum saya menyanding kitab al Mughni”.
Ada banyak literatur celaan terhadap "ahli bid’ah", misalnya dari Ibnu Qudamah.
كان السلف ينهوْن عن مجالسة أهل البدع والنظر في كتبهم والاستمَاع لكلامهم
“Ulama salaf melarang duduk bergaul dengan ahli bid’ah, melihat kitab² mereka, atau mendengarkan perkataan mereka.”
Banyak sekali ucapan senada. Namun intinya, ahli bid’ah adalah orang² yg harus dijauhi.
Lantas, siapa sebenarnya ahli bid’ah?.
Pada poin ini banyak orang yg salah paham sehingga memasukkan orang yg berbeda pendapat dalam masalah fiqh sebagai ahli bid’ah. Salah satunya dalam masalah qunut subuh. Sehingga siapa pun yg melakukan qunut subuh dianggap sebagai ahli bid’ah. Begitu pula dalam masalah peringatan maulid Nabi saw. Siapa pun yg menyelenggarakannya dianggap ahli bid’ah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Pola pikir semacam ini akan melahirkan sikap jumud (kaku) yg sering kali berujung dengan "radikalisme agama" yg membawa pada tabdi dam takfiri pada umat muslim diluar kelompoknya.
Padahal, pembahasan amaliah² tersebut diatas termasuk pembahasan fikih dan bersifat ijtihadi, sehingga tak heran bila ada mujtahid yg berbeda pendapat. Justru dalam masalah qunut dan peringatan maulid di atas, banyak sekali imam yg menganjurkannya dengan dasar argumen masing², sehingga tak layak disebut sebagai bid’ah.
Perhatikan!! "Menurut para imam terdahulu, ahli bid’ah bukan orang yg berbeda pendapat dalam tataran fikih, tetapi orang yg tersesat dalam urusan "akidah" .
Imam Ibnu Abidin, misalnya, seorang imam mujtahid yg bercorak rasional, pengikut madzab Hanafi mengungkapkan:
أهل البدعة : كل من قال قوْلا خالف فيه اعْتقاد أهل السنة والجماعة
"Ahli bid’ah adalah semua orang yg mengatakan perkataan yg di dalamnya menyelisihi akidah ahlus sunnah waljama’ah.”
Definisi senada dapat dilacak jauh ke belakang masa salaf. Salah satunya definisi dari Imam Malik :
أهل البدع الذين يتكلمون في أسماء الله وصفاته وكلامه وعلمه وقدرته، ولا يسكتون عما سكت عنه الصحابة والتابعون لهم بإحسان.
“Ahli bid’ah ialah orang² yg berkata tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya dan tak diam dari apa yg didiamkan para sahabat dan tabi’in.”
Imam Bahaqi meriwayatkan dengan jayyid (sanad yg baik), sebagaimana penilaian Ibn Hajar Asqalani (ulama madzhab Safe'i) dalam Fath Bari meriwayatkan :
“Suatu ketika kami berada di majelis Imam Malik, tiba² seseorang datang menghadap Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah (nama depan imam Malik), ar-Rahman ‘Ala al arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.
Abdullah berkata :
"Ketika Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan "bergetar dengan mengeluarkan keringat".
Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar Rahman ‘Ala al arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yg berkeyakinan buruk, ahli BID'AH, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis Imam Malik.
Perhatikan perkataan Imam Malik :
“Engkau ini adalah seorang yg berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata² “Bagaimana?”.
Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu imam Malik tidak membantah & tidak mengusirnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ahli bid’ah sebenarnya mengacu kepada mereka yg akidahnya menyimpang, bukan mengacu kepada orang yg melakukan sesuatu yg secara fikih dianggap tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
Meskipun perbuatan baru semacam ini (bc : amaliah² baru) masuk dalam kategori bid’ah dalam arti "haram" menurut pihak sekte suu', bukan berarti pelakunya boleh disebut ahli bid’ah, apalagi bila perbuatan tersebut masih diperselisihkan di kalangan para ulama.
Imam Ghazali (ulama tasawwuf yg ber-madzhab Safe'i) berkata :
“Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yg diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yg terpuji, seperti sembahyang Tarawih berjamaah, ia adalah Bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ra, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yg baik (Bid’ah Hasanah). Adapun Bid’ah yg dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yg "bertentangan dengan Sunnah Rasulullah atau yg bisa merubah Sunnah itu"!.
(Imam as Suyuthi, Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah).
Demikian qoul rajih para Raksasa² ulama salaf asli tentang "bid'ah". Bukan hasil pikiran tokoh² sekte bid'ah akidah mujassimah (menganggap Allah itu punya fisik dan bertempat tinggal seperti makhluk) suatu pandangan akidah yg menurut ulama Aswaja sesat، نعو ذبالله من ذلك
Jadi jelas bid'ah bukan suatu hukum karena sudah ijma' hukum dalam agama Islam : Wajib, Sunnah, Mubbah, Makhruh, Haram. Dan bid'ah bukan dalam perkara masalah furuiyyah amaliah melainkan perkara baru yg meyelisihi syariat.
والله اعلم
Sumber FB Ustadz : Musa Muhammad