LAGI MUSIM : KELOMPOK YANG MENDORONG BELAJAR HADITS ANTI FIQIH
Sarinyala.id
Saat ini, jika belajar hadits tanpa belajar fiqih itu seperti orang belajar tata cara haji tanpa pernah pergi haji, berilmu tapi bikin ribet.
Saat ini, kelompok minoritas yg "pede" dan anti madzhab adalah contoh manusia yg aneh dgn mengatakan : “Kesampingkan akal di hadapan sunnah”, atau “Agama Islam sudah sempurna. Kita cukup Copy Paste saja,” dan ungkapan² lain yg senada. Seolah² sebuah nash, baik ayat maupun hadits, bisa langsung diamalkan tanpa dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal dan ilmu. Tak ada yg lain.
Mengambil masalah fatwa hukum terkait halal dan haram dari ustadz² "sebelah" langsung dari teks hadits, tentu sesuatu yg keliru. Kalau untuk masalah halal haram saja keliru dan ngawur, apalagi untuk masalah akidah. Kecuali kalau ada ulama yg kompeten di segala bidang, dan ini sangat jarang, tentu bisa dijadikan sbg rujukan, karena kedalaman ilmunya.
Karena itulah Al-Imam Abdurrahman Abu Al-Faraj bin Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurasyi Al-Baghdadi Al-Hanbali atau Imam Ibnu Al-Jauzi rahimahullah (wafat 16 Juni 1201 M, Bagdad, Irak) sangat menegaskan :
واعلم أن عموم المحدثين حملوا ظاهر ما تعلق من صفات الباري سبحانه على مقتضى الحس فشبهوا لأنهم لم يخالطوا الفقهاء فيعرفوا حمل المتشابه على مقتضى الحكم
“Ketahuilah, umumnya para muhaddits memaknai apapun yg berkaitan dgn sifat² Allah secara zhahir kepada sesuatu yg bersifat inderawi. Akhirnya, mereka melakukan tasybih (menyerupakan Allah dgn makhluk). Hal ini karena mereka tidak berbaur dgn para fuqaha untuk bisa memahami bagaimana seharusnya memaknai mutasyabih dalam konteks muhkam.”
Fiqih Memelihara Hadits
Pada masa sebelum Tabi'in, yakni masa sahabat nabi shalallahu alaihi wasallam telah ada, walaupun hanya dalam bentuk yg sederhana, yg dikenal dgn sahifah. Dengan demikian, pola tematik dgn tema² fikih adalah menjadi kebutuhan masyarakat dan temanya juga berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.
Fenomena di atas merupakan bagian dari upaya pemeliharaan hadits. Kendati hal tsb, bukan menjadi fokus utama melainkan person tertentu yg memiliki kemampuan dalam menjaga hadits, dgn kesadaran pribadi melakukan penulisan hadits. Hasil tsb berjalan terus sampai muncul ide dari Khalifah Sayyidina Umar ibn Abd Aziz Rahimahullah (wafat 5 Februari 720 M / 20 Rajab 101 H dalam usia 37 tahun di Aleppo Suriah), untuk mengkompilasi hadits dgn alasan akan hilangnya ilmu seiring banyaknya ahli hadits yg wafat.
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Al-Harits bin Zur'ah Bin Syihab Az-Zuhri atau Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah (wafat Selasa 17 Ramadhan 124 H / 28 Juli 742 M) adalah orang pertama yg membukukan ilmu hadits, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah.
Sejarah Epistemologi Fiqih dan Hadits
Ulama fiqih lebih dahulu dalam memahami hadits sebagai sumber ajaran Islam, dibandingkan ulama hadits. Pernyataan ini dapat dilihat dinamika aktivitas ulama fiqih atas persoalan² hukum, yg ada pada masa awal Islam, baik masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sampai generasi sesudahnya. Sementara itu, ulama hadits baru berupaya menjaga hadis dan menghimpunnya dalam sebuah kitab khusus. Dengan demikian, sebelum ahli hadits menjadikan dalam pemahaman atasnya ulama fiqih sudah mendahuluinya.
Keterangan di atas merupakan konsekuensi logis dan ilmiyah dari perkembangan hukum atas implementasi ajaran Islam. Hal inilah, para ulama menjadikan hadits sbg sebuah contoh tafsir awal atas Al-Qur’an. Perbedaan dalam hukum fiqihpun, juga bersumber dari kapasitas pemahaman hadits. Hubungan erat kombinasi keilmuan dan hukum, antara hadits dgn fiqih sudah menjadi ruang ijtihadiah pengambilan hukum para ulama dahulu, termasuk para imam pendiri madzhab. Dengan demikian, antara ulama ahli fiqih dan ulama ahli hadits berbeda peran, namun satu dgn lainnya saling membutuhkan dan melengkapi.
Kebutuhan terhadap ulama² yg ahli hadits dan fiqih tsb, dalam memahami ajaran Islam, sungguh sangat penting. Bahkan bisa lebih dari itu, mutiara hadits berkembang menghasilkan beragam konstruk ilmiah keilmuan² lain. Jika mau mengkaji historisitas keduanya, tentu akan faham bahwa hubungan tsb sudah diterangkan oleh Imam Ibnu Sholah rahimahullah, dalam kitabnya Muqaddimah Ibnu Shalah.
Pernyataan tegas di keluarkan dan diperkuat oleh beragam pendapat ulama lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal atau Imam Hambali rahimahullah (wafat 2 Agustus 855 M, Bagdad, Irak) yg menyatakan bahwa "ahli hadits yg menguasai fiqih lebih baik, dari pada yg tidak menguasainya atau hanya menghafal hadis saja". Dengan demikian, keilmuan fiqih dan hadis sangat mendukung satu dgn lainnya.
Tidak Dikotomik
Era abad kedua hijriah, dalam sejarahnya menghasilkan epistemologi keilmuan yg dilakukan para ulama dahulu, ternyata tidak mendikotomikan antara hadits dan fiqih. Kenyataan ini didukung oleh madzhab Ahlu Ar-ra’yi dgn tokohnya Imam Abu Hanifah rahimahullah dan madzhab ahli hadits yg dipelopori oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah (wafat 179 H / 795 M, Jannatul Baqi' Madinah). Dengan demikian, ternyata antara hadits dan fiqih, keduanya dalam sejarah keilmuan awal saling mengintegrasikan satu dgn yg lainnya.
Muncul Ushul Fiqih
Usaha yg dilakukan ulama yg dikenal dgn "nashirus sunnah" sangat berperan dalam hal ini. Sosok ulama tsb tidak lain adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muththalibi Al-Qurasyi atau Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (wafat 204 H / 820 M di Fustat Mesir) telah membangun fondasi keilmuan yg sangat penting, dikenal dgn "ushul al-fiqih".
Dinamika persoalan yg dihadapi manusia, mengharuskan para ulama terus melakukan terobosan² keilmuan agar ajaran praksis Islam tidak mengalami kebuntuan, jumud atau stagna yg tidak bisa menjawab tantangan dan perubahan zaman. Akhirnya, para ulama dahulu sangat memahami betapa kebutuhan akan persoalan hukum menjadi bagian penting, dalam perkembangan kehidupan manusia.
Hal inilah yg kemudian kapasitas dan kreativitas ulama dalam memahami hadits. Sehingga, hadits dapat dipahami dgn sesuai konteks yg terus berkembang dgn baik. Dengan demikian, kapasitas keilmuan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah menjadi sangat penting dan bermanfaat dalam perkembangan.
Bahkan beberapa karya Imam Asy-Syafi’i mendorong ulama lainnya menjadikan ilmu dan ahli hadits berkembang. Ada ungkapan dari salah satu murid langsung Imam Asy-Syafi'i yaitu Imam Abu Ali Al-Hasan bin Muhammad Ash-Shabah Al-Baghdadi Az-Za’farani atau Imam Az-Za’farani rahimahullah (wafat 260 H / 873 M di Baghdad Irak) yg menerangkan ahli hadits pada masanya tidak mengembangkan dan meluaskan pemahaman hadits dan baru sadar serta bangun kajian ilmiah, setelah terobosan Ushul Fiqih oleh Imam Asy-Syafi’i tsb. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa melalui tangan Imam Asy-Syafi’i inilah mendorong kesadaran para ulama berikutnya akan pentingnya fiqh al-hadis.
Dalam perjalanan sejarah, menimbulkan lahirnya kitab² hadits yg bernuansakan fiqih. Hal tsb sebagaimana lahirnya kitab hadits seperti dgn metode sunan yg berisikan hadits berdasarkan bab² sebagaimana dalam kitab fiqih. Walaupun dalam sejarahnya, pola ini sudah ada jauh pada masa sebelumnya yaitu masa ulama tabi’in, seperti Al-Imam Amir ibn Syarahil ibn Amr Asy-Sya’labi Al-Hamdani (wafat 103 H / 721 M di Kufah Iraq). Tetapi lebih pesat berkembang setelah pondasi Ushul fiqih dikonsep oleh Imam Asy-Syafi'i.
Kontribusi Imam Asy-Syafi'i yg dikenal sbg nasirus sunnah adalah sangat besar. Setidaknya, melalui kitab Ar-Risalah dan Al-Umm. Kedua kitab tsb, dijadikan oleh para ulama sbg induk dari ilmu hadits, fiqih dan fiqhul hadits. Sebagai metodologi fiqh Al-Hadits adalah Kitab Ar-Risalah, sedangkan aplikasinya adalah dalam Kitab Al-Umm. Dengan demikian, sejak itu melalui Imam Asy-Syafi’i telah menjadikan kajian hadits dan fiqih pun berkembang pesat.
Ulama Dahulu Dalam Mengkaji Hadits Untuk Menentukan Suatu Hukum
Menggali hukum fiqih dari sumber²nya yg prosesnya disebut dgn ijtihad itu, bukanlah aktivitas remeh-temeh yg bebas bisa dilakukan oleh siapa saja. Saking ketatnya, para ulama ushuliyyun meletakkan cukup banyak syarat dan ketentuan yg amat berat, bagi siapa saja yg hendak maju untuk memahami syariah ini. Hal itu bertujuan agar pemahaman tsb diupayakan sebisa mungkin, sesuai dgn apa yg Allah subhanahu wa ta'ala kehendaki sbg Sang Pemilik wahyu.
Dalam mengkaji hukum berdasarkan hadits oleh ulama dahulu, digambarkan oleh Al-Imam Al-Allamah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari atau Imam Nawawi rahimahullah (wafat 21 Desember 1277 M di Nawa Suriah), harus memiliki syarat² yg ketat serta amat berat dan hanya sedikit sekali fuqaha' yg bisa melakukannya.
Beliau mencontohkan beberapa fuqaha dari madzhab Imam Syafi’i, misalnya Imam Abu Ya’qub Al-Buwaithi rahimahullah dan Imam Abu Al-Qasim Ad-Daraki rahimahullah. Merekalah (menurut Imam Nawawi) adalah orang² yg memiliki "rutbatul ijtihad". Tidak setiap orang mengetahui suatu hadits sahih sekalipun, langsung mengatakan ini adalah pendapat yg benar, dgn hanya mengamalkan sisi lahir atau tekstualitas haditsnya saja. Tidak sesederhana itu.
Kitab² hadits sangat banyak, lalu menelusuri semua isi kitab bukanlah perkara yg ringan. Di zaman Imam Nawawi saja, yg jumlah kitab syafi’iyyah belum sebanyak zaman sekarang (tinggal copas dan dicopi di laptop), menganggapnya sbg syarat yg berat. Bahkan, salah seorang ulama besar hadits yg berpangkat "imamul aimmah" (imamnya para imam) yaitu Al-Imam Al Hafidzul Kabir Al-Faqih Asy-Syaikhul Islam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah An-Naisaburi Asy-Syafi'i atau Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat 923 M, Naisabur, Iran), salah satu ulama dalam madzhab syafi’i yg diakui kehebatannya dalam bidang ilmu fiqih, kebesarannya dalam ilmu hadits, dan penguasaannya yg luas lagi mendalam akan seluruh teks² Imam syafi’i saja sampai menyatakan : “Saya tak mengetahui satu haditspun dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yg tidak tertulis dalam kitab² As Syafi’i”.
Apa yg diterangkan dgn cukup jelas oleh Imam Nawawi tsb, tentang ungkapan diatas tentu saja bertujuan agar setiap orang tidak mudah dalam membenturkan pemahaman barunya terhadap suatu hadits sahih, dgn pemahaman para ulama mujtahid, yg secara logika lurus tentu lebih otoritatif dalam menggali sebuah pemaknaan terhadap sebuah hadits. Para mujtahid ketika meninggalkan makna lahir sebuah hadits bukan tanpa sebab atau alasan.
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa alasan tsb dalam muqaddimah kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhaddzab. Diantaranya adalah pandangan Imam mujtahid akan adanya cacat dalam hadits, adanya nasikh, adanya mukhassis atau adanya ta’wil. Bahkan, ulama rujukan kaum Wahabi yaitu Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hambali atau Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat 26 September 1328 M di Damaskus, Suriah) telah menyebutkan sekitar dua puluh alasan dalam kitab Raf’ul Malam ‘An A’imah A-A’lam. Intinya adalah, bahwa kita sbg muqallid, hendaknya bersikap tenang dan percaya atas hasil ijtihad para Imam, setenang dan sepercaya para penumpang pesawat terhadap pilot yg akan mengantarkan mereka sampai ke tempat tujuan. Jangan membikin gaduh para penumpang yg menyebabkan pesawat dalam kondisi bahaya.
Namun, sering terjadi akibat provokasi jargon kembali ke Al-Qur'an dan hadits, ustadz² yg dangkal ilmunya, miskin wawasan sejarahnya dan minus perangkat ilmu² alatnya, mengarahkan ummat yg awam agar tidak mengikuti madzhab, alasannya amaliah²nya seakan dipertentangkan dgn sebuah hadits yg itu² saja. Seakan², mereka lebih hebat dari para ulama² pendiri madzhab, padahal para aimmatul madzahib arba'ah adalah golongan ulama salafus sholeh.
Apakah setiap orang boleh berijtihad ? kita lihat dalam kajian ushul fiqih yg pernah disampaikan oleh Al-Imam Abu Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa bin Abi Nashr An-Nashri Al-Kurdi Asy-Syarakhani Asy-Syahruzuri Asy-Syafi'i atau Imam Ibnu Shalah, orang boleh saja berijtihad secara mandiri berbeda dgn madzhabnya, demi mengamalkan hadits tertentu. Dengan catatan, dia memang memiliki perangkat² mutlak ijtihad, atau minimal perangkat ijtihad parsial dalam masalah, kasus atau persoalan yg berkaitan dgn hadits tsb.
Tanpa memiliki prasyarat dan syarat² tertentu dalam kajian hadits, kemudian menyimpulkan sendiri sesuai kapasitasnya makna hadits, jelas tidak mempunyai nilai akuntabilitas fatwa yg bisa dipertanggungjawabkan, apalagi dgn bekal beberapa hadits saja, sudah berani menyesatkan dan merendahkan ulama² madzhab, ini perlambang kesombongan yg dipelihara dgn jargon² bid'ah, kembali ke Alquran dan hadits. Mereka lupa atau tahu tapi sengaja tidak menjelaskan bahwa status hadits shahih, hasan, dhaif dan maudhu' adalah produk ijtihad para ulama hadits masa lalu. Secara logika, tidak mengakui ijtihad ulama yg bukan kelompoknya, merujuk pada status hadits hasil ijtihad pula.
Bahkan, terkadang ulama dalam satu madzhab dalam berfatwa berbeda dgn pemahaman pendiri madzhab. Imam Nawawi dan para guru² beliau, membolehkan untuk mengamalkan suatu hadits, meski bagi mereka yg tidak memiliki perangkat ijtihad, namun merasa tidak nyaman dgn amalan madzhabnya, itupun melalui proses yg panjang dan setelah ikhtiar ilmiyah mencari², jika tidak tidak berhasil menemukan jawaban memuaskan atas kontradiksi amalan madzhabnya dgn makna suatu hadits.
Pembolehan inipun juga ketat, dgn syarat dan catatan bahwa ada Imam lain yg mengamalkan hadits tersebut. Dan bukan semata² pemahamannya sendiri. Hal ini disebutnya sbg udzur yg membolehkan untuk mengamalkan pendapat Imam lain yg bukan madzhabnya. Gagasan ushuli Ibnu Shalah rahimahullah ini, mendapat respon positif dari ulama lainnya, termasuk mendapat pujian dari Imam Nawawi rahimahullah sbg langkah yg hasanun muta’ayyin.
Ibarat Penjual Obat Dan Dokter
Kini kita lihat, ada penggiringan ummat untuk memakai hadits saja, tidak perlu fiqih, karena fiqih buatan manusia. Ini pembangunan opini keagamaan yg bisa membahayakan umat dan keilmuan atas pemahaman dan implementasi syariat. Bagi orang yg berpikir jernih, memiliki kapasitas ilmiyah, sebenarnya tidak ada yg perlu dipertentangkan antara ahli fiqih dan ahli hadits, justru keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Syekh Abdul Fattah bin Muhammad bin Bashir bin Hasan Abu Ghuddah Al-Khaldi atau Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah (wafat Ahad 9 Syawal 1417 H / 16 Februari 1997 M di Riyadh Arab Saudi) dalam catatan kakinya atas kitab Ar-Raf'u Wat Takmil Fil Jarhi Wat Ta'diil (halaman 91), yg mengutip pernyataan Al-Imam Al-Allamah Al-Faqih Al-Muhaddits Nuruddin Abu Al-Hasan Ali bin Sultan Muhammad Al-Hirawi Al-Qari Al-Hanafi Al-Maturidi atau Imam Mulla Ali Al-Qari rahimahullah (dijuluki Al-Imam Naashirus Sunnah Wa Qaami`ul Bid`ah – Imam Pembela Sunnah dan Pembasmi Bid`ah, wafat 1605 M di Jannatul Ma'la Mekkah) dalam kitab karyanya yg berjudul Adillatu Mu'taqai Abi Hanifata Fi Abawaiyyir Rasul, yg mengibaratkan relasi ahli fiqih dan ahli hadis laksana relasi dokter dan penjual obat :
اَلْمُحَدِّثُ بِلَا فِقْهٍ كَعَطَّارٍ غَيْرِ طَبِيبٍ. فَالْأَدْوِيَةُ حَاصِلَةٌ فِي دُكَانِهِ وَلَا يَدْرِي لِمَاذَا تَصْلُحُ. وَالْفَقِيهُ بِلَا حَدِيثٍ كَطَبِيبٍ لَيْسَ بِعَطَّارٍ، يَعْرِفُ مَا تَصْلُحُ لَهُ الْأَدْوِيَةُ إِلَّا أَنَّهَا لَيْسَتْ عِنْدَهُ
"Pakar hadits yg tidak pandai fiqih, ibarat penjual obat yg bukan dokter. Ia punya berbagai macam jenis obat di tokonya, namun tak tahu persis apa fungsinya. Pakar fiqih yg tak pandai hadits, ibarat dokter yg bukan penjual obat. Ia tahu fungsi dari berbagai macam obat²an, tapi tak memilikinya."
Ibarat Apoteker Dan Dokter
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Mu-arrikh Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Baghdadi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari atau Imam Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah (10 Mei 1002 M - 5 September 1071 M, Bagdad, Irak) meriwayatkan kisah Imam Sulaiman bin Mihran Al-Asadi Al-Kahali Abu Muhammad Al-Kufi Al-A'masy atau Imam Al-A'masy rahimahullah wafat 764 M di Kufah Iraq) dan Imam Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban atau Imam Hanafi rahimahullah (5 September 699 M, Kufah, Irak - 14 Juni 767 M, Bagdad, Irak) sbg berikut :
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍوقَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الْأَعْمَشِ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ , وأَبُو حَنِيفَةَ جَالِسٌ , فَقَالَ الْأَعْمَشٌ: يَا نُعْمَانُ قُلْ فِيهَا فَأَجَابَهُ , فَقَالَ الْأَعْمَشُ: «مِنْ أَيْنَ قُلْتَ هَذَا؟» فَقَالَ: مِنْ حَدِيثِكَ الَّذِي حَدَّثْتَنَاهُ , قَالَ: «نَحْنُ صَيَادِلَةٌ وَأَنْتُمْ أَطِبَّاءُ»
Ubaidullah ibn ‘Amru berkata : ”Ada seorang lelaki yg mendatangi Imam Al-A’masy rahimahullah, lalu lelaki ini bertanya pada Imam Al-A’masy mengenai suatu perkara, sedangkan tatkala itu Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat 14 Juni 767 M, Bagdad, Irak) sedang duduk (di dekat Imam Al-A’masy -pen). Imam Al-A’masy berkata : “Wahai Nukman, sampaikan pendapatmu mengenai masalah ini.” Kemudian Abu Hanifah pun menjawab pertanyaan tsb. Imam Al-A’masy bertanya pada Imam Abu Hanifah, “Dari manakah sumber pendapatmu ini berasal ?”, lalu Imam Abu Hanifah menjawab : “dari hadits yg engkau sampaikan.” Imam Al-A’masy kemudian berkata : “kami (ahlul hadits) adalah apoteker, sedangkan kalianlah (ahlul fiqh) yg menjadi dokternya” (dinukil dari kitab Al-Faqih wal Mutafaqqih, Juz II, hal.163, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Maksud perumpamaan apoteker dan dokter adalah Ahlul hadits yg mencari, mengumpulkan, menghafal dan menyampaikan suatu hadits, namun para fuqaha (ahlul fiqh) lah yg bisa memahami hadits tsb, lalu ber-istinbath (menggali dan menetapkan suatu hukum dari suatu dalil) dgn hadits tsb. Sebagaimana pekerjaan apoteker yg mempelajari disiplin ilmu tentang obat²an, mengetahui secara detail hal ihwal suatu obat, mengumpulkan bahan obat²an, kemudian meraciknya dgn takaran yg tepat sesuai dgn resep yg diberikan dokter, dan dokter lah yg memilih dan membuat resep obat apakah yg cocok dgn diagnosa penyakit yg diderita si pasien.
والله تعالى أعلم وأحكم
Wallahu A'lam. Semoga bermanfaat !!
Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik
#ngajirutin #hadits #sufi #majelisilmu #nu #santrinjoso #tebuireng #aswaja #fiqih #ngajionline #live #santri #ayongaji #pbnu #lembagadakwahnu #pwnujatim #pcnugresik #nugres #viral #pondokpesantren #kyai #nuonline #hadits #nuonlinejatim #nahdlatululama #santrionline #pwnujatim #kontendakwah
Sumber FB Sarinyala.id