Perlunya belajar manthiq dengan benar dalam membaca karya Ibnu Taymiyah
Dalam ajaran ilmu manthiq, premis yang benar akan menghasilkan kesimpulan yang dipastikan juga akan benar. Kalau semua A adalah B dan semua B adalah C, maka semua A pasti C. Ini rumus silogisme sederhana yang kebenarannya tak bisa ditolak oleh siapa pun.
Beberapa tokoh ulama mengkritik manthiq, dan ini sangat disayangkan, dengan alasan sebab perumusnya adalah Aristoteles. Kritik yang hanya tendensius semacam ini sangat lemah sebab manthiq adalah logika akal sehat yang sifatnya universal, bukan sesuatu yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Beda cerita kalau manthiqnya bercampur dengan teologi non-islam maka jelas ditolak campuran teologinya. Mereka yang anti pun akhirnya membuat-buat contoh silogisme yang keliru untuk menyimpulkan bahwa hasil silogisme adalah tidak akurat. Padahal bukan silogismenya yang salah tapi contoh yang mereka buat memang salah.
Membaca komen mas Adi Nur ini membuat saya teringat pembahasan tersebut. Dalam semangatnya untuk membela Syaikh Ibnu Taymiyah dan menyalahkan saya, dia membuat silogisme seperti di SS ini. Dia bilang, orang gila dapat ditunjuk jari, saya (AWA) dapat ditunjuk jari lalu mengesankan seolah saya orang gila meskipun tidak ditulis dengan eksplisit. Pengikutnya pun tertawa seolah itu benar. Hehe..
Kesalahan nalarnya mudah ditemukan, yakni pada premisnya yang keliru. "Orang gila dapat ditunjuk jari" adalah premis yang salah sebab yang dapat ditunjuk jari adalah orangnya sebagai jisim, bukan dia sebagai orang gila. Dengan kata lain, kegilaan tidak membuat sesuatu bisa ditunjuk jari. Yang membuat sesuatu bisa ditunjuk jari hanyalah aspek fisikal-jismiyahnya. Kalau kalimatnya dibalik, maka kesimpulannya adalah tidak semua yang dapat ditunjuk jari pasti orang gila. Dalam contoh kalimat "Idemu sangat gila", tidak ada yang bisa ditunjuk jari sebab ide bukan sesuatu yang fisikal-jismiyah. Jadi, pemakaian kalimat "orang gila dapat ditunjuk jari" adalah kalimat salah yang tidak dapat menghasilkan kesimpulan apa-apa kecuali bahwa yang menyusun kalimat ini menjadi premis sedang menunjukkan bahwa dia tidak paham ilmu manthiq.
Pemahaman pada manthiq ini mutlak diperlukan ketika kita membaca karya Syaikh Ibnu Taymiyah yang penuh dengan istilah bersayap. Kalau tidak paham betul, saya sarankan tidak membacanya dan tidak pula mengomentari saya yang sedang membahas pemikiran beliau. Kalau dipaksa maka hasilnya hanya kesimpulan yang tidak nyambung dan sentimen pribadi seperti berucap bahwa saya menabrak gunung, orang gila, tidak tahu diri, hanya doktor lokal dan celaan lainnya yang tidak menyentuh inti persoalan yang menjadi kajian saya.
Sebagai tambahan, Syaikh Ibnu Taymiyah sendiri termasuk pengkritik istilah "jisim". Dia tidak suka pemakaian kata ini sehingga semua premis yang mengarah pada kesimpulan "kalau begini maka pasti jisim" selalu dia tolak. Semua defisini kata jisim pun dia permasalahkan secara kebahasaan. Tapi apakah itu membuatnya tidak menjadi mujassim, tidak sesederhana itu. Yang dia tolak hanya istilah jisimnya dan lawazim rusaknya, bukan hakikat jismiyahnya. Ini yang membuat banyak pengkaji terkecoh dan tertipu sebab kurang jeli. Pengkritik buku saya "Kerancuan Akidah Wahabi" biasanya yang terkecoh ini sehingga kebanyakan sering saya bilang tidak nyambung dan tidak layak ditanggapi.
Perlu diingat, semua mujassim muslim berkeyakinan bahwa Allah adalah jisim yang berbeda dengan seluruh jisim lain. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: golongan pertama mengatakan kalimat itu dengan terus terang, sedangkan golongan kedua justru anti terhadap kalimat itu sebab mereka menganggap kata jisim sebagai kata bid'ah tetapi meyakini maknanya sebagai sesuatu yang berwujud fisik besar, punya panjang, lebar dan tinggi. Sekali lagi, semua mujassim muslim meniadakan lawazim yang rusak dari kata jisim seperti bahwa sesuatu yang fisikal-jismiyah pasti ada yang membentuk, pasti ada yang menyusun, bisa diklasifikasi dan seterusnya. Ini yang membuat mereka masih muslim, meskipun ahli bid'ah, tapi tidak sampai murtad. Sedangkan lawazim yang menurut mereka tidak rusak, seperti bergerak, naik turun, duduk, bersuara, diam tak bersuara, punya batasan fisikal, bisa ditunjuk jari, bisa bersentuhan fisik dengan makhluk dan hawadits lain justru mereka tetapkan sebab bagi mereka itu adalah ciri-ciri wujud. Ini yang membuat mereka menjadi ahli bid'ah, meskipun muslim. Nah, Syaikh Ibnu Taymiyah termasuk golongan mujassim kedua ini. Kedua golongan ini sama-sama ada dalam sekte mujassimah Karramiyah yang menurut pengakuan Khalil Harras, seorang Taymiy, mempunyai kemiripan dengan ushul Ibnu Taymiyah.
Kalau masih bingung, saya beri perbandingan dalam internal Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyyah). Aswaja terbagi menjadi dua, yakni kalangan yang secara terang-terangan menyatakan takwil dan kalangan yang justru terang-terangan anti takwil sebab memilih tafwidh. Yang anti takwil menentang semua penggunaan istilah takwil, mereka maunya pakai istilah yang lebih aman semisal "tafsir". Meskipun kelihatan beda istilah dan terkesan tidak akur, tapi keduanya tetap Ahlussunah wal Jamaah yang sama-sama anti terhadap mujassimah maupun mu'atthilah. Kalau anda paham ini, maka perlu diketahui bahwa di kalangan aliran mujassimah juga terdapat dua kelompok. Kelompok pertama terang-terangan menyatakan Allah adalah jisim (dalam makna yang menurut mereka layak dan sesuai dengan laisa kamitslihi syaiun). Kelompok kedua justru sangat anti terhadap istilah jisim dan lebih suka memakai istilah lain yang lebih aman semisal "dzat, syaiun, wujud" dan sebagainya. Nah, yang kedua ini adalah posisi Ibnu Taymiyah. Meskipun beda istilah dan terkesan tidak akur, keduanya tetap masuk dalam kelompok mujassimah yang anti terhadap Ahlussunah wal Jamaah.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad