Khilafah Islamiyah Tidak Realistis?

Khilafah Islamiyah Tidak Realistis?

𝗞𝗛𝗜𝗟𝗔𝗙𝗔𝗛 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗥𝗘𝗔𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗦 ?

Afwan kiyai ada seorang teman yang mengatakan kalau konsep khilafah islam atau pemerintahan global berdasarkan syariat islam itu tidak realistis. Jangankan menyatukan negara, menyatukan sesama organisasi dan gerakan islam saja susah apalagi menyatukan semua umat islam. 

Katanya pula, khilafah itu hanya tinggal sejarah, jadi bagian masa yang tidak usah diungkit-ungkit lagi. Seperti halnya dinosaurus yang sudah punah dan mustahil bisa bangkit dari kubur lagi. Enak diceritakan,  tapi akan membuat orang ketakutan kalau dia dihidupkan lagi...

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

Ketika disebut kata Khilafah mungkin yang langsung tergambarkan dipikiran banyak orang adalah ide atau gagasan ala organisasi HTI atau jangan-jangan malah IS*S ? Atau mungkin juga hal-hal “menyeramkan” lainnya yang itu dikait-kaitkan dengan sistem pemerintahan Khilafah yang wujudnya dinasti di masa lalu ? 

Atau yang lebih sederhana dan umum, mengangkat konsep Khilafah berarti hendak mengganti sistem bernegara yang telah kita sepakati saat ini dengan ideologi kelompok tertentu dengan mengatasnamakan Islam ?

Kali ini, bukan waktunya kita masuk keperdebatan yang sifatnya parsial tersebut. Kita bahas itu di lain waktu. Mari kita mencoba untuk fokus menelaah bagaimana dan seperti apa sebenarnya wujud khilafah yang “asli” tanpa menyertakan tambahan atau sisipan dari pihak manapun. Baik  itu yang dilakukan oleh tangan-tangan yang pro ataupun sebaliknya yang kontra dari muslimin sendiri, atau dari kaum kuffar dan munafiqin.  

Secara umum tentang khilafah itu paling tidak ada dua point yang disepakati, yang pertama adalah menjadikan hukum Allah atau syariat sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur setiap lini kehidupan bermasyarakat. Dan yang kedua, diterapkannya sistem pemerintahan global. Yakni umat Islam disatukan oleh satu model kepemimpinan, tanpa adanya skat teritorial dan pembatasan negara-bangsa yang memisahkan mereka.

 Dalam khilafah, umat Islam dipandang sebagai satu entitas global yang memiliki kesatuan politik di bawah satu kepemimpinan. Hal ini didasarkan pada prinsip persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah) yang mengedepankan kesatuan dan solidaritas di antara umat, tanpa terpengaruh oleh perbedaan ras, suku, atau wilayah geografis.

Dan dibahasan ini, saya hendak membahas satu hal saja sesuai dengan pertanyaan, yakni tentang anggapan bahwa sistem kekhalifahan itu tidaklah realistis di era modern ini. Yang mana katanya, jangan kan untuk menggabungkan negara satu dengan negara lainnya, lha wong menyatukan organisasi Islam saja susahnya bukan main. Lagi pula, hari ini umat Islam sudah cukup nyaman dengan tatanan dunia baru, hidup dengan sistem demokrasi dan punya negara sendiri-sendiri.

Dan mohon agar antum menyimak tulisan ini dengan seksama, jika ada yang layak untuk dikritisi, silahkan langsung dibantah tanpa perlu ragu sedikitpun. Karena jawaban saya ini mungkin akan sarat dengan opini pribadi meski saya mengklaimnya itu adalah ilmu dari guru-guru saya atau pemikiran yang saya yakini sebagai yang paling logis dan ilmiah.  

Pendapat saya tentu saya yakini sebagai yang paling tepat dan benar, tapi tak menutup peluang bisa saja sebenarnya salah. Dan pendapat orang lain menurut saya salah atau minimal kurang tepat, tapi bisa saja itu justru yang lebih tepat bahkan yang benar dan saya keliru, itu prinsipnya...

Dan jangan terburu-buru menyimpulkan saya bicara tentang khilafah berarti saya mendukung kelompok tertentu dan berideologi tertentu. Karena bicara khilafah itu bukan berarti harus menjadi HTI, sebagaimana bicara pembaharuan Islam tidak harus orang Muhammadiyah, untuk menegakkan tauhid tidak meski orang Salafi dan yang bicara tentang toleransi dan kebangsaan tak melulu itu pasti orang NU. Bukan begitu ?

Dan kalau ada yang alergi dengan istilah khilafah di tulisan ini, langsung saja terjemahkan dibenak antum dengan translit : Khilafah = sistem pemerintahan global, atau mungkin Uni Islam, atau bahasa semisal seperti kita mengenal adanya istilah Uni Eropa, PAN Arabisme, atau PBB.

Baiklah, langsung saja kita bahas soalan “benarkah pemerintahan global hari ini tidak realistis ?” Berikut ini 8 (delapan) penjelasannya :

𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗺𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗴𝗹𝗼𝗯𝗮𝗹 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗺𝗼𝗱𝗲𝗿𝗻

Ada sebagian orang yang melontarkan pernyataan bahwa gagasan khilafah atau pemerintahan global tidak lagi realistis di zaman modern ini. Padahal jika kita mau mengkaji dan merenungi lebih mendalam, justru pandangan seperti ini lah yang mengabaikan sudut pandang yang lebih realistis dan telah terpengaruh oleh pola pikir yang  sempit dan skeptis.

Mari kita coba bandingkan secara objektif : mana yang lebih sulit, mendirikan pemerintahan global di era 'merpati pos' ketika komunikasi begitu lambat dan terbatas, atau di era 'email elektronik' sosmed dan wujud teknologi canggih di bidang informasi seperti saat ini, di mana satu berita dapat disebarkan dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia ?

Mana yang lebih masuk akal, mewujudkan kesatuan umat tanpa batas wilayah di masa 'busur panah' dan kuda sebagai alat transportasi, atau di era 'rudal balistik' dan pesawat jet yang bisa menghubungkan benua dalam hitungan jam ?

Mana yang lebih dibutuhkan, membangun sebuah pemerintahan yang mampu mengelola jutaan manusia di zaman 'kertas dan tinta' yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyusun dokumen dan kebijakan, atau di zaman 'komputasi awan' dan teknologi digital, di mana data dan informasi bisa dikelola dan diakses secara real-time oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia?

Mana yang lebih realistis masyarakat dunia bisa disatukan  pada zaman koin emas dan perak harus diangkut untuk perdagangan antarnegara, dengan zaman  sekarang transfer dana internasional bisa terjadi dalam hitungan menit dengan sistem keuangan elektronik?

Jika di masa-masa yang jauh lebih sulit dan sering dikatakan primitif, umat Islam berhasil mempertahankan pemerintahan global selama berabad-abad, lalu bagaimana bisa di zaman serba cepat dan mudah ini, dengan dukungan teknologi yang jauh lebih maju, gagasan tentang kesatuan umat di bawah pemerintahan global dikatakan tidak masuk akal ?

Jika di masa lalu, dengan segala keterbatasan teknologi, umat Islam mampu membangun dan mempertahankan khilafah selama hampir 1000 tahun, menghadapi berbagai tantangan dan serangan dari luar, lalu mengapa di zaman modern yang serba mudah dan serba cepat ini, khilafah dianggap tidak mungkin?

Dan faktanya pula, masyarakat dunia saat ini sudah saling terhubung. Interaksi antarnegara sudah melampaui batas geografis dan politik. Dunia tak ubahnya sebuah kampung besar, di mana informasi dan ide-ide mengalir bebas melintasi perbatasan tanpa hambatan yang berarti.

Dalam konteks ini, kebutuhan akan seorang pemimpin global menjadi semakin mendesak. Tidak mungkin kita bisa mencapai stabilitas global tanpa adanya satu kepemimpinan yang bisa menyatukan peradaban, menuntun umat menuju arah yang lebih baik.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah :Pihak mana yang akan menjadi pemimpin tersebut ? Apakah kita ingin dipimpin oleh sistem barat yang didasarkan kepada nilai-nilai kapitalis, liberal dan sekuler, atau mungkin kekuatan baru neokomunisme yang juga berusaha bangkit dari kematiannya, ataukah kita lebih memilih sistem yang berlandaskan kepada syariat Islam dan prinsip syura (musyawarah)?

Jika sebagian orang—baik itu kaum munafik, zindik, kuffar atau bahkan yang mengaku muslim—lebih memilih untuk dipimpin oleh pilihan mereka, itu adalah hak yang kita hargai. Mereka bebas memilih pemimpin dan sistem yang mereka anggap cocok bagi mereka. Tapi jangan katakan bahwa pilihan kita tidak realistis….

𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮, 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗻𝗼 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗽𝗲𝗿𝗺𝗶𝘀𝗮𝗹𝗮𝗻,  𝗶𝘁𝘂 𝗮𝗻𝗮𝗹𝗼𝗴𝗶  𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗿𝘂𝘀𝗮𝗸

Pembuatan analogi atau permisalan untuk membantu memudahkan pemahaman pada suatu objek bahasan adalah hal yang baik dan sering lazim dilakukan untuk mendekatkan pemahaman. Namun, jika analogi tersebut tidak tepat, alih-alih membantu, justru dapat menyesatkan dan membuat pemahaman menjadi jauh dari tujuan yang diinginkan.

Contohnya, membandingkan khilafah dengan Dinosaurus mungkin terkesan sebagai upaya untuk menyamakan keduanya sebagai 'produk' masa lalu. Namun, dalam konteks ini, sangat tidak tepat jika khilafah dianalogikan dengan Dinosaurus.

 Ini adalah bentuk dari jenis qiyas yang dalam ilmu usul fiqih disebut dengan ma'al fariq, yaitu analogi yang rusak, karena memperbandingkan dua hal yang memiliki perbedaan mendasar. Tidak apple to apple, tapi mungkin apple to Vivo atau Oppo.

Bukankah dinosaurus sudah punah dan hanya tersisa fosil, yang tidak mungkin dihidupkan Kembali ? Sementara khilafah, meskipun berasal dari masa lalu, tetap memiliki potensi untuk ditegakkan kembali karena manusia beriman, muslim yang teguh, dan mujahid dakwah yang menjadi pondasi kebangkitan Islam masih ada dan terus berjuang hingga saat ini ?

Bukankah calon-calon pionir dan pemimpin umat yang akan menegakkan kembali panji Islam, setiap saat bisa lahir dari rahim para muslimah ? Ini membuktikan bahwa ide pemerintahan global ala Islam bukanlah sesuatu yang mati atau hilang, melainkan sesuatu yang selalu hidup dan siap diwujudkan kapan saja. Berbeda dengan si dino yang memang tak mungkin untuk hidup kembali…

Bersambung ke point 3,4 dan 5 … 

Khilafah Islamiyah Tidak Realistis?

𝗕𝗘𝗡𝗔𝗥𝗞𝗔𝗛 𝗞𝗛𝗜𝗟𝗔𝗙𝗔𝗛 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗥𝗘𝗔𝗟𝗜𝗦𝗧𝗜𝗦 𝗕𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜𝗜 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

 Berikut ini lanjutan bahasan dari tulisan sebelumnya, tentang tuduhan bahwa sistem pemerintahan global yang menjadi salah satu ciri khas Khilafah tidak realistis di zaman sekarang ini.

𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗰𝗶𝘁𝗮-𝗰𝗶𝘁𝗮, 𝗲𝘁𝘂𝗽𝗶𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗶𝗺𝗽𝗼𝘀𝘀𝗶𝗯𝗹𝗲

Banyak yang menganggap bahwa tegaknya kembali satu sistem pemerintahan global umat Islam seperti di masa lalu itu seperti hal yang sangat tidak realistis bahkan dianggap mustahil dengan menimbang fakta yang ada sekarang ini. Padahal harapan atau keinginan pada dasarnya terbagi menjadi tiga: ada yaitu keinginan yang berupa cita-cita, ada yang utopia (khayalan), dan memang ada yang mustahil untuk diwujudkan (impossible). Dan kita harus bisa membedakan dengan jelas antara ketiganya tersebut.

Pengertian cita-cita adalah sesuatu yang secara realitas bisa untuk diraih atau diwujudkan, meski mungkin berat dan butuh perjuangan yang tidak ringan untuk mewujudkannya. Contohnya; bila ada seorang anak yang berkeinginan menjadi pilot, maka itulah cita-cita.

Sedangkan utopia (khayalan) adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya untuk diwujudkan. Contohnya; bila ada anak lumpuh lagi buta berkeinginan ingin jadi presiden atau pemimpin besar, tidak salah apabila kita katakan, “dia sedang berkhayal.”

Karena ini hampir tidak mungkin, tapi bukan berarti mustahil, karena fakta telah terjadi bahwa Ahmad Yasin, seorang yang lumpuh, pernah memimpin satu organisasi yang sangat berpengaruh dalam dunia perjuangan, dan juga sosok Gus Dur, seorang yang buta lagi lumpuh pernah jadi presiden RI.

Contoh selanjutnya misalnya, kalau ada seorang anak, yang dia berkeinginan di usia yang belum genap 40 tahun bisa menjadi wapres, maka tak keliru juga kalau kita katakan dia sedang berkhayal, kecuali…eh, skip.

Lalu yang terakhir pengertian keinginan yang bersifat impossible adalah sesuatu yang mustahil untuk terjadi. Misalnya saja, jika ada seorang nenek usia 81 tahun yang ingin kembali muda belia seperti saat masih usia 18 tahun, atau ada manusia biasa ingin menjadi malaikat yang sempurna tanpa cacat oleh dosa dan kesalahan, maka contoh-contoh ini tidak pernah terjadi dan tidak akan mungkin terjadi.

Dan karena tipisnya perbedaan antara utopia dan sesuatu yang sifatnya impossible, sering orang menyamakan antara keduanya.

Maka di sini kemudian, kita tinggal menempatkan, apakah khilafah itu sebuah cita-cita, utopia (khayalan), atau keinginan yang mustahil? Jelas bahwa ia bukan sesuatu yang mustahil (impossible), karena ia pernah terjadi dan perangkat penunjang terwujudnya kembalinya juga masih ada. Persoalannya tinggal; apakah ia cita-cita ataukah utopia.

Bila dikatakan cita-cita mungkin bukan karena – sebagaimana gambaran dari penanya – untuk menyatukan gerakan dakwah saja sangat sulit. Apalagi menyatukan masyarakat antar pulau, negara dan dunia. Mungkin dapat dikatakan terwujudnya persatuan politik umat Islam dalam satu wadah pemerintahan global belum dalam taraf cita-cita dengan melihat realitas saat ini.

Sehingga mungkin tidak sepenuhnya salah jika ada yang menuduh ia hanya semacam utopia, barulah nanti akan beralih secara drastis ataupun gradual menjadi sebuah cita-cita yang akan terwujud, bila perangkat umat berupa kualitas dan kuantitas sudah memungkinkan.

𝗞𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Ada beberapa hadits yang dipahami oleh sebagian ulama telah menyebutkan akan munculnya kekhalifahan Islam di akhir zaman. Di bahasan kali ini kita fokuskan dulu mencantumkan bunyi haditsnya dan kedudukannya, tanpa membahas perbedaan ulama tentang maksud dari hadits ini.

Hadits pertama: Khilafah di akhir zaman

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَتَ

Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadits 17680. Sanad hadits: Imam Ahmad dari Syaiban, dari Awf, dari Abu Dhamrah, dari Huzaifah bin Al-Yaman.

Diriwayatkan oleh Imam al Hakim dalam Al Mustadrak dengan nomor hadits 8468. Sanad Hadits: Imam Hakim dari Abdillah Muhammad bin Ya'qub, dari Al-Hasan bin Ali bin Affan, dari Zaid bin Hubab, dari Husain bin Waqid, dari Abdullah bin Buraidah, dari Buraidah bin al Hushaib al Aslami radhiyallahu 'anhu.

Kualitas Hadits: Al Hafidz al Iraqi mengatakan hadits ini shahih.[1] Dan al Haitsami juga menshahihkannya.[2]

Hadits kedua: Kemunculan Imam Mahdi setelah perang saudara anak khalifah

يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلاَثَةٌ، كُلُّهُمُ ابْنُ خَلِيفَةٍ، ثُمَّ لاَ يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ المَشْرِقِ، فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلاً لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ

Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, dengan nomor hadits 4084. Sanad Hadits: Ibnu Majah dari Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Yusuf, dari Abdur Razaq, dari Sufyan ats Tsauri, dari Khalid bin Khida’, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma’ ar Raji, dari Tsauban radhiyallahu’anhu.

Kualitas Hadits: Menurut sebagian ulama, hadits ini shahih atau hasan. Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Bushiri menyatakan periwayat hadits ini semuanya tsiqah. Demikian juga Imam Hakim telah menshahihkan dengan syarat Bukhari Muslim. Sedangkan Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Al-Mizan berpendapat salah satu rawi hadits ini yang bernama Abu Qilabah adalah seorang mudalis.[3]

𝗞𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮 : 𝗧𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘂𝗷𝗶 𝘀𝗲𝗸𝗶𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗺𝗮

Sistem kekhalifahan Islam pernah ada dan berfungsi selama lebih dari 1000 tahun lamanya. Dari zaman Khulafaur Rasyidin (632–661 M), berlanjut masa Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), lalu Abbasiyah (750–1258 M), hingga yang terakhir Kekhalifahan Utsmaniyah (1299–1924 M). 

Sistem kekhalifahan menjadi model pemerintahan yang tidak hanya diterima, tetapi juga berkembang dan memimpin wilayah yang sangat luas dari Timur Tengah, Afrika Utara, hingga sebagian Eropa dan Asia. 

Kekhalifahan juga mengalami pasang surut peradaban, berganti-ganti dinasti dan bangsa yang menjadi penopangnya, namun terbukti bisa dilaksanakan secara umum dengan baik, meski tentu dengan segala kekurangannya, karena memang ini hanyalah peradaban manusia, bukan para malaikat.

Kekhalifahan barulah lenyap belakangan ini, belum genap 100 tahun. Hari ini memang kita hidup dengan tatanan yang baru. Banyak negara termasuk Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Di sini biasanya kita akan berdebat sangat panas tentang hukum menerapkannya. Ada yang tegas bersuara haram, ada yang memilah termasuk ada yang membela dengan alasan ia serupa dengan sistem syura dalam Islam.

Padahal, kita jangan lari dulu dari subtansi.  Tentang apa itu Khilafah apa demokrasi. Okelah, menyamakan demokrasi dengan syura mungkin ada benarnya karena memang ada beberapa kesamaannya, tapi satu hal yang jelas kelirunya bila ada yang menyamakan khilafah dengan sistem pemerintahan tertentu seperti monarki absolut atau model pemerintahan seperti kerajaan dari masa lalu. 

Karena inti dari kekhalifahan Islam yang disepakai itu bukan tentang monarki atau bukan monarki. Tapi tentang persatuan umat dan tegaknya syariat.

Lagian logikanya kalau kita baru memakai barang “baru” yang belum teruji kualitasnya, koq agak janggal rasanya kemudian sok tahu dan mengomentari sesuatu yang telah teruji sekian lama dan juga telah terbukti kehandalannya.

Bersambung point 6, 7 dan 8…

________

[1] Muhjah al Qarb (2/17)

[2] Majma’ az Zawaid (5/189)

[3] Jami’ al Masannid wa Sunan (1/648)

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Khilafah Islamiyah Tidak Realistis? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®