Mengamalkan Perkara yang Diperselisihkan Antara Mandub dan Makruh
Jika ada suatu perkara yang diperselisihkan ulama, ada sebagian yang menganjurkan dan ada sebagian lagi yang memakruhkan, maka dalam kondisi seperti ini mengamalkan perkara tersebut lebih afdhal (lebih utama) dari meninggalkannya. Karena syariat Islam, berusaha agar perkara-perkara yang dianjurkan senantiasa diamalkan, demikian pula dengan perkara-perkara yang diwajibkan.
Imam ‘Izzud din bin Abdussalam rahimahullah menyatakan : “Kami berpendapat seperti ini karena syariat berusaha untuk menjaga berbagai perkara yang dianjurkan untuk senantiasa diamalkan, demikian pula dengan perkara yang diwajibkan.”
Alasan yang lain, karena mereka yang menetapkan dianjurkannya perkara tersebut, memiliki faidah ilmu yang tidak diketahui oleh pihak yang meniadakan. Dan dalam kaidah disebutkan, bahwa “al-mutsbit muqaddamun ‘ala an-nafi” (Pihak yang menetapkan didahulukan dari yang meniadakan). Demikian dinyatakan oleh Imam Al-Qarafi rahimahullah.
Menurut Imam Faraj bin Qasim bin Lubb Al-Andalusi rahimahullah, jika sekelompok kaum muslimin mengamalkan suatu amalan dengan bersandar kepada pendapat/fatwa seorang ulama, maka tidak boleh untuk diingkari. Apalagi jika perbedaan pendapat dalam masalah tersebut hanyalah berkisar antara mandub (dianjurkan) dan makruh. Bahkan dalam kondisi seperti ini, mengamalkan perkara tersebut justru lebih afdhal.
Dan hal ini tidak bertentangan dengan akan adanya (potensi) keyakinan tertentu terhadapnya dari orang yang jahil (tidak mengetahui/bodoh). Wudhu, shalat, puasa dan tugas-tugas yang disyariatkan dalam agama, memiliki berbagai keutamaan yang hendaknya diamalkan dan istiqamah di atasnya. Tidak ada seorang pun ulama yang berpendapat untuk meninggalkan hal-hal tersebut karena adanya kekhawatiran diyakini sebagai perkara wajib.
Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
10 Juli 2021