Lima Kategori Bid’ah : Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah
Secara umum bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abdullah bin Masúd radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (baru) dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kita tidak menolak bahwa bid’ah memang ada baik secara faktual maupun secara konsep sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas. Bahkan sebagian bid’ah adalah dlalalah atau sesat kita mengakuinya. Hanya saja kita menolak pemahaman bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah karena memang tidak setiap bid’ah adalah dlalalah. Ada bid’ah yang bisa dibenarkan meski Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukannya.
Selain itu, frasa “setiap bid’ah” yang merupakan terjemahan dari كُلَّ بِدْعَةٍ sebagaimana termaktub dalam hadits di atas tidak bisa dipahami secara denotatif bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah sebab ungkapan dalam frasa itu menggunakan gaya bahasa yang disebut totum pro parte, yakni sebuah majas yang digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian saja.
Gaya bahasa seperti itu dalam ilmu balaghat disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-kulliyyat sebagaimana yang kita temukan dalam كُلَّ سَفِيْنَةٍ dalam surat Al-Kahfi, ayat 79 sebagai berikut:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Artinya: “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku ingin membuat perahu itu cacat karena di belakang mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang tidak cacat).”
Frasa “setiap perahu” yang merupakan terjemahan dari كُلَّ سَفِيْنَةٍ dalam ayat di atas tidak bermakna seluruh perahu tanpa kecuali, tetapi seluruh perahu yang kondisinya baik saja sehingga dalam konteks ayat ini perahu yang dilubangi Nabi Khidzir milik orang-orang yang miskin tidak dirampas oleh raja karena kondisinya cacat.
Oleh karena tidak setiap bid’ah adalah dlalalah, maka secara fiqih bid’ah dapat dikategorikan menjadi 5 (lima), yakni: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Kategorisasi ini berdasarkan keterangan dari Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, Darul Qalam, Damaskus, Cetakan I, Tahun 2000, Juz II, Halaman 337, sebagai berikut:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ
Artinya, “Bid‘ah adalah melakukan apa yang tidak dijumpai di masa Rasulullah ﷺ. Hukum Bid‘ah terbagi menjadi: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.”
Berdasar pada kategorisasi bid’ah sebagaimana disebutkan dalam kitab tersebut, Mbah KH Abdullah Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Darus Sholihin Surakarta, dalam sebuah ceramah Ramadhan di Masjid Tegalsari Surakarta pada bulan Ramadhan 1439 H, memberikan contoh bid’ah yang hukumnya haram, yakni shalat Subuh 4 rakaat.
Shalat Subuh 4 rakaat jelas bid’ah dlalalah karena tidak ada dasar dan contohnya. Shalat Shubuh 2 rakaat bersifat qath’i karena begitulah Rasulullah ﷺ telah menetapkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqiy, Ad-Daru Quthniy dan Ahmad sebagai berikut:
صَلاَةُ الصُّبْحِ رَكْعَتَانِ
Artinya: “Shalat Shubuh itu (hanya) dua rakaat.”
Adapun contoh bid’ah yang hukumnya sunnah, Mbah Kiai Abdullah Asyári memberikan contoh, yakni shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat.
Memang ada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat. Tetapi di zaman Khalifah Umar bin Khattab, shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Hal ini memang bid’ah. Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan Sayyidina Umar tersebut merupakan bid’ah dlalalah?
Tentu saja tidak sebab Rasulullah ﷺ sendiri pernah berwasiat agar umatnya mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaur Rasyidin sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang diriwayatakan Abu Dawud dan At-Tirmidzi sebagai berikut:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِالرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya: “Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“
Jadi sunnah Khulafur Rasyidin itu ada dan legal karena dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Oleh karena itu, shalat tarawih dengan 23 rakaat tidak termasuk bid’ah yang haram, tetapi sunnah sebab mengikuti sunnah Sayyidina Umar sebagai salah seorang dari Khulafaur Rasyidin.
Sedangkan bid’ah yang hukumnya wajib, Mbah Kiai Abdullah Asy’ari memberikan contoh, yakni membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Di zaman Rasulullah ﷺ ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak dibukukan, tetapi ditulis di kulit binatang, batu yang tipis, pelepah kurma, tulang binatang dan sebagainya.
Perkembangan zaman menuntut agar ayat-ayat Al-Qur’an dibukukan menjadi satu mushaf karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah meninggal dunia dan kondisi tulisan ayat-ayat Al-Quran dalam benda-benda tersebut semakin buruk karena faktor usia. Maka dilakukanlah pembukuan ayat-ayat Al-Quran yang berlangsung mulai zaman kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab hingga Sayyidina Utsman bin Affan.
Andaikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah dibukukan menjadi mushaf, kita yang hidup di zaman sekarang tidak akan pernah menjumpainya. Umat Islam akan hidup tersesat karena tidak memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup. Memang harus diakui bahwa upaya membukukan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan Khulafaur Rasyidin adalah sesuatu yang baru alias bid’ah, tetapi tidak dlalalah – tidak haram - karena hukumnya malah wajib.
Mengenai bid’ah yang hukumnya makruh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami dalam kitab tersebut, halaman 338, memberikan contoh yakni menghiasai masjid. Tentu yang dimaksud dengan hiasan di sini adalah ornamen-ornamen yang tidak mengandung unsur dakwah.
Sedangkan contoh bid’ah yang termasuk kategori mubah, Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami pada halaman 339 memberikan contoh yakni jabat tangan usai shalat Subuh dan Ashar. Sedangkan Mbah Kiai Abdullah Asyári memberikan contoh bid’ah mubah adalah pergi haji dengan menggunakan pesawat terbang.
Kelima kategori bid’ah sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami tersebut sangat penting dipahami dan dijadikan pegangan bagi kaum Muslimin secara umum dalam kehidupan beribadah mereka sehari-hari. Dengan cara ini mereka tidak akan terombang-ambing oleh pendapat-pendapat dari luar kalangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah yang cenderung waton sulaya (asal berbeda).
Muhamad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta