Sirriyatut Dakwah
Tiga tahun pertama dakwah Nabi SAW di Mekkah itu dengan pendekatan sirriyah (rahasia). Mereka yang sekiranya akan bermasalah kalau ketahuan keislamannya, dianjurkan merahasiakan identitas keislamannya.
Lain misalnya dengan Hamzah, paman Nabi SAW atau Umar bin al-Khattab radhiyallahunahuma. Ini dua tokoh yang disegani orang. Tidak ada yang berani macam-macam dengan mereka berdua. Jadi mereka tidak perlu menutupi status keislaman.
Siapa yang berani mengganggu dua orang ini, karena resikonya tidak sepadan. Sebab kedua adalah orang berpengaruh yang cukup disegani.
Tapi kalau sekelas Bilal, Amar bin Yasir dan sepergaulannya, mereka ini orang lemah alias dhu'afa'. Mereka tidak punya harta, kedudukan atau nama besar. Mereka inilah yang selalu jadi sasaran intimidasi. Istilah kerennya itu double minoritas, sudah budak muslim pula.
Jadi budak saja sudah kudu pasrah, bisa dengan mudah disiksa tanpa ampun. Apalagi pakai acara masuk Islam segala, habis lah mereka jadi sasaran amukan tirani mayoritas. Dibejek-bejek tanpa henti.
Namun uniknya justru generasi awal pemeluk Islam memang lebih banyak dari kalangan mereka ini. Yang orang gedean sih ada, tapi terbatas jumlahnya dan bisa dihitung dengan jari.
Maka memahami periode sirriyah dakwah ini tidak tepat kalau digeneralisir bahwa semua shahabat merahasiakan dakwah dan keislamannya. Yang lebih tepat bahwa ini hanya khusus dianjurkan buat mereka yang dhu'afa saja. Demi kemaslahatan mereka sendiri, maka dimintalah mereka untuk merahasiakan keislamannya.
Malah kalau perlu dan sudah amat terpaksa, bolehlah pura-pura murtad. Karena resiko kehilangan nyawa itu lebih berat dari pada resiko kehilangan identitas keislaman.
Allah SWT berfirman :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl : 106)
Namun meskipun demikian, kepada mereka yang merahasiakan keislamannya, tetap terus dapat akses keilmuan dari Nabi SAW, atau lewat wakil-wakil Beliau.
Tetap belajar agama, meski tidak secara terang-terangan. Pertemuannya dirahasiakan, diam-diam, di tempat yang sulit dilacak.
Ibadah pun demikian juga, mereka tetap melaksanakannya, tapi diam-diam dan terpisah sendiri-sendiri. Baca Quran pun juga dilirihkan, biar tidak ketahuan.
Paling yang rada nekat selevel Abdullah bin Mas'ud radhiyallahuanhu. Memang beliau itu amat siap dengan resikonya. Siap digebukin ramai-ramai gara-gara nekat baca Quran keras-keras di tempat umum. Memang sengaja nantang sih kayaknya beliau itu. Pokoknya resiko tanggung sendiri.
Tapi shahabat yang lain tetap ketat dan taat protokol. Mereka benar-benar merahasiakan keislaman. Dan semua itu memang instruksi Nabi SAW langsung.
Bahkan meski sudah lewat 3 tahun dan dakwah sudah mulai masuk era terang-terangan ('alaniyah), mereka tetap diminta berlindung dan menjaga diri.
Sebab serangan mendadak tetap bisa saja terjadi. Para musyrikin Mekkah memang kurang terpuji akhlaqnya. Suka menyiksa orang lemah, apalagi ditambah bumbu beda agama. Dan para pembesar Mekkah bukannya mencegah, tapi malah membiarkan saja kezhaliman berlangsung di depan mata.
Hingga pada akhirnya dicarikan jalan keluar yaitu hijrah ke Habasyah. Tercatat sampai ada dua kali gelombang hijrah ke Habasyah. Padahal Habasyah itu negeri kafir, raja dan rakyatnya pemeluk Kristen.
Bisa diterima dan dilindungi juga tidak langsung berjalan mulus. Pakai dialog dan negosiasi panjang kali lebar. Adu hujjah dan logika, sampai raja yakin bahwa melindungi kaum muslimin termasuk bagian dari kewajibannya.
Bayangkan, perang dihindari dengan lebih memilih pura-pura jadi orang kafir, atau malah minta perlindungan kepada orang kafir, walaupun kafirnya kafir yang baik dan tidak memerangi.
Merahasiakan identitas keislaman hingga hijrah minta perlindungan kepada orang kafir ternyata justru lebih dipilih ketimbang jihad atau melawan dengan senjata. Selama 13 tahun periode Mekkah dan setahun periode Madinah, syariah Islam tidak mengenal perintah jihad.
Baru ada perintah jihad di tahun kedua setelah hijrah, itu pun sifatnya hanya izin boleh melakukannya, bukan perintah yang sifatnya kudu musti wajib.
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (QS. Al-Hajj : 39)
Jangan dikira konflik bersenjata dengan musyrikin Mekkah ini menjadi jalan hidup Nabi SAW dan para shahabat. Tidak ada kamus jihad itu adalah jalan hidup. Sebab baru masuk tahun keenam hijriyah, sudah ada gencetan senjata.
Jadi konfrontasi bersenjata Mekkah dan Madinah itu usianya hanya 5 tahun saja. Masuk tahun ke-6, langsung gencetan senjata dengan disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah.
Kalau pun ada Peristiwa Fathu Mekkah di tahun ke-8 hjiriyah, maka itu adalah pukulan telak terakhir yang langsung membuat Mekkah bertekuk lutut selamanya, dan nyaris semua penduduknya menyatakan diri masuk Islam.
Siapa lagi yang mau diperangi, kalau semua sudah pada masuk Islam dengan kesadarannya sendiri? Jihad dan konfrontasi bersenjata itu bukan jalan hidup, tapi sekedar salah satu pilihan sulit. Kalau masih bisa dihindari, kenapa harus dicari-cari?
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Favorit · 13 Februari 2021 pada 09.51 ·