Peradaban Islam : Peradaban Baca Tulis
Budaya baca tulis sejak dulu selalu dijadikan barometer dalam mengukur tingkat peradaban suatu bangsa. Ini bicara tingkat peradaban bukan tingkat kesejahteraan. Peradaban yang belum kenal budaya baca tulis biasanya dimasukkan sebagai peradaban terbelakang.
Maka usaha Nabi SAW dalam menaikkan derajat peradaban bangsa Arab yang ummi dilakuan lewat beberapa perintah baca tulis.
Pertama : lafazh Al-Quran yang pertama kali turun itu berupa kata perintah (fi'il amr) yang berbunyi : IQRA' dan artinya : bacalah.
Kedua : 70 orang kafir tawanan perang Badar pun diperintahkan masing-masing mengajar 10 kaum muslimin, kalau tidak mau bayar tebusan.
Ketiga : lewat program penulisan wahyu Al-Quran. Beliau punya team penulis wahyu yang cukup banyak anggotanya, sampai berjumlah 43 orang.
Keempat : korespondensi Nabi SAW dengan para raja dunia di masa itu sellau lewat surat menyurat. Bahkan Nabi SAW punya stempel khusus yang memastikan suratnya selevel untuk surat menyurat para raja.
Kelima : setiap ada perjanjian dengan pihak lain, Nabi SAW selalu memerintahkan untuk menuliskan perjanjian itu. Misalnya Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, termasuk juga perjanjian utang piutang dengan sesama.
Tidak cukup hanya kesepakatan lisan saja, harus ditulis dan itu merupakan perintah langsung Al-Quran.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. (Al-Baqarah : 282)
Sejak itulah bangsa Arab yang awalnya disebut sebagai bangsa buta huruf, mulai berubah menjad bangsa paling maju di dunia. Semua ditandai dari produsi karya tulis mereka yang bagaikan gelombang Tsumani. Semakin lama jumlah karya para ulama semakin banyak dan memenuhi berbagai perpustakaan.
Dan peradaban Islam boleh dibilang satu-satu peradaban di dunia ini yang paling banyak warisannya dalam bentuk karya tulis. Walaupun pernah terjadi bencana diserbu tentara Mongol dan banyak karya ulama dibakar, sebagiannya dibuang ke sungai Tigris sehingga airnya menghitam kena noda tinta, namun tetap saja sisanya masih terlalu banyak.
Lucu dan anehnya, ketika ratusan tahun umat Islam dijajah Barat, para penjajah itu sudah mulai masuk ke dunia peradaban yang maju. Begitu ketemu jejak karya para ulama masa lalu, karya-karya itu pun dianggap sebagai potensi kekayaan abadi. Kitab-kitab dalam bentuk manuskrip kuno itu pun mereka boyong.
Maka kitab para ulama Islam itu mulai jadi koleksi berbagai musium London, Paris, Leiden, Roma dan pusat-pusat peradaban Barat. Mereka meski kafir dan anti Islam, tapi mereka muliakan kitab karya emas para ulama. Semua tersimpan dengan rapi dan aman, karena ini bagian dari sejarah peradaban Islam.
Bagaimana dengan umat Islam?
Di beberapa negara Arab, kita masih punya banyak perpusatakaan. Di Cairo, Alexandria, Tunis, Al-jazair, Maghrib, Syam, Yaman dan lainnya. Masih ada banyak juga. Tapi memang perpustakaan itu sepi, jarang ada pengunjungnya. Dengan pengecualian para mahasiswa pasca sarjana yang lagi pusing mikirin tesis dan disertasi.
Uniknya, begitu mereka lulus dan jadi sarjana, kunjungan ke perpustakaannya selesai sudah. Ya, kan sudah lulus, mau apa lagi? Begitu kira-kira logikanya.
Untungnya sekarang sudah ada perpustakaan digital. Yang sudah didigitalkan saja jumlahnya puluhan ribu dan bergentayangan filenya di internet. Sampai ada aplikasinya, salah satunya Maktabah Syamilah dan lainnya.
Namun memang kondisi umat Islam yang sudah lama terpuruk masih belum juga memperlihatkan tanda-tanda terbebas dari keterpurukan peradaban.
Buktinya, budaya berliterasi dengan buku rujukan masih belum lagi dimulai. Para tokoh yang dibesarkan di tengah umat Islam masih agak hemat dengan literasi.
Kalau urusan berpidato, ceramah, orasi, termasuk berdebat, memang sudah pintar dan jadi makanan harian. Tapi giliran disuruh menuliskan isinya di atas kertas, langsung pada jadi orang yang tawadhu', pendiam dan tidak banyak kata. Sepi nyaris tak terdengar, eh tidak tertuang dalam kalimat.
Program perpustakaan digital atau online bukan tidak punya. Cukup pakai HP saja pun bisa akses beribu kitab ulama dengan gratis. Tapi itu dia masalahnya, untuk membaca dan menelaah isinya, itu yang jarang-jarang.
Bahkan pajangan lemari kitab pun sudah mulai trend, setidaknya yang pernah kuliah di Timur Tengah. Walaupun belum tentu dibaca juga. Bagaimana mau baca, wong plastik segelnya saja masih rapat terpasang.
Budaya baca tulis yang dulu diperjuangkan Nabi SAW ternyata sama sekali tidak lagi dapat perhatian oleh umatnya sendiri di akhir zaman.
Akibatnya, warisan karya ilmiyah para ulama sepanjamg 12-abad jadi disia-siakan. Tidak ada yang memberi apresisasi. Apalagi juga pada tidak paham bahasanya. Saya juga curiga, kenapa banyak sekali kalangan tokoh muslim yang malah jadi anti dengan bahasa Arab.
Setiap saya berstatemen tentang pentingnya penguasaan Bahasa Arab, ada saja mereka yang datang menentang. Islam itu bukan Arab-lah, yang penting semangatnya-lah, dan 1001 alasan tidak penting lainnya, tapi intinya sama saja : BELAJAR BAHASA ARAB ITU NYARIS HARAM.
Jadi maunya itu kita tetap jadi nasionalis sejati yang selalu menjaga jati diri bangsa, dengan cara tetap setia sampai mati hanya mau baca buku yang berbahasa Indonesia saja. Kalau yang bahasa Arab itu dianggap terlalu menurut kepentingan asing.
Prinsipnya, lebih baik baca terjemahan walaupun beresiko salah terjemah, dari pada sedikit upaya berkorban agar bisa melek bahasa Arab. Saya kok jadi agak curiga, kenapa sampai sekeukeuh itu mereka yang anti dengan bahasa Arab.
Tapi oke lah saya paham bahwa belajar bahasa Arab itu memang tidak mudah. Oke lah kita batasi literatur berbahasa Indonesia saja. Soalnuya banyak yang tersinggung kalau saya senggol masalah kemampuan berbahasa Arab.
Tetap saja banyak tokoh agama, walau pun berpendidikam tinggi dan punya gelar sederet, tapi tetap minim karya tulis dan jarang baca. Kecuali mungkin baca 'status'. Apalagi yang awam-awam seperti kita-kita.
Memang ada juga sih geliat untuk menulis karya berbau Islam, misalnya munculnya para penulis cerpen, novel, kisah-kisah fiksi islami. Itu pun sudah sangat kita syukuri. Harapannya ke depan bisa untuk batu loncatan. Semoga bisa terpenuhi.
Tapi jelas sekali bahwa tujuan Nabi SAW memerintahkan baca tulis bukan biar umatnya suka baca novel atau gemar kisah fiksi. Tapi untuk menuangkan begitu banyak limpahan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu keislaman, atau pun ilmu umum, sains dan lainnya.
Agak mengkhawatirkan memang kalau mencermati parahnya kondisi keilmuan umat Islam. Di tengah eforia semangat keislaman, ingin memajukan umat, ingin lebih unggul dari umat lain, tapi budaya literasinya dibiarkan tak terurus.
Lembaga pendidikannya pun kurang sejalan dengan semangat membangun peradaban baca tulis. Para santri dan siswanya kurang termotivasi untuk pandai menulis dan rajin membaca. Yang lebih banyak porsinya malah budaya hafalan.
Bagus sih, kan yang dihafal itu Al-Quran, hadits dan mahfuzhat. Tapi kalau disuruh sebutkan nama-nama kitab karya para ulama, ya langsung pada tawadhu'. Jangankan lulusan dan alumninya, guru dan dosennya pun kurang lebih sama saja.
Dengar judulnya saja pun baru tumben, apalagi baca isinya. Begitu dibuka, lho kok gundul tidak ada barisnya? Salah cetak ya?
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Favorit · 13 Februari 2021 pada 10.59 ·