Hambatan Politis
Ada beberapa kajian ilmiyah terkait fiqih yang saya agak bingung membahasnya, khususnya kalau kental nuansa politisnya.
Karena meski saya bisa fokus pada sisi syariahnya, namun siapa bisa jamin para pembacanya bisa seperti saya.
Kebanyakannya malah lebih hobi meneropong lewat lensa politisnya. Apa yang saya sampaikan akan diframing untuk kepentingan politis mereka.
Makin ramai akan makin bahagia, karena berhasil memanfaatkan momen untuk memonetize dan menghasilkan pundi-pundi mereka. Saya yang habis babak bonyok dihajar kiri kanan, malah tidak dapat apa-apa.
Sehingga kajian ilmiyah jadi tidak fokus. Kajian kritis akan diubah jadi pabrik amunisi ststemen politik. Kajian ilmiyahnya jadi gagal total.
Ketimbang hanya bikin butek airnya tapi ikannya malah tidak dapat, saya kok lebih suka menghindar saja. Cuma bikin tangan belepotan lumpur tanpa membawa hasil apa-apa.
Salah satu contohnya kajian wakaf uang atau wakaf tunai. Sebenarnya saya ingin menulis panjang lebar, karena merupakan kajian yang unik dan menarik.
Tapi berhubung ada dua arus besar politik yang lagi punya hajat dan kepentingan untuk saling melumat, saya mending menjauh saja. Dua gajah lagi berkelahi, yang waras nyingkir.
Toh meski termasuk tema yang cukup menarik, tapi pembahasannya bukan hal urgen-urgen amat. Tidak dibahas pun tidak mengapa.
Biarin aja mereka yang suka nonton adu jotos di atas ring tinju dengan sesamanya. Memang mereka itu hobinya beradu jotos atau setidaknya menikmati suguhan adu jotos. Adu jotos memang bagian dari jiwa dan ruh dalam pandangan hidup mereka.
Kita yang rada waras ini justru malah memilih untuk mlipir saja ke pinggiran. Gak usah ikut meramaikan riuh rendahnya. Karena pasti ujung-ujungnya akan ditarik-tarik masuk ring tinju juga pada akhirnya. Babak bonyok juga.
Dan saya males diajak tinju masal tak berlagu-lagu. Buang-buang umur saja. Saya cuma bilang no comment saja. Itu lebih selamat. Mending pura-pura begok aja, ketimbang sotoy tapi akhirnya malah jadi korban.
Itulah mungkin kenapa dulu Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (w. 204 H) pindah ke Mesir meningglakan hiruk pikuk perpolitikan di Baghdad ibukota Khilafah Bani Abasiyah. Setidaknya menurut beberapa analisa sejarawan begitu motifnya.
Di Mesir suasana ilmiyah dan diskusi lebih kondusif. Jauh dari centang perenang konflik kepentingan politik yang kadang begitu kejam.
Dan kebanyakan pilihan yang muktamad dalam Mazhab Syafi'i lebih banyak ikut qaul Jadid setelah ke Mesir. Meskipun beberapa qaul qadim justru dianggap lebih muktamad.
Gara-gara konflik politik di Baghdad, Asy-Syafi'i pernah nyaris hampir kehilangan nyawa, gara-gara difitnah dan laporan palsu dituduh ikut pemberontak alawiyin di Yaman. Resiko tinggal di negeri yang banyak kelompok pemberontaknya harus dibayar mahal.
Maka setelah selamat dari pedang algojo Harun Ar-Rasyid, Beliau tidak pernah kembali lagi ke Yaman yang penuh gejolak politik. Dari pada kena offside kedua kali.
Dan gara-gara urusan politik juga, murid beliau, Imam Ahmad bin Hambal, juga masuk penjara. Sebenarnya temanya ilmiyah, tapi bernuansa politis.
Al-Quran itu makhluk atau bukan, gitu kan ilmiyah sekali. Tapi walaupun sudah dijawab secara ilmiyah, karena sarat dengan nilai politis, ya ujung-ujungnya masuk penjara.
Maka Asy-Syafi'i lebih memilih tinggal di Mesir. Karena Mesir jauh dari adu jotos politis. Suasan keilmuannya jauh lebih kental. Sebuah negeri yang nantinya melahirkan ribuan ulama besar yang akan mengukir sejarah dengan tinta emas tradisi keilmuan umat Islam.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Favorit · 12 Februari 2021 pada 08.31 ·