Bukan karena riya', sum'ah atau pun pamer, habis mau bagaimana lagi, tiap saat datang kiriman paket. Nggak beli tapi dikirimin orang.
Itu cerita salah satu keluarga saya yang lagi diisolasi di Wisma Atlet. Sampai nggak enak sama teman sekamar. Dikit-dikit kiriman datang.
Kalau ikut dapat jatah sih sudah pastilah. Tapi tetap aja datangnya kiriman tidak berhenti, bahkan kadang dari mereka yang tidak dikenal.
Saya membayangkan, mungkin ini cuma mungkin, kayaknya gitu juga kali ya keadaan orang-orang tua di alam barrzah sana. Anaknya banyak Sholeh semua. Muridnya banyak jadi semua.
Tiap hari sehari lima waktu anak-anaknya, termasuk mantu, cucu pada sibuk mendoakan.
Dan tiap malam Jumat seminggu sekali pada sibuk kirim bacaan tahlil, tahmid dan zdikir serta tidak lupa surat Al-Fatihah, Yasin, bahkan sampai khatam Al-Quran.
Tiap tahun bikin haul ngundang orang sekampung. Semua yang hadir mendoakan dan kirim pahala.
Belum lagi tahlilan, ziarah kubur dan masih banyak lagi paket hadiah berdatangan. Amalnya sendiri sudah banyak, masih ditambah lagi kirimian-kiriman orang. Pokoknya gemah ripah loh jinawi.
Sementara . . .
Tetangganya cuma bengong celingukan. Nasibnya beda jauh. Tidak ada keluarga yang ngirimin pahala. Anak kek, apa mantu kek, atau cucu atau cicit, nggak barang atu yang tahu diri. Pada kagak ada yang kelihatan kirimannya. Sedih banget rasanya.
Tapi salah sendiri, kenapa dulu waktu di dunia salah gaul, berteman dengan orang yang tidak beriman pada alam barzakh dan tidak percaya bahwa doa dan hadiah pahala dari kita yang masih hidup ternyata bisa dikirimkan.
Sebenarnya seluruh ulama sepanjang 14 abad sampai berbusa mulutnya menjelaskan masalah beginian. Tapi dia malah nggak mau dengerin.
Lagunya sebakul, pakai sok tanya, apa Rasulullah SAW mengerjakan? Kayak yang paham aja.
Soalnya mata dan telinganya sudah tertutup rapat. Kalau bukan dari kelompok sendiri, mana mau dia belajar agama. Soalnya pengajiannya ekslusif, merasa kelompoknya doang yang benar. Semua orang salah melulu bawaannya. Semua orang habis dituduh sesat.
Anak-anaknya tidak pernah diajarkan bagaimana kirim doa, pahala dan permintaan ampunan buat orang tuanya. Malah diajarkan urusan yang nggak-nggak. Segala berantem urusan keduniaan dan kekuasaan yang gak ada habisnya.
Terus gimana dong kalau sudah kayak gitu? Masak tidak ada solusinya?
Hmm ada sih. Tapi agak kurang etis. Lagian bisa mengundang perdebatan. Pakai jasa tukang baca doa.
Emang ada?
Ada, tuh di beberapa komplek pemakaman, banyak yang menyediakan jasa baca doa ziarah kubur.
Apalagi kalau menjelang bukan puasa, biasanya kuburan Menteng Pulo dan Karet Bivak macet total, gara-gara orang ramai pada ziarah kubur.
Lucunya, yang pada ziarah ternyata belum tentu pada bisa baca Yasin apalagi doa. Cuma unggul fashoin baju hitam, kaca mata hitam. Keren sih, tapi berdoa nggak bisa.
Ada teman saya yang jadi tukang doa di kuburan. Teman masa kecil dulu waktu ngaji bareng. Lumayan lah, modal baju koko, peci, sarung, tasbih, sorban dan payung.
Honornya lumayan, tapi disesuaikan konsumennya juga. Dia juga punya paket lengkap dan ada paket hemat.
Saya menyebut teman-teman saya ini pasukan payung. Karena cirinya bawa-bawa payung di pemakaman umum.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
29 Januari 2021 pada 15.09 ·