Mengenal Takhsis
Kata "takhsis" (تخصيص) arti asalnya adalah pengkhususan atau penentuan spesifikasi. Dalam ilmu usul fikih, takhsis berarti pengkhususan cakupan narasi nash yang masih umum. Ketika ditakhsis, maka nash umum menjadi lebih sempit agar tepat sasaran. Tapi bukan ini yang akan kita bahas kali ini, tapi istilah takhsis dalam hal kalam.
Takhsis dalam ilmu kalam adalah penentuan satu spesifikasi tertentu dari beragam kemungkinan yang ada. Misalnya saja ketika anda menjahit pakaian, ada banyak kemungkinan desain yang bisa anda buat, ada banyak kemungkinan warna yang bisa dipakai, ada banyak kemungkinan ukuran, kemungkinan motif, kemungkinan bahan dan seterusnya. Semua kemungkinan tersebut sama-sama memungkinkan untuk dipilih, tapi ketika anda memilih satu saja dari sekian banyak kemungkinan yang tersedia itu, misalnya anda memutuskan untuk membuat baju dengan desain kemeja dengan ukuran XL, warna merah, bahan kain katun, motif polos, maka anda telah melakukan takhsis. Dengan demikian, takhsis berarti menyingkirkan segala opsi yang ada dengan hanya mewujudkan satu opsi yang dipilih saja.
Dalam contoh ini, anda sebagai desainer baju disebut mukhassis (pihak yang melakukan takhsis). Ketika ada yang bertanya kenapa model dan spesifikasi itu yang terwujud, maka jawabannya adalah karena spesifikasi itu yang dipilih oleh Mukhassis yang tidak lain adalah anda sendiri. Ketika ada yang melihat produk baju anda, maka orang yang normal akan sadar akan keberadaan mukhassisnya yang membuat spesifikasi tersebut hingga ketika ada bagian yang cacat atau aneh, maka orang tersebut akan bertanya siapa sih yang mendesain baju tersebut (siapa mukhassisnya)?
Apa hubungannya dengan akidah? Dengan memahami konsep takhsis, maka anda akan menyadari bahwa seluruh isi semesta ini sebenarnya adalah hasil takhsis. Ia adalah desain yang muncul dari berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Kenapa bentuk manusia seperti yang kita kenal sekarang, kok bukan seperti makhlluk lain? Kenapa bentuk planet Bumi dan strukturnya seperti yang kita lihat sekarang kenapa bukan dalan bentuk atau sturktur lain? Kenapa rumusnya adalah E=mc² kok bukan yang lain yang berlaku? Kenapa air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen kok bukan lainnya? Kenapa manusia bisanya menghirup oksigen kok bukan lainnya? Dan seluruh pertanyaan eksistensial lainnya jawaban intinya hanya ada satu, sebab itu adalah takhsis. Sang mukhassis di sini tentu Tuhan yang menjadi desainer segala hal.
Ilmu sains hanya bertugas untuk menemukan pola takhsis yang dilakukan Tuhan sehingga pengetahuan soal itu bisa bermanfaat bagi manusia. Ada pun penentuan siapa mukhasisnya, maka itu bukan ranah sains tapi ranah ilmu kalam atau ilmu akidah.
Mungkinkan terjadi takhsis tanpa mukhasis? Jelas mustahil. Tidak perlu kecerdasan untuk sampai pada kesimpulan ini, asal nalarnya waras saja sudah cukup untuk tahu bahwa itu mustahil. Dari sini kemudian pengetahuan terhadap keberadaan mukhassis utama, yakni Tuhan, menjadi hal yang seharusnya pasti dipahami.
Dengan memahami ini, maka anda akan melihat dunia dengan cara yang begitu berbeda dari sebelumnya. Ketika melihat pohon, binatang, langit, bumi, benda apa pun, kesadaran anda akan terbawa menuju kehebatan Sang Mukhassis utama yang mendesain semua itu dan mengeluarkannya dari berbagai kemungkinan yang tak terbatas, yakni Allah. Dalam kondisi inilah barulah anda paham makna ayat berikut:
سَنُرِیهِمۡ ءَایَـٰتِنَا فِی ٱلۡـَٔافَاقِ وَفِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَتَّىٰ یَتَبَیَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`ān itu adalah benar." [Surat Fushilat: 53]
Dan hanya dalam kesadaran akan takhsis inilah anda bisa menjadi sosok ulil albab (orang berakal cerdas) yang disinggung dalam dua ayat berikut:
إِنَّ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal cerdas" [Surat Ali 'Imran: 190]
{ ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ }
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." [Surat Ali 'Imran: 191]
Sekarang, mulai pandanglah dunia dengan cara berbeda seperti para ulul albab di ayat tersebut, dan begitulah para ulama kalam Aswaja dan para ahli makrifat memandang dunia.
Semoga bermanfaat
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad