Fadhilah & Hikmah Aqiqah
Oleh: Isnan Ansory
Para ulama menyebutkan sejumlah hikmah dan faidah dari disyariatkannya penyembelihan hewan aqiqah, sebagaimana penjelasan berikut ini:
a. Taqarrub & Bentuk Syukur Kepada Allah - Ta’ala -
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud:(1)
فالذبيحة عَن الْوَلَد فِيهَا معنى القربان والشكران وَالْفِدَاء وَالصَّدَقَة وإطعام الطَّعَام عِنْد حوادث السرُور الْعِظَام شكرا لله وَإِظْهَار لنعمته الَّتِي هِيَ غَايَة الْمَقْصُود من النِّكَاح. فَإِذا شرع الْإِطْعَام للنِّكَاح الَّذِي هُوَ وَسِيلَة إِلَى حُصُول هَذِه النِّعْمَة فَلِأَن يشرع عِنْد الْغَايَة الْمَطْلُوبَة أولى وَأَحْرَى.
Di dalam sembelihan hewan atas sebab kelahiran anak terdapat unsur bertaqarrub kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, penebusan, sedekah dan memberi makan saat mendapatkan kebahagiaan sebagai bentuk syukur kepada Allah dan menampakkan nikmat-Nya. Yang mana hal ini merupakan tujuan tertinggi dari suatu pernikahan. Karena itu, jika disyariatkan memberi makan pada saat pernikahan sebagai sarana untuk mendapatkan nikmat tersebut, maka tentu lebih dianjurkan untuk hal itu dilakukan (saat kelahiran anak).
b. Sunnah Nabi Ibrahim - ‘Alaihis Salam -
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud:(2)
أَنَّهَا فديَة يفدى بهَا الْمَوْلُود كَمَا فدى الله سُبْحَانَهُ إِسْمَاعِيل الذَّبِيح بالكبش.
Aqiqah termasuk tebusan atas anak yang lahir sebagaimana Allah menebus Ismail dengan seekor kambing kibasy.
c. Makna Anak Tergadaikan Sebelum Diaqiqahi
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa anak yang lahir dan belum diaqiqahi pada hakikatnya dalam kondisi tergadaikan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ سَمُرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ» (رواه الترمذي وأبو داود)
Dari Samurah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Seorang anak laki-laki itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, pada hari itu ia diberi nama dan dicukur rambutnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Lantas, apa sebenarnya makna dari anak yang tergadaikan hingga diaqiqahi?. Para ulama dalam hal ini menyebutkan sejumlah makna sebagaimana berikut:
Pertama: Anak belum bisa memberi syafaat di akhirat kelak untuk kedua orang tuanya, hingga ia diaqiqahi.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud:(3)
قَالَ الامام أَحْمد: مُرْتَهن عَن الشَّفَاعَة لوَالِديهِ. وَقَالَ عَطاء بن أبي رَبَاح: مُرْتَهن بعقيقته قَالَ يحرم شَفَاعَة وَلَده.
Imam Ahmad berkata: Maksud dari tergadaikan adalah terhalangi dari syafaat untuk kedua orang tuanya. ‘Atha’ bin Abi Rabah berkata: maksud dari anak tergadaikan oleh aqiqahnya adalah diharamkan atas kedua orang tua syafaat anaknya.
Kedua: belum terjaga sepenuhnya dari gangguan setan.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud:(4)
جعل الله سُبْحَانَهُ النسيكة عَن الْوَلَد سَببا لفك رهانه من الشَّيْطَان الَّذِي يعلق بِهِ من حِين خُرُوجه إِلَى الدُّنْيَا ... كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وشاركهم فِي الْأَمْوَال وَالْأَوْلَاد} (الْإِسْرَاء: 64).
Allah jadikan aqiqah untuk anak dalam rangka membebaskannya dari gangguan setan yang terus menggantungnya dari sejak lahir, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an: “Dan bersekutulah engkau (wahai Iblis) dengan mereka pada harta dan anak.” (QS. Al-Isra’: 64).
d. Kemulian Khusus Bagi Anak Wanita
Pada masa jahiliyyah, tradisi aqiqah telah ada. Namun hal itu hanya berlaku untuk kelahiran anak laki-laki saja. Karena itulah, saat aqiqah tetap disyariatkan di dalam Islam untuk anak laki-laki dan perempuan sekaligus, hal ini menjadi tanda bahwa aqiqah di dalam Islam juga bertujuan untuk memuliakan anak wanita. Hal ini sebagaimana syariat waris yang pada masa jahiliyyah tidak berlaku untuk ahli waris wanita. Lantas Islam menetapkan bahwa kaum wanita juga berhak untuk mendapatkan hak waris.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: (5)
وَأما أهل الْكتاب فَلَيْسَتْ الْعَقِيقَة عِنْدهم للْأُنْثَى وَإِنَّمَا هِيَ للذّكر خَاصَّة.
Ahli kitab dahulu, tidak terdapat di agama mereka aqiqah untuk anak wanita. Namun hanya berlaku untuk anak laki-laki.
Imam Zainuddin al-Munawi (w. 1031 H) berkata dalam kitabnya, Faidh al-Qadir Syarah al-Jami’ ash-Shaghir: (6)
ومن ثم عدوا العق عن الأنثى من خصائص هذه الأمة.
Karena itulah, para ulama menjadikan aqiqah bagi anak perempuan sebagai keistimewaan bagi umat Muhammad.
e. Menyelisihi Tradisi Jahiliyah
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tradisi aqiqah telah berlangsung dari sejak masa jahiliyyah. Namun ketika Islam datang, beberapa tradisi aqiqah di masa jahiliyyah ini kemudian diubah sesuai dengan nafas ajaran Islam. Karena itu, tradisi aqiqah dalam Islam ini, pada dasarnya juga bertujuan untuk menyelisihi tradisi jahiliyah yang menyimpang dari kemulian ajaran Islam.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: (7)
قد كَانَ أهل الْجَاهِلِيَّة يفعلونها ويسمونها عقيقة ويلطخون رَأس الصَّبِي بدمها. فَأقر رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم الذّبْح وأبطل اسْم العقوق ولطخ رَأس الصَّبِي بدمها. فَقَالَ: لَا أحب العقوق. وَقَالَ: لَا يمس رَأس الْمَوْلُود بِدَم ... أمر بترك ذَلِك لما فِيهِ من التَّشَبُّه بالمشركين. وعوضوا عَنهُ بِمَا هُوَ أَنْفَع لِلْأَبَوَيْنِ وللمولود وللمساكين وَهُوَ: حلق رَأس الطِّفْل وَالتَّصَدُّق بزنة شعره ذَهَبا أَو فضَّة. وَسن لَهُم أَن يلطخوا الرَّأْس بالزعفران الطّيب الرَّائِحَة الْحسن اللَّوْن بَدَلا عَن الدَّم الْخَبيث الرَّائِحَة النَّجس الْعين.
Orang-orang jahiliyah dahulu juga melakukan aqiqah dengan cara membasahi kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah. Lantas Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - mengakui tradisi sembelihannya, namun membatalkan istilah aqiqah dan tradisi pembasahan kepala bayi dengan darahnya. Sembari beliau bersabda: “Aku tidak menyenangi kata uquq.” Dan bersabda: “Janganlah kepala bayi dibasahi dengan darah..”. Beliau melarang itu karena adanya unsur kesamaan dengan kalangan musyrikin. Lalu mereka diperintahkan untuk menggantinya dengan hal yang lebih bermanfaat bagi kedua orang tua, anak dan orang-orang miskin. Yaitu mencukur rambut bayi dan bersedekah dengan perak atau emas seberat cukuran tersebut. Dan mensunnahkan untuk membasahi kepalanya dengan minyak wangi serta warna yang indah sebagai ganti dari darah yang najis.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh shahabat Buraidah yang menceritakan perbedaan tradisi aqiqah antara masa jahiliyyah dan ajaran Islam.
عَنْ بُرَيْدَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ» (رواه أبو داود)
Dari Buraidah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami terlahirkan anak laki-lakinya maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darahnya. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran. (HR. Abu Dawud)
f. Menginformasikan Nasab Anak
Tradisi aqiqah juga dimaksudkan untuk menginformasikan nasab anak kepada khalayak ramai. Hal ini karena di dalam Islam, hubungan nasab amatlah penting. Bahkan terdapat ancaman serius di dalam Islam bagi orang-orang yang mengingkari nasabnya sendiri.
عن أَبي بَكْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ: سَمِعَتْ مُحَمَّدًا - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ» (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Bakrah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Aku mendengar Muhammad - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Barangsiapa mengklaim nasab kepada selain ayah kandungnya dan ia mengetahui hal itu, maka haram atasnya surga.” (HR. Ibnu Majah)
------------------
(1) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, hlm. 70.
(2) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, hlm. 69.
(3) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, hlm. 69.
(4) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, (Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, 1391/1971), cet. 1, hlm. 74.
(5) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, hlm. 65.
(6) Abdur Rauf bin Tajul Arifin Zainuddin al-Munawi (w. 1031 H), Faidh al-Qadir Syarah al-Jami’ ash-Shaghir, (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356), cet. 1, hlm. 4/382.
(7) Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, hlm. 69-70.
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory