Apakah Dzhahir Hadis Shahih Menjadi Satu-Satunya Dalil Untuk Meninggalkan Madzhab?

APAKAH DZHAHIR HADIS SHAHIH MENJADI SATU-SATUNYA DALIL UNTUK MENINGGALKAN MADZHAB?

APAKAH DZHAHIR HADIS SHAHIH MENJADI SATU-SATUNYA DALIL UNTUK MENINGGALKAN MADZHAB? 

Semua ulama akan sepakat bahwa dalil baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah wajib diagungkan dan ia lebih utama dari pendapat si fulan dan alan. Ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu pernah bergembira nan bahagia ketika beliau berijtihad kemudian datang kabar bahwa ijtihadnya sesuai dengan hadis Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam

Namun dalam dunia kajian khususnya penuntut ilmu era sekarang ada perbedaan yang cukup mencolok antara tarjih hadis (non madzhab) dan tarjih fikih (bermadzhab) 

Tarjih fiqih (madzhabi) akan mengedepankan qawaid serta ushul madzhab yang dibangun, sehingga para ulama madzhab ketika bertemu dengan hadis shahih meskipun secara dzahir mengarahkan ke hukum tertentu akan diolah terlebih dahulu melalui kaedah ushul dan qawaid di dalam madzhab sampai menghasilkan kesimpulan akhir yaitu hukum fiqih

Sebagai contoh Madzhab Hanafy yang memandang mencuci bejana yang dijilati anjing tidak harus 7 kali meskipun di sana ada hadis yang secara dzahir berbunyi:

إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا إحداهن بالتراب

Hanafiyyah meninggalkan dzahir hadis bukan tanpa sebab melainkan dikaji terlebih dahulu berdasarkan ushul dan qawaid madzhabnya dan disini hanafiyyah mendahulukan qaul shahabi dari pada dzahir hadis yakni amalan sahabat Abu Hurairah selaku rawi hadis tersebut

Madzhab Maliki tidak memandang adanya khiyar majlis ketika sudah terjadi akad jual beli meskipun disana ada hadis yang berbunyi :

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا

Malikiyyah meninggalkan dzahir hadis bukan tanpa sebab melainkan setelah diramu terlebih dahulu melalui ushul madzhabnya bahkan terkadang Malikiyyah meninggalkan hadis ahad jika bertentangan dengan amal ahli madinah

Begitupula syafi'iyyah yang membolehkan wanita safar tanpa mahram ketika melakukan haji wajib dengan syarat adanya wanita lain yang tsiqat sebagai rafiqahnya meskipun disana ada hadis secara dzahir yang melarang secara mutlak :

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم

Inilah beberapa congoh tarjih fiqih (madzhabi) yang masing-masing mempunyai ushul dan qawaid yang berbeda-beda

Adapun pemerhati tarjih hadis (non madzhab) sering tertipu oleh dzahir hadis sehingga terkadang melahirkan kesimpulan yang prematur

Sering tertipu disini jika pengkajinya seorang muqollid 'amy (awam) sebagaimana perkataan Ibnu Qudamah di dalam raudhah :

العامي لا يعلم الأفضلية حقيقة بل يغتر بالظواهر

Seorang 'aamy (awam) hakikatnya tidak mengetahui mana yang paling afdhal (rajih) bahkan bisa jadi ia tertipu dengan sesuatu yang sifatnya dzahir

Syaikh Bakr Abu Zaid di muqaddimah kitabnya laa Jadiida fis shalah menegaskan :

قد ينجح المستدل فيغرق في الاستدلال وقد يشتط فيبتعد عن مدارك الأحكام وقد يحصل الغلط والوهم والاشتباه

Pemerhati hadis adakalanya berhasil setelah tenggalam dalam analisis dan terkadang melampaui batas sehingga menjauhkannya dari madarik ahkam dan terkadang yang didapatkan hanyalah wahm serta kerancuan dalam memahami nash (hadis) 

Oleh karena itu kajian pemerhati tarjih hadis (non madzhab) era sekarang yang menguatkan pendapat jumhur tentang tidak sahnya nikah tanpa wali berada dalam dua kondisi :

Pertama:  Taklid kepada jumhur

Kedua: Tarjih

Kondisi yang kedua akan menjadi kesimpulan yang prematur jika yang mengatakan demikian bukan ahlinya. Adapun ia seorang ahli ijtihad maka pendapatnya menjadi mu'tabar (diakui)

Oleh karena itu tidak sedikit pemerhati tarjih hadis era sekarang yang pemahamannya sering blunder.  Seringkali dia benturkan pemahamannya dengan pernyataannya "jika ada hadisnya yang shahih maka tinggalkan pendapat fulan dan alan dan amalkan hadisnya". Entah ushul madzhab apa yang dia pakai dalam memahami hadis wallahu A'lam 

Dan menariknya para ahli hadis zaman dahulu justru mengamalkan tarjih fiqih (bermadzhab) seperti abu Dawud, Baihaqi, ibnu khuzaimah, dan diantara informasi yang cukup akurat akan taklidnya ahli hadis kepada fuqaha adalah perkataan imam ahmad :

لولا الشافعي ما عرفنا فقه الحديث، وكان الفقه قفلا على أهله حتى فتحه الله بالشافعي

Kalau bukan karena Asy-Syafi'i kita tidak akan paham fiqih hadis. Dan dahulu fiqh (pemahaman tentang agama) terkunci hanya pada ahlinya saja, sampai Allah membukanya lewat Imam Syafi’i”

Pengakuan Imam Ahamd di atas lebih dikenal sebagai muahddis di zamannya dari pada fikih dan sebelum meraih level mujtahid mutlak beliau adalah salah satu rawi dari madzhab qadimnya imam Syafi'i. Dan mahdzab hambali awal-awal tidak dikenal ssbagai madrasah fiqih melainkan madrasah hadis. Bisa dilihat di kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd sangat jarang menuqil pendapat hanabilah

Allahu A'lam

(Gambar hanyalah pemanis dan jika masuk restoran saya langusung menyantap sajian tanpa menanyakan resepnya ini dan itu bisa kelaparan kalau kelamaan disantapnya 😆) 

Sumber FB Ustadz : Muhammad Fajri

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Apakah Dzhahir Hadis Shahih Menjadi Satu-Satunya Dalil Untuk Meninggalkan Madzhab? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®