𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗦𝗛𝗔𝗟𝗔𝗧 𝗞𝗘 𝗠𝗔𝗦𝗝𝗜𝗗 𝗞𝗔𝗥𝗘𝗡𝗔 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗕𝗜𝗦𝗔 𝗞𝗛𝗨𝗦𝗬𝗨’
Mohon dibahas tentang alasan sebagian orang yang tidak mau shalat berjama’ah ke masjid karena terganggu dengan berisiknya anak-anak bahkan berlari-larian ketika sedang shalat.
Jawaban
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Apa yang ditanyakan ini bukanlah masalah atau kasus yang terjadi hanya di beberapa tempat, tapi seperti merata di banyak daerah. Di mana kekhusyu’an shalat sering terganggu oleh anak-anak yang ribut saat turut menghadiri shalat berjama’ah.
Dalam hal ini. Problem seperti ini sudah seharusnya dicarikan solusi jitunya, bukan malah dibiarkan. Dan termasuk sebuah kekeliruan jika ada yang menjadikan hal itu sebagai alasan untuk meninggalkan shalat berjama’ah dengan alasan tidak bisa khusyuk. Mengapa salah ? Paling tidak karena 8 (delapan) alasan berikut ini :
1. Besarnya Pahala Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah termasuk ibadah yang agung dan memiliki begitu banyak keutamaan. Salah satu keutamaan utamanya adalah pahala yang dilipatgandakan sebanyak 27 kali dibandingkan shalat sendirian, diberikan pahala dan dihapus dosa-dosanya dengan sebab langkah kaki menuju tempat shalat berjama’ah, didoakan oleh para malaikat, diangkat derajat bagi orang-orang yang senantiasa menjaganya dan masih banyak yang lainnya.
Kehilangan keutamaan-keutamaan besar ini hanya karena merasa terganggu oleh kebisingan merupakan kerugian yang amat besar. Dalam konteks ibadah, seseorang seharusnya berusaha untuk meraih segala keutamaan yang telah Allah janjikan, bukan sebaliknya mencari alasan yang justru mengurangi nilainya.
Gangguan dari anak-anak atau ketidaknyamanan kecil lainnya seharusnya tidak menjadi alasan bagi seseorang untuk melewatkan kesempatan yang berlimpah pahala ini.
2. Mempertimbangkan Hukum Shalat Berjama’ah
Menurut sebagian ulama, khususnya dari sebagian ulama kalangan Hanbali, shalat berjama’ah bagi laki-laki adalah fardhu ‘ain, yaitu kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun menurut mayoritas ulama lainnya, shalat berjama’ah adalah sunnah muakkadah, yang sangat dianjurkan dan tidak seharusnya ditinggalkan tanpa udzur.
Meninggalkan shalat berjama’ah hanya karena tidak nyaman dengan keberadaan anak-anak tentu tidak bisa dijadikan alasan yang syar'I dan merupakan sebuah kerugian yang besar.
Berkata Abu Hurairah radhiyallahu’anhu :
لأن تملأ أذن ابن آدم رصاصا مذابا خير له من أن يسمع النداء ثم لا يجيب
“Demi telinga anak Adam dipenuhi dengan timah panas, itu lebih baik baginya daripada mendengar panggilan (azan) kemudian tidak memenuhinya.”[1]
3. Khusyuk Itu Sunnah, Bukan Wajib
Khusyuk dalam shalat memang merupakan hal yang utama dan bagian dari kesempurnaan ibadah, tetapi meski demikian ia tidak termasuk syarat sahnya shalat, bahkan hukumnya pun tidak wajib, tapi hanya sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Disebutkan dalam al Mausu’ah :
اختلف الفقهاء في حكم الخشوع في الصلاة … فذهب جمهور الفقهاء إلى أنه سنة من سنن الصلاة
“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khusyuk di dalam shalat.. Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa ia adalah salah satu dari sunnah-sunnah shalat.”[2]
Oleh karena itu, jika terganggu kekhusyu’an, shalatnya tetap sah selama rukun dan syarat-syarat shalat lainnya terpenuhi. Lagi pula khusyu’ itu bertingkat-tingkat, bila kita baru bisa khusyuk dalam suasana hening, berarti kita perlu banyak berlatih agar bisa khusyuk dalam situasi yang berbeda-beda, termasuk saat ada gangguan dari anak-anak.
Kita perlu belajar kepada para ulama yang bisa tetap khusyuk shalatnya dalam keadaan yang sangat tidak ideal. Banyak kisah keteladanan dalam masalah ini, di antaranya misalnya al imam Abu 'Abdullah Al-Banaji rahimahullah pernah mengimami shalat berjama’ah, lalu terdengar teriakan seruan perang, tetapi beliau sama sekali tidak mempercepat shalatnya.
Setelah selesai, orang -orang berkata kepadanya : "Kau ini berpihak ke musuh ya ? Dengan terkejut beliau balik bertanya : “Mengapa kalian menuduh aku begitu ?”
Mereka menjawab: "Ada seruan untuk segera berperang, tetapi kau sama sekali tidak mempercepat shalat."
Beliau pun menjawab dengan nada keheranan :
ما حسبت أن أحداً يكون في الصلاة فيقع في سمعه غير ما يخاطبه الله عز وجل
"Aku tidak menyangka ada orang yang dalam shalatnya masih bisa mendengar hal lain selain apa yang Allah 'azza wa jalla firmankan kepadanya."[3]
4. Rusaknya Kaidah
Menjadikan ketidaknyamanan atau gangguan yang sebenarnya masih bisa diatasi sebagai alasan meninggalkan sebuah perintah yang maha penting dalam Islam seperti shalat berjama’ah tentu sebuah kaidah dan cara berfikir yang rusak dan tidak tepat.
Jika setiap orang menuruti keinginan untuk merasa nyaman dan dalam kondisi ideal saja, maka akan ada begitu banyak ibadah yang berpotensi ditinggalkan karena berbagai alasan. Padahal, bersabar dari gangguan manusia dalam menunaikan ibadah, itu merupakan ibadah tersendiri.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
لْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. Tirmidzi)
5. Tidak Ada Jaminan Jika Shalat di Rumah Bisa Khusyuk
Seseorang yang menghindari masjid dengan alasan tidak bisa khusyuk karena gangguan anak-anak tidak menjamin bahwa shalat di rumahnya akan lebih khusyuk. Di rumah pun bukan berarti seseorang akan terhindar dari hal yang bisa mengganggu kekhusyu’annya, seperti suara TV, kesibukan rumah tangga, atau hal-hal lain yang justru lebih sulit dihindari daripada gangguan di masjid.
Termasuk juga keinginan dia yang ingin shalat lebih cepat sesuai dengan kehendaknya dengan membaca hanya surah-surah pendek agar cepat selesai, ini bisa diperparah lagi dengan bacaannya yang masih banyak keliru atau belum sesuai dengan tajwid yang benar.
6. Setiap Syariat Itu Memiliki Tujuan dan Hikmah
Selain sebagai ibadah ritual, shalat berjama’ah juga memiliki manfaat berupa ibadah muamala atau sosial yang sangat berpahala besar. Dengan melaksanakan shalat berjama’ah di masjid, seorang muslim terhubung dengan komunitasnya dan menjalin ikatan persaudaraan yang kuat.
Kehadiran secara rutin di masjid memungkinkan kita untuk mengenal kondisi jamaah lainnya, saling bertukar kabar, membantu jika ada yang kesulitan, dan merasakan kebersamaan yang diikat oleh tali iman.
Masjid menjadi pusat interaksi sosial yang positif, di mana setiap muslim saling memperkuat ukhwah, persaudaraan dan kebersamaan. Dari shalat berjama’ah seorang muslim juga belajar banyak hal termasuk diantaranya nilai-nilai kesetaraan, di mana di dalam masjid tidak ada bedanya antara yang berpangkat dengan rakyat biasa, atau antara si miskin dengan si kaya.
Jika seseorang meninggalkan shalat berjama'ah karena alasan gangguan kecil, maka ia tidak hanya kehilangan pahala dari ibadah ritual, tetapi juga kehilangan pahala ibadah sosial dan kesempatan untuk menjadi bagian dari kaum muslimin yang utuh.
Dari sisi hikmah, jika seseorang ingin memperkuat dan melatih kekhusyu’an di dalam shalat yang harus ia perkuat adalah ibadah-ibadah malam seperti shalat tahajud. Karena ibadah yang satu ini disebut bisa lebih menguatkan perasaan khusyuk, Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيْلِ هِىَ أَشَدُّ وَطْـًٔا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al Muzammil : 6)
7. Seharusnya Turut Terlibat dalam Perbaikan
Daripada hanya bisa mengeluhkan keadaan dan meninggalkan masjid, sebaiknya para jamaah terlibat aktif dalam menciptakan suasana masjid yang lebih kondusif. Pengurus masjid dan orang tua memiliki peran untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang adab di masjid, serta bisa mengatur area tertentu di masjid yang lebih cocok untuk anak-anak, sehingga ketertiban dapat dijaga.
Dan kita yang hanya jama’ah bisa, bisa juga dengan mengambil peran memberikan nasehat sesekali kepada anak-anak tersebut, atau jika mungkin sesekali “mewakafkan diri” menjaga anak-anak yang sedang shalat dan mengarahkan agar mereka bisa lebih tertib.
Untuk bagian ini telah kami bahas secara khusus di tulisan : “Anak-anak rebut di masjid ; solusinya ?” silahkan untuk menyimaknya agar bisa melengkapi pemahaman kita tentang masalah ini.
8. Fungsi Masjid Bukan Hanya untuk Shalat
Bila kita mau bercermin pada fungsi masjid di zaman Nabi ﷺ, maka kita akan mengetahui bahwa masjid memiliki begitu banyak fungsi, tidak terbatas hanya sebagai tempat melaksanakan shalat semata. Masjid pada masa Rasulullah ﷺ juga berfungsi sebagai pusat pendidikan, pengembangan masyarakat, tempat bermusyawarah, menerima tamu negara, rumah sakit, bahkan sebagai pusat pengaturan berbagai urusan umat.
Dalam konteks ini, kehadiran anak-anak di masjid merupakan bagian dari fungsi tersebut, yakni mengenalkan dan mendidik generasi muda agar memiliki keterikatan dengan masjid sejak dini. Masa kanak-kanak adalah masa penting untuk pembentukan karakter, dan salah satu cara terbaik untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak adalah dengan membiasakan mereka hadir di masjid, melihat orang-orang beribadah, dan mencintai komunitasnya.
Menjauhkan anak-anak dari masjid karena khawatir mereka mengganggu kekhusyu’an justru akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dan mencintai rumah Allah. Kita perlu memahami bahwa kekhusyu’an dalam shalat adalah bagian dari perjuangan yang harus diupayakan, dan adanya gangguan kecil seperti suara anak-anak adalah bagian dari ujian yang harus dihadapi.
Apabila anak-anak dilarang ke masjid, mereka akan kehilangan pengalaman berharga yang akan membentuk kebiasaan baik di kemudian hari. Mereka akan merasa bahwa masjid bukanlah tempat untuk mereka, sehingga kedekatan mereka dengan rumah Allah menjadi berkurang.
Slogan "dari masjid kita bangkit" hanya mungkin terwujud, jika anak-anak kaum muslimin bisa dibuat dekat dengan masjidnya. Suara riuh mereka yang energik hari ini, itulah yang kelak akan mengemakan kalimat suci di seluruh penjuru bumi Allah. Bukan suara dengkur para orang-orang tua yang tertidur kelelahan di tiang-tiang dan sandaran masjid itu….
Wallahu a'lam
________
[1] Ihya Ulumiddin (1/149)
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (19/117)
[3] Shifatus Shafwah (2/419)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq