Hukum Asal Ibadah Qurban
Para ulama telah bersepakat bahwa ibadah qurban adalah ibadah yang disyariatkan di dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut ini:
فَصَل لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: 2)
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan be-qurban-lah. (QS. Al-Kautsar: 2)
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi:(1)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْأُضْحِيَّةِ.
Umat Islam telah bersepakat bahwa ibadah qurban telah disyariatkan di dalam Islam.
Hanya saja para ulama kemudian berbeda pendapat terkait hukum asal dari berqurban. Apakah perintah dalam ayat di atas merupakan perintah wajib atau sebatas perintah anjuran (sunnah)?.
Mazhab Pertama: Sunnah muakkadah.
Mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) berpendapat bahwa perintah qurban dalam QS. Al-Kautsar ayat 2 adalah perintah anjuran. Karena itu, hukum asal berqurban adalah sunnah dan tidak wajib.
Syaikh Shalih al-Aby al-Azhari al-Maliki (w. 1335 H) berkata dalam kitabnya, ats-Tsamar ad-Dani Syarah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani:(2)
حكمها أنها "سنة واجبة" أي مؤكدة على المشهور "على من استطاعها" إذا كان حرا مسلما كبيرا كان أو صغيرا ذكرا كان أو أنثى مقيما كان أو مسافرا حالة كونه غير حاج لأن سنته الهدي. عن نفسه وعمن تلزمه نفقته من أقاربه كالوالد والأولاد الفقراء.
Hukum qurban adalah sunnah wajibah maksudnya adalah sunnah muakkadah menurut pendapat yang masyhur. Yaitu atas yang mampu melakukannya, jika seorang yang merdeka, muslim, sudah dewasa (baligh) ataupun masih kecil (belum baligh), laki-laki atau wanita, muqim atau musafir, dan tidak dalam perjalanan haji. Sebagai bagi yang berangkat haji, sunnahnya adalah al-hadyu. Dan kesunnahan qurban ini berlaku untuk yang berqurban ataupun orang-orang yang wajib ia nafkahi dari kerabatnya seperti orang tua dan anak-anaknya yang fakir.
Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(3)
فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي الْأُضْحِيَّةِ: ذَكَرْنَا أَنْ مَذْهَبَنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ.
Mazhab para ulama tentang hukum qurban. Kami telah sebutkan bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu dan tidak wajib. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi:(4)
الْأُضْحِيَّةُ سُنَّةٌ، لَا يُسْتَحَبُّ تَرْكُهَا لِمَنْ يَقْدِرُ عَلَيْهَا، أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ الْأُضْحِيَّةَ سُنَّةً مُؤَكَّدَةً غَيْرَ وَاجِبَةٍ.
Hukum qurban adalah sunnah, yang makruh ditinggalkan bagi yang mampu. Di mana kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah dan tidak wajib.
Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits-hadits berikut:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا» (رواه مسلم)
Dari Ummu Salamah - radhiyallahu ‘anha -, bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Jika telah tiba sepuluh (Dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” (HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْه -، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، يَقُولُ: «ثَلاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ: الْوَتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَصَلاةُ الضُّحَى» (رواه أحمد والحاكم)
Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -, yang berkata: Aku mendengar Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu' (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat dhuha. (HR. Ahmad dan Hakim)
Mazhab Kedua: Wajib.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum asal qurban adalah wajib. Di mana perintah dalam QS. Al-Kautsar ayat 2 adalah perintah yang mengandung hukum wajib. Karena itu, bagi pihak yang telah memenuhi syarat wajib melaksanakan qurban, namun enggan melaksanakannya, maka layak untuk mendapatkan dosa dan celaan.
Imam ‘Ala’uddin as-Samarqandi al-Hanafi (w. 540 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Fuqaha’:(5)
قَالَ أَصْحَابنَا إِن الْأُضْحِية وَاجِبَة.
Ashab kami berkata bahwa hukum qurban adalah wajib.
Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْه -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا» (رواه أحمد وابن ماجه والحاكم)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -, bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim)
Namun kalangan al-Hanafiyyah menetapkan sejumlah syarat untuk wajibnya ibadah qurban ini dilaksanakan. Setidaknya mereka menetapkan 4 syarat wajibnya berqurban:
1. Beragama Islam. Maka tidak wajib qurban atas orang kafir.
2. Merdeka. Maka tidak wajib qurban atas budak.
3. Muqim. Maka tidak wajib qurban atas musafir, termasuk orang yang sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Memiliki kemampuan. Di mana maksud dari mampu adalah memiliki sejumlah harta yang telah mencapai nishob zakat. Karena itu, jika seandainya nishob zakat uang adalah 80 juta (berdasarkan nishob emas 85 gram), maka seseorang yang memiliki harta minimal sebesar 80 juta, telah wajib menunaikan ibadah qurban.
Imam Abu Bakar al-Kasani (w. 587 H) berkata dalam kitabnya, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(6)
وَأَمَّا شَرَائِطُ الْوُجُوبِ؛ ... فَمِنْهَا الْإِسْلَامُ فَلَا تَجِبُ عَلَى الْكَافِرِ .... وَمِنْهَا الْحُرِّيَّةُ فَلَا تَجِبُ عَلَى الْعَبْدِ ... وَمِنْهَا الْإِقَامَةُ فَلَا تَجِبُ عَلَى الْمُسَافِرِ؛ ... وَمِنْهَا الْغِنَى ... وَهُوَ أَنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهِ مِائَتَا دِرْهَمٍ أَوْ عِشْرُونَ دِينَارًا أَوْ شَيْءٌ تَبْلُغُ قِيمَتُهُ ... وَأَمَّا الْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ فَلَيْسَا مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ فِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ، وَعِنْدَ مُحَمَّدٍ وَزُفَرَ هُمَا مِنْ شَرَائِطِ الْوُجُوبِ.
Adapun syarat wajib qurban, di antaranya adalah Islam. Maka tidak wajib qurban atas orang kafir. ... Merdeka. Maka tidak wajib atas hamba sahaya. ... Iqomah. Maka tidak wajib atas musafir. ... Mampu. ... Yaitu memiliki harta berupa 200 dirham atau 20 dinar atau senilai dengannya. ... Adapun umur baligh dan berakal, maka bukan syarat wajib menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Namun keduanya termasuk syarat wajib menurut Muhammad asy-Syaibani dan Zufar.
(1) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 9/435.
(2) Shalih bin Abdus Sami’ al-Aby al-Azhari, ats-Tsamar ad-Dani Syarah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, (Beirut: al-Maktabah ats-Tsaqafiyyah, t.th), hlm. 390.
(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 8/385.
(4) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 9/435.
(5) Muhammad bin Ahmad ‘Ala’uddin as-Samarqandi al-Hanafi, Tuhfah al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1414/1994), cet. 2, hlm. 3/81.
(6) Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 5/63-64.
Suumber FB Ustadz : Isnan Ansory