Apakah semua pendapat fikih boleh disampaikan dan diamalkan?
Hukum fikih itu dalam satu permasalahan ada banyak sekali perbendaan pendapat dan sudah seharusnya seperti itu. Dan itu adalah keniscayaan karena dalil hukum fikih itu kebanyakan dhanny. Tapi diantara pendapat itu, ulama membedakannya menjadi beberapa level, berdasarkan kekuatan dalilnya dan tarjih para ulama mazhab. Diantara level itu ada yang dinamakan pendapat muktamad, ada pendapat kuat, ada pendapat lemah, ada pendapat mahjur, ada pendapat syadz dan bahkan ada yang bukan pendapat sama sekali.
Dimana setiap pendapat ada fungsinya sendiri. Dilevel tertentu sebuah pendapat hanya pendapat yang wajib dipakai qadhy. Ada level dimana pendapat hanya boleh dipakai mufty. Itupun dibedakan, ada level pendapat dimana qadhy hanya boleh memakainya untuk keadaan dharurat. Ada level yang hanya boleh dipakai untuk hajat. Ada level yang wajib dipakai dalam keadaan normal.
Ada level pendapat yang boleh diumumkan hukumnya untuk khalayak, ada level pendapat yang hanya boleh diberi untuk orang tertentu secara tertutup. Ada level pendapat yang gunanya untuk mengajar umum atau santri pemula yang fungsinya untuk membumikan nilai, ada juga yang khusus diberikan dikalangan santri yang alim saja dan diruang ilmiyah.
Ada level pendapat yang boleh disampaikan oleh santri level paling mubtadi, ada level pendapat yang hanya boleh disampaikan oleh orang berlevel ulama, ada level pendapat yang hanya boleh disampaikan oleh ulama yang mempunyai wadhifah atau tanggungjawab tertentu. Ada pendapat yang boleh disampaikan imam kampung, ada pendapat yang hanya boleh disampaikan imam umat islam. Ada pendapat yang boleh dipakai untuk amar makruf dan nahi munkar, ada yang hanya boleh untuk amar makruf saja.
Jadi pendapat fikih yang berbeda itu tidak boleh disampaikan sembarangan, karena salah konsumsi bisa salah dosis. Pendapat yang dalam fikih tidak boleh disampaikan sembarangan, jika tidak, pendapat dalam fikih itu bukannya jadi obat, malah jadi penyakit, bukan jadi maslahah, malah jadi masalah. Jika terlalu ketat dia akan masalah, jika terlalu longgar juga akan masalah. Jika memakai pendapat lemah pada tempat tidak seharusnya akan masalah, jika fokus yang muktamad saja sampai tidak pada tempatnya juga akan masalah.
Ibarat dokter umum yang mencoba mengoperasi penyakit langka, sangat rawan malapraktek. Atau dokter spesialis mata, mencoba mengoperasi jantung, bisa bahaya. Atau resep obat kurap diberikan untuk diminum orang sakit magh, bisa bahaya. Begitu juga dengan pendapat fikih yang tidak diberikan dengan dosis yang tepat atau tidak diberikan oleh orang yabg tepat, itu levelnya merusak. Belum lagi mengambil pendapat dari mazhab lain, baik utuh, atau talfik, baik yang kuat atau yang lemah, dst, ga boleh sembarangan
Maka itu perlu berhati-hati dalam memberikan pendapat fikih, kita harus tau posisi kita dan posisi orang yang mendengar atau membaca dari kita, jika tidak mau merusak, jangan asal ada pendapat langsung tekan, jangan asal muktamad langsung maksa, jangan disemua tempat mengulang-ulang masalah yang sama padahal kebutuhan berbeda, jangan pukul rata. Wara' ditempat ga seharusnya atau tidak ada wara' sana sekali, keduanya sama-sama tercela.
Maka dari itu kata syeikh alaudin zaktary "dalam membaca fikih, kita harus memahami jika ada perbedaan besar antara fikih sebagai tanzhir(dalam teori) dalam belajar dan bahs ilmiy, dan fikih sebagai amaly(untuk praktek) yang akan disampaikan dan diamalkan. Hukum Fikih yang akan disampaikan untuk dipraktekan, baik itu dipraktekkan sebagai fatwa, qadha(pengadilan), tarbiyah, dakwah, ta'lim, sulh, keputusan, taqnin, dll. Dimana masing-masing bentuk praktek itu tentu ada fikihnya sendiri.
Makanya kadang kita harus memahami jika sebagian mufty, kadang harus lebih lunak dibanding pengajar, karena wilayah mengajar beneran berbeda dengan berfatwa atau qadha. Dimana dalam fatwa kadang setiap mustafty beda, dimana kadang ada tekanan keadaan yang membuat keadaan berbeda dimana ini tidak ditemukan dalam teori, kadang dikejar waktu karena diperlukan keputusan cepat sehingga waktu bahs daqiq terbatas, dimana kadang ada perubahan keadaan yang sangat cepat yang kadang bisa telat disadari, dst.
Kita harus memaklumi hal seperti itu, dan syariat juga memahami hal seperti itu, dengan memberi keringanan/rukhsah kepada qadhy atau mufty resmi dalam ijtihad mereka. Para mufty dan qadhy ga bisa menunggu puluhan atau ratusan tahun agar mengetahui mana pendapat rajih dalam suatu masalah yang baru, atau mereka kadang tidak bisa menunggu waktu lama untuk debat ilmiyah, karena ada kebutuhan yang harus segera diselesaikan, jadi mereka harus berusaha(ijtihad) sebisanya dengan alat yang ada. Kita harus memahami ini, kecuali kalau dia sudah syadz dalam manhaj secara berulang-ulang
Maka dari itu, baik sebagai mufty, atau sebagai guru kampung, atau sebagai pengajar, atau sebagai orang yang melakukan amar makruf nahi munkar, atau apapun posisi kita dalam mengeluarkan fikih dari ranah teori menuju ranah praktek, baik ranah praktek itu dengan mengamalkan atau menyampaikan, sudah seharusnya setiap bentuk praktek yang berbeda itu kita harus memahami fikihnya, agar ga salah praktek, dan memakai pendapat fikih pada tempatnya. Baik itu pendapat muktamad, pendapat kuat, pendapat lemah, dst, semuanya harus dipelajari dengan detail dan benar,
Itu agar fungsi pembagiannya beneran sesuai dengan harapan ilmiyah dari para ulama yang membaginya, sehingga pendapat fikih itu bisa tepat sasaran dan tidak salah kaprah. Semoga kita diberi petunjuk dalam mengamalkan atau menyampaikan hukum fikih dengan benar dan tepat, sehingga hukum fikih yang luas itu bisa berfungsi dengan bener dan pada tempatnya. Sehingga hikmah dari allah ciptakannya hukum fikih menjadi maznun beneran terlihat. Dimana perbedaan pendapat ulama dalam masalah fikih itu, beneran menjadi rahmat, bukan niqmat(kesengsaraan). Wallahualam
Sumber FB Ustadz : Fauzan Inzaghi