Abdul Wahab Asy Sya'roni, Tokoh Pemersatu Umat
Abdul Wahab Asy Sya’roni terkenal dengan panggilan Imam Asy-Sya’roni, yaitu salah seorang sufi terkenal yg diakui sebagai wali quthub pada zamannya yg memperoleh gelar dlm dunia "sufistik" Imamul Muhaqqiqin wa Zudwatul Arifin (pemuka ahli kebenaran dan teladan orang² makrifat).
Beliau dilahirkan di desa Qalqasyandah Mesir 27 Ramadhan 989 H. / 12 Juli 1493 M.
Dalam salah satu karyanya imam Sya'roni membahas mengenai riwayat "tindak - tanduk ulama" yg kerap diikuti oleh banyak orang.
Pernyataan-nya ulama acap kali dijadikan referensi, baik untuk menyanjung atau menyerang. Sekali saja ia berbuat atau berucap yg provokatif, dampaknya akan menyebar luas di tengah masyarakat.
Terlebih bagi seorang tokoh yg menjadi pemersatu umat, ia tidak boleh mengeluarkan statemen yg dapat menyudutkan kelompok tertentu. Segala ucapan, perbuatan dan langkahnya harus betul² diterima semua kalangan. Inilah yg dicontohkan oleh ulama besar, Syekh Ibnu al Jauzi. #bukan Ibnu qoyyim al jauzi (751 H) murid Ibnu Taimiyyah ya.
Beliau al Ibnu Jauzi, eranya jauh sebelum masanya ulama kholaf (pertengahan). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdurrahman Abu al-Faraj bin Ali bin Muhammad al Jauzi al Qurasyi al Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 508 H - w 597 H, wafat di kota Baghdad.
Seorang Sunni yg sangat alim di masanya terutama di bidang sejarah dan hadits. Di antara karyany yg masyhur Manaqib Umar bin Abdil Aziz, Tarikh Hukama’ al-Islam.
Suatu ketika Syekh Ibnu al-Jauzi tengah menyampaikan khutbah, lalu beliau didatangi dua rombongan dari kelompok besar, Asya’irah (Sunni) dan Syi’ah.
- Asya’irah adalah kelompok yg dalam teologi mengikuti Syekh Abu al-Hasan al-Asy’ari.
- Syi’ah adalah kelompok yg sangat fanatik dengan Sayyidina Ali dan para keturunannya.
Dua rombongan tersebut masing² membawa pedang layaknya orang yg hendak berperang.
Perseteruan itu "dipicu" salah satunya oleh pandangan yg berbeda dari keduanya, berkaitan dengan sebuah keyakinan tentang manusia terbaik setelah Nabi Muhammad saw.
Kelompok Asya’irah meyakini bahwa sepeninggal Baginda Nabi Muhammad, yg terbaik adalah Sayyidina Abu Bakar ash Shiddiq.
Sementara bagi kaum Syi’ah, Sayyidina Ali yg paling utama.
Kedua kelompok besar ini datang untuk meminta pendapat Syekh Ibnu al-Jauzi.
“Siapa yg lebih utama, lebih dekat dan lebih dicintai Rasulullah wahai Syekh, Abu Bakr atau Ali?” demikian pertanyaan yg terlontar.
Pertanyaan yg sangat sulit dijawab oleh orang yg bukan dalam kapaitas ulama wira'i.
Jika menjawab Abu Bakr yg lebih utama, pasti Syi’ah marah.
Jika dijawab Ali lebih mulia, kelompok Asya’irah yg tidak terima.
Ibnu al-Jauzi sejenak berpikir untuk menemukan jalan keluar dari kondisi dilematis yg menimpanya, agar jawabannya dapat diterima kedua kelompok besar yg meminta fatwanya. Setelah berpikir, beliau menemukan jawabannya.
Dengan cerdik, beliau melontarkan jawaban yg sangat diplomatis:
الْأَفْضل منْ كانتْ بنْته تحْتَه
Al afdholu man kanat bintuhu takhtahu "
“Yang paling utama adalah dia yg putrinya menjadi istrinya.”
Sebuah jawaban yg sangat cerdik. Baik Asya’irah maupun Syi’ah masing-masing dapat menerimanya.
Kalangan Asya’irah memahami statemen Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Abu Bakar. Sebab menurut mereka, dlamir (kata ganti) yg ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Abu Bakr, sedangkan dlamir yg ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Nabi Muhammad saw.
Jadi menurut pemahaman mereka, maksud ucapan Ibnu al-Jauzi adalah “Yg paling utama adalah dia yang putrinya (Abu Bakar) menjadi istrinya (Nabi).” Seperti diketahui, Aisyah tidak lain adalah putri Abu Bakr yg menjadi istri Rasulullah.
Demikian pula dengan kelompok Syi’ah, mereka sangat puas dengan jawaban Ibnu al-Jauzi.
Menurut mereka, jawaban Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka memahami kata ganti (dlamir) pada ucapan Ibnu al-Jauzi berbeda dengan yg dipahami Asya’irah.
Menurut mereka, dlamir yg ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Nabi, sedangkan dlamir yg ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Sayyidina Ali.
Menurut mereka, maksud ucapan Ibnu al-Jauzi di atas adalah “Yg paling utama adalah dia yg putrinya (Fatimah putri nabi Saw) menjadi istrinya (Sayyidina Ali).”
Merupakan hal yg maklum, istri Ali adalah Fathimah, putri Nabi.
Karena jawaban Ibnu al Jauzi yg multi tafsir, dua kelompok besar yg mengadu kepadanya memahami sesuai kecenderungan masing-masing.
Letak perbedaannya ada pada marji’ dlamir yg ada pada kata “bintuhu” dan “tahtahu”. Demikianlah selayaknya seorang publik figur bersikap, fatwanya dapat diterima semua kalangan tanpa menimbulkan perpecahan di tengah² umat.
(Imam Sya'roni dalam al-Fawaid al Mukhtarah).
والله اعلم
Sumber FB Ustadz : Musa Muhammad