SALAT TARAWIH: SEJARAH DARI MASA KE MASA
Salat Tarawih merupakan salah satu salat sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan setiap malam pada bulan Ramadan. Dalam bahasa arab, kata TARAWIH (تراويح) sendiri merupakan sebuah kata berbentuk plural dari kata TARWIHAH (ترويحة). Tarwihah berarti istirahat, jadi Tarawih maksudnya adalah banyak istirahat.
Istilah Tarawih sendiri tidak dikenal pada masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, bahkan setidaknya hingga masa Abu Bakr. Pada saat itu yang hanya adalah istilah Qiyam Ramadan.
Istilah Tarawih, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, baru muncul pada masa Umar bin Khattab. Dalam sebuah riwayat, Umar memerintahkan Ubay bin Kaab menjadi imam salat Qiyam Ramadan. Para sahabat ketika itu, biasanya, salat pada seperempat malam yang kedua hingga akhir seperempat malam yang ketiga. Karena durasi salat Qiyam Ramadan yang panjang, mereka beristirahat setiap selesai melaksanakan salat dua rakaat. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa para sahabat salat 18 rakaat, jadi setidaknya ada sekitar delapan kali mereka beristirahat. Dari sini, muncul istilah Tarawih. Untuk keterangan lebih lanjut, bisa dibaca kitab karangan Imam al-Marwazi yang berjudul Qiyam Ramadan.
Ketika kita memperhatikan berbagai riwayat, kita hanya akan mendapatkan satu kepastian, yaitu adanya ketidakpastian jumlah rakaat salat Tarawih, bahkan dalam satu masa sekalipun. Karena hal ini, sampai saat ini masih ada para ulama yang berselisih mengenai jumlah rakaat salat Tarawih.
Dalam sebuah riwayat, ada juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam hanya tiga kali melaksanakan salat Tarawih berjemaah di masjid dengan para sahabat, sisanya dilaksanakan di rumah.
Berangkat dari hal-hal ini, menarik jika kita membahas mengenai salat Tarawih dari masa ke masa.
Pada masa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam sendiri, ada anjuran untuk melaksanakan salat Qiyam Ramadan, namun anjuran tersebut hanya bersifat umum. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut.
كان رسول الله يرغب في قيام رمضان من غير أن يأمرهم بعزيمة
"Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberikan anjuran untuk melaksanakan salat Qiyam Ramadan tanpa memerintahkan dengan kuat." (HR. al-Bukhari)
Hadis ini hanya berisi anjuran untuk menghidupkan malam Ramadan dengan salat Qiyam Ramadan. Karena sifat umum dari hadis ini, respon para sahabat beragam, ada yang melaksanakan salat Qiyam Ramadan di rumah masing-masing dan ada juga yang melaksanakannya di masjid, ada yang salat sendirian dan ada yang salat berjemaah.
Dalan suatu riwayat, Rasulullah pernah sekali salat Qiyam Ramadan di masjid, melihat hal itu, para sahabat ikut berjemaah bersama beliau. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam semula memanjangkan bacaan, namun ketika sadar ada yang mengikuti beliau, lantas beliau langsung memendekkan bacaan. Setelah salam, beliau kembali pulang ke rumah dan melanjutkan salat Qiyam Ramadan. Kisah ini bisa dilihat dalam kitab Qiyam Ramadan karangan Imam al-Marwazi dan kitab Sahih karangan Imam Ibnu Khuzaimah.
Dalam riwayat lain, Ubay bin Kaab pernah bertanya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam perkara dirinya yang mengimami salat Qiyam Ramadan di rumahnya. Lantas nabi hanya diam (tanda mengiyakan).
Dalam riwayat lain, Rasulullullah sallallahu alaihi wasallam juga pernah mengajak istrinya Aisyah untuk salat Qiyam Ramadan berjemaah. Tepatnya menurut riwayat ini sebanyak empat kali pada malam ke-21 hingga malam ke-24.
Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa nabi pernah ke masjid lagi setelah kejadian sebelumnya, tepatnya pada malam ke-23, malam ke-25, dan malam ke-27. Ini adalah riwayat yang mungkin populer di telinga kita bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam salat Qiyam Ramadan berjemaah di masjid dengan para sahabat hanya tiga kali saja.
Ternyata ada alasan dibalik perbuatan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam hanya tiga kali salat Qiyam Ramadan berjemaah di masjid bersama para sahabat, yaitu sebagaimana dalam bahasa hadis berikut.
ولكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها
"Tetapi, aku khawatir jika hal ini (salat Qiyam Ramadan berjemaah di masjid) diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya."
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mencoba menafsirkan kekhawatiran Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tersebut sebagai berikut.
1. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam takut para sahabat salah paham dan menganggap salat Qiyam Ramadan harus dilaksanakan secara berjemaah di masjid.
2. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam takut para sahabat salah paham dan menganggap salat Qiyam Ramadan itu hukumnya fardu kifayah.
3. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam takut para sahabat salah paham dan menganggap salat Qiyam Ramadan merupakan salah satu kewajiban tambahan atas mereka.
Oleh karena itu, apa yang diperbuat oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesalahpahaman di atas.
Berkaitan dengan jumlah rakaat, ketika meneliti berbagai riwayat, kita tidak menemukan jumlah rakaat salat Qiyam Ramadan yang pasti dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.
Ada riwayat yang menyebutkan 13 rakaat, sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Malik berikut.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى بالليل ثلاث عشرة ركعة
"Rasulullah sallallahu alaihi wasallam salat malam 13 rakaat." (HR. Malik)
Ada juga riwayat yang menyebutkan sebelas rakaat sebagaimana dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari berikut.
ما كان يزيد في رمضان ولاغيره على إحدى عشرة ركعة يصلى أربعا
"Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tidak pernah salat malam pada bulan ramadan atau pada bulan yang lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat (sekali salam)." (HR. al-Bukhari)
Ada juga riwayat yang menyebutkan tujuh, sembilan, hingga sebelas rakaat sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari berikut.
سبع وتسع وإحدى عشرة
"Terkadang tujuh rakaat, terkedang sembilan rakaat, dan terkadang sebelas rakaat." (HR. al-Bukhari)
Konteks hadis di atas, suatu ketika Aisyah ditanya berapa jumlah rakaat salat malam yang biasa dilaksanakan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.
Dari banyak riwayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada angka pasti dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.
Lalu, apakah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam melaksanakan salat Qiyam Ramadan dua rakaat sekali salam atau empat rakaat? Jumhur berpendapat bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam salam setiap dua rakaat, sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut.
صلاة الليل مثنى مثنى
"Salat malam itu dua rakaat dua rakaat." (Muttafaqun Alaihi)
Sementara dalam menanggapi hadis riwayat Imam Bukhari sebelumnya yang menyebutkan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam salat empat rakaat sekali salam, jumhur berpandangan bahwa itu maksudnya adalah istirahat atau jeda antar salat. Jadi menurut mereka, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam salat dua rakaat sekali salam, dan setiap empat rakaat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam beristirahat.
Ketika melihat riwayat lain, ada satu hal yang unik, yaitu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam melaksanakan satu rakaat salat Qiyam Ramadan dengan sangat panjang (lama), sebagaimana hadis riwayat Imam al-Nasai berikut.
أن النبي قرأ البقرة وآل عمران والنساء فى ركعة
"Rasulullah sallallahu alaihi wasallam membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, dan An-Nisa dalam satu rakaat. (HR.al-Nasai)
Pada masa Abu Bakr, tidak banyak perubahan berarti. Hanya saja pada zaman beliau, beberapa anak dari pondok Al-Qur'an diminta menjadi imam salat Qiyam Ramadan, lalu Aisyah memasakkan makanan untuk mereka. Kisah ini bisa dibaca dalam kitab At-Tarawih Aktsar min Alfi Am karangan Syekh Athia Salim.
Pada masa Umar bin Khattab, baru lah banyak terjadi perubahan. Pada zaman Umar bin Khattab, sahabat yang salat Qiyam Ramadan di masjid semakin banyak. Ada yang salat sendirian, ada juga yang salat berjemaah. Karena banyaknya jemaah ketika itu, membuat masjid menjadi gaduh, hingga akhirnya Umar bin Khattab berinisiatif untuk mengumpulkan para sahabat dengan satu imam, ditunjuklah Ubay bin Kaab sebagai imam salat Qiyam Ramadan. Kisah ini lah yang terekam dalam hadis riwayat Imam Bukhari yang sudah sangat populer sekali, bahkan Umar bin Khattab menyebutkan sebagai berikut.
نعمة البدعة هذه
"Sebaik-baik bidah adalah hal ini." (HR. al-Bukhari)
Hal ini berlaku pada masa Umar bin Khattab atau lebih tepatnya sejak tahun 13 hijriah.
Pada tahun 16 hijriah, salat Qiyam Ramadan di masjid mulai teratur. Pada saat itu, Umar bin Khattab juga menunjuk Tamim al-Dari sebagai imam pengganti, lantaran salat Qiyam Ramadan saat itu yang sangat panjang, bahkan hingga menjelang waktu subuh. Untuk jemaah wanita sendiri, Umar bin Khattab menunjuk Sulaiman bin Hatsmah menjadi imam. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa jemaah wanita punya tempat tersendiri untuk melaksanakan salat Qiyam Ramadan, di luar masjid Nabawi.
Semakin lama, semakin banyak pula perkembangan. Imam salat Qiyam Ramadan semakin banyak dan salat Qiyam Ramadan makin lama makin pendek dan ringan.
Mengenai jumlah rakaat Qiyam Ramadan yang dilaksanakan pada masa Umar bin Khattab sendiri beragam, hal ini karena Umar bin Khattab sering melakukan percobaan dengan jumlah rakaat yang berbeda-beda. Terkadang sebelas rakaat (delapan rakaat salat Qiyam Ramadan ditambah tiga rakaat salat Witir), sebagaimana dinukil dari kitab al-Muwatta karangan Imam Malik. Terkadang 13 rakaat, sebagaimana dinukil dalam kitab al-Musannaf karangan Imam Abd al-Razzaq. Terkadang 23 rakaat, sebagaimana dinukil dalam kitab al-Muwatta karangan Imam Malik. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan hingga 41 rakaat, sebagaimana dalam kitab Qiyam Ramadan karangan Imam al-Marwazi.
Dari sekian banyak percobaan tersebut, akhirnya para sahabat ketika itu sepakat bahwa yang paling ideal adalah salat Qiyam Ramadan 23 rakaat (20 rakaat salat Tarawih dan tiga rakaat salat Witir). Hal ini lantas menjadi ijmak para sahabat ketika itu. Ini lah yang biasa disebut-sebut sebagai WARISAN UMAR. Oleh karena itu, dalam mazhab yang empat, semua sepakat bahwa jumlah rakaat salat Tarawih dan salat Witir yang dianjurkan itu adalah 23 rakaat (20 rakaat salat Tarawih dan tiga rakaat salat Witir). Hal ini bisa kita telusuri dari kitab-kitab fikih para pengikut imam mazhab yang empat tersebut.
Dalam kitab Badai al-Sanai karangan Imam al-Kasani (mazhab Hanafi) terdapat uraian berikut.
وأما قدرها فعشرون ركعة فى عشر تسليمات فى خمس ترويحات كل تسليمتين ترويحة وهذا قول عامة العلماء
"Adapun jumlah rakaat (salat Tarawih) adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam dan lima kali istirahat setiap dua kali salam. Ini lah pendapat mayoritas ulama."
Dalam kitab al-Fawakih al-Dawani karangan Imam al-Nafarawi (mazhab Maliki) terdapat uraian berikut.
وكان السلف الصالح وهم الصحابة يقومون فيه فى زمن خلافة عمر بن الخطاب وبأمره كما تقدم فى المساجد بعشرين ركعة وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد والعمل عليه الآن فى سائر الأمصار
"Sunggah para salaf saleh (sahabat) pada masa Umar bin Khattab melaksanakan salat Qiyam Ramadan di banyak masjid sebanyak 20 rakaat. Ini lah pilihan dari Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafii, dan Imam Ahmad. Dan yang seperti ini lah yang banyak dilaksanakan oleh banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia."
Dalam kitab al-Majmu karangan Imam al-Nawawi (mazhab Syafii) terdapat uraian berikut.
فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات
"Salat Tarawih hukumnya sunah menurut ijma para ulama. Dan dalam mazhab kita (mazhab Syafii), jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam."
Dalam kitab al-Mughni karangan Imam Ibnu Qudamah (mazhab Hanbali) terdapat uraian berikut.
وقيام شهر رمضان عشرون ركعة يعنى صلاة التراويح
"Salat Qiyam Ramadan itu 20 rakaat, maksudnya salat Tarawih."
Pada masa Usman bin Affan, tradisi salat Tarawih dengan 20 rakaat ditambah tiga rakaat salat Witir ini berlanjut. Namun pada masa itu, imam salat adalah Ali bin Abi Thalib untuk malam pertama hingga malam ke-20. Sementara pada malam ke-21 dan seterusnya, imam yang ditunjuk adalah Abu Halimah Muaz.
Pada masa Usman bin Affan juga muncul tradisi membaca doa khatam Al-Qur'an pada rakaat ke-20 sebelum rukuk. Namun tidak ada kepastian riwayat, apakah ini setiap malam atau sekali saja selama bulan Ramadan.
Pada masa Ali bin Abi Thalib pun, tradisi salat Qiyam Ramadan dengan 23 rakaat masih berjalan. Ali bin Abi Thalib pun masih menjadi imam. Hanya saja pada masa ini, jumlah istirahat yang semula sebanyak sepuluh kali (istirahat setiap dua rakaat/sekali salam), dikurangi menjadi lima kali (istirahat setiap empat rakaat/dua kali salam). Pada masa ini juga, ditunjuk Urjufah sebagai imam untuk jemaah wanita.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sempat terjadi penambahan jumlah rakaat salat Tarawih di Madinah. Pada saat itu di Madinah, jumlah rakaat salat Tarawih yang semula 20 rakaat, ditambah menjadi 36 rakaat. Alasan penambahan ini adalah karena penduduk Makkah setiap istirahat, melakukan tawaf bahkan salat sunah Tawaf setelahnya. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan di Madinah. Pada akhirnya, Umar bin Abdul Aziz memutuskan untuk menambah empat rakaat untuk setiap istirahat, totalnya menjadi 36 rakaat salat Tarawih dan ditambah tiga rakaat lagi salat Witir.
Akhir kisah, salat Tarawih hanya menyisakan dua pilihan saja, 20 rakaat atau 36 rakaat untuk penduduk Madinah. Begini lah terus berlanjut hingga saat ini.
Dari perjalanan panjang yang kita lalui sedari awal, kita bisa menyimpulkan hal-hal berikut.
1. Tidak ada riwayat yang pasti dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengenai tata cara pelaksanaan salat Tarawih, baik dari segi pelaksanaannya di masjid atau di rumah, berjemaah atau tidak, bahkan hingga jumlah rakaat. Yang ada ketika itu hanya anjuran yang bersifat umum dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam untuk melaksanakan salat Qiyam Ramadan. Setidaknya hal ini berlangsung hingga awal masa Umar bin Khattab.
2. Pada masa Umar bin Khattab, banyak terjadi perubahan pada format salat Tarawih, mulai dari menyatukan jemaaah dengan satu imam, hingga melakukan beberapa kali percobaan salat Tarawih dengan jumlah rakaat yang berbeda-beda yang pada akhirnya disepakati oleh para sahabat ketika itu jumlah rakaat yang paling ideal adalah 23 rakaat (20 rakaat salat Tarawih dan tiga rakaat salat Witir). Ini lah yang kemudian menjadi ijmak para sahabat ketika itu dan diteruskan ke masa-masa berikutnya. Bahkan mazhab yang empat sepakat dengan hal ini. Tata cara pelaksanaan yang seperti ini lah yang akhirnya dipakai oleh generasi berikutnya, hingga saat ini.
3. Pada masa Ali bin Abi Thalib, jumlah istirahat yang sebelumnya sepuluh kali (setiap dua rakaat/setiap salam), dikurangi menjadi lima kali (setiap empat rakaat/setiap dua kali salam). Hal ini juga berlaku kemudian hingga saat ini.
4. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, sempat ada penambahan jumlah rakaat salat Tarawih menjadi 36 rakaat bagi penduduk Madinah.
Semua hal di atas, dipilih dan dipakai oleh jumhur ulama dari empat mazhab besar yang diakui oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah kepada kita semua dan menunjukkan kita jalan menuju kebenaran. Amin.
Sumber FB Ustadz : Muhammad NU lil Albab