Safar dan Masyaqqah
Dr. Ahmad Sarwat , Lc.MA
Awalnya Safar di masa kenabian dulu memang dijuluki sebagai qith'atun minal adzab (قطعة من العذاب) alias penggalan dari siksaan.
Apalagi Safar di masa itu identik dengan menyusuri gurun berpasir. Pastinya air sangat terbatas, cuaca amat sangat tidak bersahabat, dan ada begitu banyak ancaman kematian, mulai tersesat, kehabisan bekal, ancaman hewan berbisa hingga hewan buas pemangsa.
Masih ditambah lagi ancaman dari manusia, yaitu penyamun dan pencoleng gurun pasir yang selalu mengintai.
Amat wajar bila Safar di masa itu dijadikan sebagai 'illat dari beberapa keringanan ibadah. Shalat rubaiyah boleh diqashar jadi dua rakaat, dua waktu shalat boleh dijamak, puasa Ramadhan boleh diqadha' di hari lain, khuff boleh tetap dikenakan sampai tiga hari, tidak ada kewajiban bikin shalat Jumat atau menghadirinya dan seterusnya.
Namun zaman berubah, teknologi mengubah apa-apa yang dahulu sebagai tantangan menjadi kesenangan. Hari ini jarak yang dahulu harus ditempuh berminggu, hanya tinggal beberapa jam saja.
Itu pun dengan kendaraan yang nyaman, aman, cepat, menyenangkan, bahkan praktis tidak ada masyaqqah alias kesulitan.
Maka apa yang dahulu dirasa sangat logis untuk diterima sebagai alasan diringankannya beberapa beban syariah, sekarang jadi tidak terlalu beralasan.
Namun para ulama sejak awal sudah menetapkan bahwa Safar itu sendiri adalah 'illat dari keringanan beberapa ibadah dan tidak ada hubungannya dengan masyaqqah.
Maksudnya, ada atau tidak ada masyaqqah dalam Safar, namun Safar itu sendiri sudah merupakan 'illat keringanan.
Jadi meski Safar di zaman modern itu nyaman, enak, adem, cepat, nikmat dan singkat, namun asalkan jarak safarnya terpenuhi, silahkan diambil keringanannya.
Dan jarak Safar sejauh 4 burud alias 16 farsakh yang oleh Dr. Wahbah Azzuhaili dikonversi menjadi 88,704 km itu, pada hari ini bisa ditempuh dalam waktu tidak satu jam. Sama sekali tidak ada masyaqqah.
Padahal di masa kenabian dahulu, setidaknya dibutuhkan durasi perjalanan sampai dua hari penuh. Karena jarak itu ditempuh hanya dengan jalan kaki atau naik unta.
Namun demikian, para musafir modern hari ini tetap mendapatkan berbagai macam keringanan hukum. Boleh jamak dan qashar shalat, boleh tidak jumatan, boleh tidak puasa Ramadhan, boleh ini dan boleh itu.
Di hari ini Safar cenderung berubah menjadi qith'atun minal Farah (قطعة من الفرح) alias penggalan dari kebahagiaan.
Beberapa orang ada yang menikmati perjalanan karena ada uang perjalanan dinas. Bahkan meski perjalanannya hanya imaginer, tapi uangnya tetap nyata.
Hehehe
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat