Dakwah Dibubarkan?
Oleh Ustadz : Rahmat Taufik Tambusai
Merasa terzalimi, sikap sebagian besar pendakwah salafi ketika pengajiannya dibubarkan, dengan berbagai dalih menyamakan dakwahnya dengan dakwah nabi, seolah - olah mereka perwakilan tunggal dari nabi dalam menyebarkan ajaran islam.
Apakah pantas menyamakan diri kita dengan yang telah dialami nabi, sedangkan nabi manusia paling baik, digelar oleh kaumnya dengan Al Amin, tidak pernah diketahui melakukan kesalahan, kemudian kita dudukkan diri kita setara dengan nabi, ketika dakwah kita dikritik dan ditolak, lalu mencari pembenaran atas diri kita dengan yang alami nabi, sedangkan kita banyak kekurangan, apakah pantas ?
Nabi merupakan manusia super cerdas, mampu menganalisa, dari seluruh sudut pandang, ketika akan berdakwah dan mampu meletakkan sesuatu pada tempat, sedangkan kemampuan kita terbatas plus bukan manusia cerdas, ketika dakwah ditolak, bukannya introspeksi diri tetapi mencari dalih pembenaran bahwa yang dialami persis seperti yang alami nabi, apakah pantas, sedangkan kualitas diri kita sangat jauh di bawah nabi.
Dan apakah pantas menyamakan dakwah kita dengan dakwah nabi, yang mana dakwah nabi dibawah bimbingan wahyu, disesuaikan dengan hukum sebab akibat, atas arahan yang maha bijaksana, melalui tunjuk ajar jibril, sedangkan kita berdakwah kadang di atas hawa nafsu dan kepentingan duniawi, di bawah bayang - bayang bisikan hantu dan setan, maka pantaskah menyamakan dakwah kita dengan dakwah nabi yang dimusuhi ?
Merasa terzalimi merupakan puncak dari doktrin bahwa dakwah kita yang paling nyunnah, sedangkan yang lain jauh dari Al Quran dan sunnah, seandainya mereka mau insaf sedikit, maka sikap tersebut tidak akan diucapkan dengan berbagai dalih pembenaran, cukup introspeksi diri dan lakukan evaluasi.
Dan sikap merasa terzalimi bukan sikap yang baik dalam berdakwah, karena dakwah bukan petualangan tanpa rintangan, hakikat dakwah adalah kesusahan dan kepayahan, jika tidak ingin susah maka jangan ambil jalan dakwah.
Mereka lupa diri, ada pepatah mengatakan, tidak ada asap jika tidak ada api, jika api tuduhan bidah tidak dibarakan maka mana mungkin umat akan meradang, karena yang dibidahkan mereka adalah perkara yang disunnahkan dan diakui oleh mayoritas ulama sepanjang masa.
Konsepnya sederhana saja, keluar dari perbedaan itu lebih baik, artinya ketika ada dua pendapat dalam satu masalah, yang mana kedua - duanya punya dasar dalam Al Quran dan hadits, dan diakui oleh ulama otoritatif di bidangnya, agar tidak menimbulkan gesekan antar umat maka permasalahan ini tidak perlu dibesar besarkan, apalagi menginjak satu pendapat dan meninggikan pendapat yang lain.
Jika setiap ormas mengetahui batasan dalam dakwahnya, maka tidak akan terjadi benturan satu kelompok dengan kelompok yang lain, maka disini perlunya para dai memahami fiqih dakwah, yang pokok letakkan pada yang pokok, yang cabang letakkan pada yang cabang, dan yang keutamaan dan akhlak letakkan pada tempatnya, maka tidak akan terjadi perselisihan diantara umat islam.
Dalu - dalu, Jumat 15 Maret 2024
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa