Fiqih Mawaris dan Pisah Harta
Empat semester dapat mata kuliah Faraidh membuat saya jadi mikir panjang, bagaimana cara mengamalkan ilmu yang satu ini di tengah masyarakat kita yang sangat awam.
Di tengah masyarakat kita yang punya aqidah dasar kepemilikan harta bersama antara suami istri, sudah pasti mustahil dijalankan hukum waris Islam, khususnya surat An-Nisa' ayat 12.
Allah SWT di ayat itu menjelaskan agak rinci bagaimana suami yang ditinggal mati istrinya akan jadi ahli waris atas harta istrinya. Hak nya antara 1/2 atau 1/4 bagian dari harta milik almarhumah istrinya.
Sebaliknya, bila suami yang wafat, istri berhak atas harta suaminya, antara 1/4 atau 1/8-nya.
Secara teknis ayat ini tidak bisa dijalankan, sebab kita tidak mengenal pemisahan harta antara suami istri.
Umumnya yang berlaku di tengah kita kalau salah satu di antara suami atau istri ada yang wafat, maka kaidahnya sebagai berikut ini :
"Salah sendiri kenapa mati. Harta kita ini sekarang jadi milikku seorang".
Tidak ada rumus bagi waris antara suami istri dalam adat istiadat kita. Kalau nggak percaya, coba kita lihat di sekeliling kita, di tengah keluarga kita sendiri.
Misalnya ayah kita wafat dan ibu kita masih ada. Hampir tidak pernah harta ayah itu kita bagi waris. Kita pasti akan tunggu sampai ibu wafat, barulah nanti kita bagi waris.
Padahal ibu itu sehat, umurnya panjang dan nggak mati-mati sampai lama. Ya iyalah, orang setiap hari didoain panjang umur sehat. Malah anak-anaknya yang pada mati duluan.
Lagian kita sebagai anak tidak ada yang berani minta kepada ibu agar harta ayah segera dibagi. Takut kualat sama ibu pastinya.
Kalau pun ada yang nekat minta dibagi waris, giliran ibu yang naik darah. Dasar lu anak durhaka, sudah mulai kurang ajar ya kamu. Emak masih nafas kayak gini udah berani-beraninya minta warisan. Mau jadi apa kamu . . .
Lu pengen emak cepet mati ya? Cekek aja nih emak sekalian. . .
Nah kalau emak sudah numbuh tanduknya kayak gitu, lantas siapa yang mau disalahkan?
Lalu bagaimana nasib surat An-Nisa ayat 12 ini? Apa mau belagak tidak tahu?
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ
Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. (QS. An-Nisa' 12)
Ayat suci ini tinggal bacaan dalam tadarus, tilawah dan tahsin. Isinya dibuang jauh atau diinjak-injak, tidak ada yang peduli.
Perilaku kita nyaris tidak ada bedanya dengan Bani Israil di masa lalu, yang beriman pada sebagian kitab, tapi ingkar kepada sebagian yang lain.
Yang lebih bikin prihatin, praktek macam ini terjadi juga di tengah keluarga-keluargs muslim. Shalat, puasa, zakat dan haji sudah oke. Semboyannya : kembali kepada Al-Quran. Semangatnya ingin menjadi generasi Qurani.
Giliran bagi waris, ayatnya dibuang.
Nauzubillah tsumma naudzu billah.