BERZINA DALAM PERNIKAHAN
Sejauh ini penulisan buku "Nikah Beda Agama" sudah sampai 100-an halaman. Terakhir saya memposting masih sekitar 60-an. Saya tidak tahu berapa jumlah akhir dari halaman buku ini. Setiap kali berniat mengirimkan ke penerbit, selalu ada saja penambahan demi penambahan. Belakangan saya menemukan banyak sekali pendapat ulama yang terlalu berharga kalau harus dilewatkan begitu saja.
Walhasil, selain menyajikan kritik atas tulisan Mun'im Sirry, penulis Fikih Lintas Agama, dan tokoh lain yang tidak saya sebutkan di sini, di dalam buku ini Anda bisa membaca banyak sekali pendapat ulama yang mengharamkan nikah beda agama itu. Ulama dari empat mazhab, ditambah dua Grand Syekh al-Azhar, Mufti Mesir, dan, yang tidak kalah penting, ialah ulasan mengenai risalah yang ditulis oleh Maulana Syekh Abdullah ibn as-Shiddiq al-Ghumari.
Ulama ensiklopedis asal Maroko itu menulis sebuah risalah penting berjudul "Daf'u as-Syakk wa al-Irtiyab 'an Tahrim Nisa Ahl al-Kitab." (Menolak Keraguan terkait Keharaman Perempuan Ahli Kitab). Dalam risalah tersebut, al-Ghumari secara sarih mengharamkan pernikahan beda agama dalam berbagai bentuknya. Baik itu antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab maupun sebaliknya. Gara-gara membaca risalah ini, judul buku pun saya ganti.
Menariknya lagi, al-Ghumari secara tegas dan jelas menyatakan bahwa pernikahan antara perempuan Muslimah dan laki-laki non-Muslim--yang dilegalkan oleh Mun'im Sirry dan kalangan sejenisnya--itu termasuk zina! Bahkan beliau menyebutnya sebagai zina terburuk dan paling keji dari model-model perzinahan yang lain. Berikut saya kutipkan perkataannya dalam risalah yang tadi disebutkan itu.
النوع الخامس: وهو أشد أنواع الزنا قبحا وأقبحها فحشا ألا وهو زواج النصراني بالمسلمة، وهذا مع الأسف الشديد يقع في طنجة وفي العرائش وفي الجزائر، تارة يدعي الإسلام وينطق بالشهادة كذبا وفي حالات كثيرة يتزوج المسلمة علانية من غير أن يدعي إسلاما ولا ينطق بشهادة.
“Model kelima, dan ini termasuk perzinahan yang keburukannya paling parah, dan kekejiannya paling buruk, yaitu pernikahan antara seorang laki-laki Kristen dengan perempuan Muslimah. Sayangnya, ini terjadi di kota Tangier, juga di kawasan Larache, dan negeri al-Jazair. Terkadang (pihak laki-laki) pura-pura mengaku sebagai Muslim, dan mengucapkan dua kalimat syahadat secara dusta. Dalam banyak kasus, pihak laki-laki menikahi perempuan Muslimah secara terang-terangan, tanpa mengaku sebagai Muslim juga tidak mengucapkan dua kalimat syahadat.”
Lalu bagaimana hukumnya orang yang menghalalkan pernikahan semacam itu? Tentu saja, jika pernikahan semacam itu dihukumi sebagai zina, maka orang yang mengalalkannya sama saja dengan mengalalkan zina. Dan Anda pasti tahu apa hukumnya bagi orang yang menghalalkan apa yang sudah diharamkan secara tegas dalam agama itu. Karena itu, di paragraf selanjutnya ia menulis:
وتحريم زواج الكافر بالمسلمة مع كونه منصوصا في القرآن الكريم هو معلوم من الدين بالضرورة، فمن اعتقد جوازه فهو كافر جزما.
“Pengharaman atas pernikahan orang kafir dengan perempuan Muslimah, di samping ditegaskan secara nash oleh al-Quran, juga termasuk “ma’lūm min ad-dīn biddharūrah” (aksioma dalam agama), barang siapa meyakini kebolehannya, maka dia adalah kafir secara pasti (kafirun jazman)”
Lihat, betapa seriusnya al-Ghumari melayangkan penghukuman itu. Saya tidak sedang mengutip perkataan seorang Muslim yang berpaham radikal, beraliran takfiri, dan semacamnya. Tapi ini adalah perkataan seorang 'alim mutafannin (ulama ensiklopedis), pakar ushul fikih, ahli fikih, muhaddits besar, imam tarekat syadzuliyyah, dengan puluhan karya yang ketika dihimpun menjadi ensiklopedi setebal 19 jilid!
Kenapa maulana Syekh Abdullah bisa sampai pada kesimpulan itu? Apa saja argumen-argumen yang beliau sajikan dalam risalahnya? Bagi yang bisa berbahasa Arab, saya sangat menyarankan Anda untuk membaca risalah itu. Tepatnya di jilid ke-11 dari ensiklopedi beliau. Bagi yang tidak bisa, jangan khawatir, saya sudah merangkumnya dalam buku yang mudah-mudahan bisa segera terbit ini.
Ingat, di sini kita tidak bermaksud untuk memudahkan pengafiran terhadap orang lain. Tapi kejujuran ilmiah mengharuskan kita untuk mendedahkan pendapat ulama apa adanya. Dan mereka bicara dengan dalil. Bukan nalar liar dan hawa nafsu. Kalaupun Anda tidak setuju dengan penghukuman itu, minimal kutipan tersebut membuktikan bahwa ini adalah persoalan serius, yang sayangnya dipandang enteng oleh orang-orang yang tidak tahu diri itu.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin