"Siapa yang ragu sudah melakukan sesuatu atau belum maka kondisi asalnya ia belum melakukannya"
Sepertinya terjemah kaidah ini sudah cukup menjelaskan maksud dari kaidah ini. Perlu diingat bahwa ini adalah kaidah turunan dari kaidah "keyakinan tak bisa digugurkan oleh keraguan", perlu diingat pula bahwa hukum asal itu eksistensinya lebih kuat sehingga yang bisa mengubahnya hanyalah sesuatu yang dilandasi atas kepastian dan bukan keraguan.
Dalam kasus ini jika orang ragu sudah berwudhu atau belum maka kondisi yang lebih kuat adalah hadats karena status berwudhunya masih diragukan. Orang ragu sudah shalat atau belum maka dianggap belum shalat karena status "belum shalat" hanya bisa digugurkan dengan perbuatan shalat dan bukan dengan keraguan. Orang jelas punya hutang tapi ragu sudah bayar atau belum maka status yang lebih kuat adalah belum bayar.
Kaidah ini beriringan dengan kaidah-kaidah lain yang intinya kondisi sebelumnya tak bisa digugurkan oleh suatu hal yang masih diragukan, kondisi sebelumnya dinilai lebih kuat karena dilandasi atas keyakinan yang tak bisa gugur karena keraguan. Ketiadaan adalah kondisi asal, belum melakukan adalah kondisi asal, sedikit adalah kondisi asal, hal-hal tadi hanya bisa diubah oleh suatu hal yang dipastikan adanya.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho
Kaidah Fikih Utama II : Tentang Hukum Asal