Insan Kamil, Dhamir Sya`n dan Kalimat-kalimat Yang Kabur
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa nomor 72, 12 Oktober 2023 yang lalu. Inti dari fatwa itu adalah bahwa apa yang dipahami oleh Majelis Pengkajian Tauhid Tasauf Indonesia (MPTT-I) Aceh dari ayat قل هو الله أحد adalah keliru.
Pokok permasalahannya ada pada dhamir (kata ganti) هو dalam ayat pertama Surat al-Ikhlas itu. MPTT-I memahami bahwa dhamir هو itu kembali kepada fa’il dari fi’il amar قل . Fa’il dari fi’il قل ini adalah أنت yang tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw. Dari sini kemudian muncul anggapan (saya tidak tahu apakah memang ini yang diyakini oleh MPTT-I atau ini disimpulkan dari penafsiran mereka saja) bahwa Muhammad adalah Allah.
Dasar dari pemahaman ini bersumber dari kitab al-Insan al-Kamil yang ditulis Syekh Abdul Qadir al-Jili yang menjadi rujukan utama oleh MPTT-I.
Dalam kitab itu, Syekh Abdul Qadir al-Jili menjabarkan makna dari lafaz jalalah الله . Ia menguraikan huruf demi huruf dari lafaz tersebut. Ketika sampai pada huruf kelima yaitu ه beliau menulis:
الحرف الخامس من هذا الاسم هو الهاء فهو إشارة إلى هوية الحق الذي هو عين الإنسان ، قال الله تعالى : قل يا محمد هو أي الإنسان ، الله أحد، فهاء الإشارة فى هو راجع إلى فاعل قل وهو أنت ، وإلا فلا يجوز إعادة الضمير إلى غير مذكور (الإنسان الكامل ص 19)
“Huruf kelima dari nama ini adalah huruf ha`. Huruf ini isyarat kepada identitas al-Haq yang dianya adalah diri manusia. Allah Swt berfirman: “Katakanlah…” wahai Muhammad, “Dianya…” artinya manusia, “Allah itu Esa.” Maka ha` isyarat yang ada pada dhamir هو kembali kepada fa’il قل yaitu أنت (engkau), karena tidak bisa dhamir itu kembali kepada yang tidak disebutkan.”
Kalimat Syekh al-Jili, “…identitas al-Haq yang dianya adalah diri manusia” sangat kabur. Apakah kalimat ini bermakna bahwa Allah itu manusia seperti yang ditangkap secara lahir (tekstual), atau ada makna lain yang tersirat tapi tidak dijelaskan lebih lanjut. Bisa jadi kalimat ini yang menjadi alasan sebagian orang menyerang kitab al-Insan al-Kamil dan orang-orang yang menjadikannya sebagai rujukan.
Ditambah dengan penjelasan Syekh al-Jili bahwa kembali dhamir هو adalah Muhammad. Jika benar demikian tentu makna ayat menjadi: “Katakanlah (wahai Muhammad) dianya (manusia) Allah Esa.” Maka muncullah anggapan bahwa Muhammad adalah Allah seperti dijelaskan dalam fatwa MUI di atas.
***
Kalau kita merujuk kitab-kitab tafsir yang mu’tamad, jumhur mufassirin menyatakan bahwa dhamir هو dalam ayat pertama Surat al-Ikhlas ini adalah dhamir sya`n (ضمير الشأن) , atau ada yang menyebutnya dengan dhamir al-qishah (ضمير القصة), dhamir al-hikayah (ضمير الحكاية), dan sebagainya.
Dhamir sya`n adalah dhamir untuk menjelaskan sesuatu yang besar, agung, luar biasa. Dhamir ini tidak kembali kepada lafaz yang sebelumnya seperti hukum dhamir pada lazimnya. Dhamir sya`n ini juga terdapat dalam beberapa ayat lain seperti:
... إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (يوسف : 90)
... فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
Kalaupun dhamir هو ini adalah dhamir rafa` biasa maka kembalinya bukan kepada fa’il dari قل yaitu Muhammad, melainkan kepada Allah juga yang ditanyakan oleh kaum musyrik. Dalam asbabun nuzulnya, ayat ini turun karena orang-orang musyrik berkata pada Nabi SAW :
انسب لنا ربك
“Terangkan nasab Tuhanmu pada kami…”.
Maka turunlah ayat ini. Jadi yang dimaksud dengan هو adalah Allah yang mereka tanyakan itu. Dengan demikian maka i’rab هو disini adalah mubtada`. Sementara lafaz jalalah الله adalah mubtada` kedua, dan kata أحد adalah khabar dari mubtada` kedua. Jumlah antara mubtada` dan khabar ini adalah khabar untuk mubtada` pertama yaitu هو.
Boleh juga dii’rabkan, lafaz الله adalah badal dari dhamir هو, sementara khabar-nya adalah أحد .
Dan boleh juga dii’rabkan, lafaz الله sebagai khabar pertama, sementara أحد sebagai khabar kedua. Bahkan boleh juga dii’rabkan, lafaz أحد sebagai khabar dari mubtada` yang mahdzuf, taqdirnya: هو .
Imam Syaukani dalam Fathul Qadir lebih cenderung kepada penjelasan i’rab yang pertama, bahwa dhamir هو kembali kepada apa yang dipahami dari konteks ayat dimana ayat ini sebagai jawaban dari pertanyaan orang-orang musyrik yang bertanya tentang nasab Allah -wal ‘iyadzu billah-. Lalu beliau berkata:
ويجوز أن يكون "هو" ضمير شأن لأنه موضع تعظيم ، والجملة بعده مفسرة له وخبر عنه
“Boleh juga هو menjadi dhamir sya`n karena konteksnya adalah pengagungan. Sementara jumlah setelahnya adalah tafsirnya dan menjadi khabar untuknya.”
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi