EMPAT KEBIASAAN JAHILIYAH YANG MASIH EKSIS
Berdasarkan tulisan sahabat saya Abdul Wahab Ahmad beberapa waktu lalu, saya tertarik untuk menambahkah beberapa hal terkait empat hal jahiliyah yang masih dilakukan umat Nabi Muhammad SAW. Dia mengutip hadis :
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ. رواه مسلم
"Ada empat perkara jahiliah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya:
Pertama, Membanggakan nasab mulia,
Nasab mulia sejatinya amanat yang harus diimbangi dengan ilmu yang memadai, amal ibadah yang setidaknya setara dengan para leluhurnya dan akhlak mulia yang mencerminkan kemuliaan nasab tersebut. Ketika nasab mulia tidak disertai hal-hal tersebut, maka menurut ulama', mereka tergolong orang yang tertipu. Al-Qasimi dalam Mau'izah al-Mukminin berkomentar :
وربما كان مستدرجاتهم التمسك بصلاح الآباء وعلو رتبتهم كاغترار العلوية بنسبهم ،
Acapkali, keterpedayaan mereka (antara lain) berpegang pada kesalehan orang tua dan berpegang pada luhur derajat mereka. Seperti keterpedayaan kaum 'alawiyah dengan nasab mereka.
Secara bahasa Alawiyah dapat dipahami sebagai nisbat kepada sahabat Ali bin Abi Thalib RA. Namun secara luas dapat dipahami sebagai mereka yang diprioritaskan dan atau berdarah biru. Baik itu dari kalangan ahli agama seperti habib, kiai, gus, lora, uetaz dan lain sebagainya. Maupun kalangan bangsawan/ningrat. Agak sulit diterima akal, misalnya seorang cucu yang membanggakan kakeknya. Kakek yang alim kemudian dibanggakan tanpa mau belajar serius untuk melanjutkan alim-nya sang kakek.
Sebuah analogi sederhana, seorang cucu tidak akan kenyang hanya dengan melihat kakeknya makan. Demikian juga dalam hal minum. Terlebih dalam hal yang abstrak seperti ilmu dan amal saleh. Sebenarnya, al-Qur'an juga telah memberi perumpamaan. Bahwa seorang anak yang berbeda jalan dengan ayahnya, tidak akan pernah memiliki derajat yang sama. Seperti Kan'an dengan Nabi Nuh AS. Allah SWT berfirman :
وَنَادَىٰ نُوحࣱ رَّبَّهُۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبۡنِی مِنۡ أَهۡلِی وَإِنَّ وَعۡدَكَ ٱلۡحَقُّ وَأَنتَ أَحۡكَمُ ٱلۡحَـٰكِمِینَ (45) قَالَ یَـٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَیۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَیۡرُ صَـٰلِحࣲۖ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِ مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۖ إِنِّیۤ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلۡجَـٰهِلِینَ (46)
[Surat Hud: 45-46]
Atau sebaliknya, seorang ayah yang berbeda keyakinan dengan anak. Maka juga tidak pernah bermanfaat permohonan ampun untuk sang ayah. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS memohonkan ampun untuk ayahnya.
مَا كَانَ لِلنَّبِیِّ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن یَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِینَ وَلَوۡ كَانُوۤا۟ أُو۟لِی قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِیمِ (113) وَمَا كَانَ ٱسۡتِغۡفَارُ إِبۡرَ ٰهِیمَ لِأَبِیهِ إِلَّا عَن مَّوۡعِدَةࣲ وَعَدَهَاۤ إِیَّاهُ فَلَمَّا تَبَیَّنَ لَهُۥۤ أَنَّهُۥ عَدُوࣱّ لِّلَّهِ تَبَرَّأَ مِنۡهُۚ إِنَّ إِبۡرَ ٰهِیمَ لَأَوَّ ٰهٌ حَلِیمࣱ (114)
[Surat At-Taubah: 113-114]
Kedua, Mencela nasab orang lain,
Secara umum, dalam al-Qur'an Allah SWT melarang cela-mencela antar kaum. Hal ini disebut pada ayat berikut :
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا یَسۡخَرۡ قَوۡمࣱ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُونُوا۟ خَیۡرࣰا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَاۤءࣱ مِّن نِّسَاۤءٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُنَّ خَیۡرࣰا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلۡأَلۡقَـٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِیمَـٰنِۚ وَمَن لَّمۡ یَتُبۡ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
[Surat Al-Hujurat: 11]
Artinya, mencela orang lain adalah perbuatan yang tercela. Tidak pernah bisa dibenarkan atau dianggap baik meskipun menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Karena sajatinya Allah SWT ciptakan manusia dalam bentuk sempurna. Dibekali dengan akal dan nafsu. Sehingga, bagi yang mampu mengoptimalkan akal dan mengendalikan nafsunya, maka dia pada posisi mulia. Dan begitu juga sebaliknya.
Dalam hal mencela nasab, Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti umatnya agar tidak mencela nasab sendiri atau nasab orang lain. Mencela nasab setara dengan kekufuran. Nabi Muhammad SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال، قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم : «اثنتان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب، والنياحة على الميت». رواه مسلم
Mencela nasab dinilai sebagai upaya mengingkari kepastian Allah SWT. Tidak seorangpun didunia ini mampu menetukan dirinya terlahir dari rahim wanita yang dia kehendaki. Seandainya manusia mampu menentukan, niscaya tidak akan ada orang yang terlahir dengan nasab hina. Semua terlahir dengan nasab mulia.
Ketiga, Meminta hujan dengan bintang-bintang,
Meminta hujan dengan bintang terjadi pada zaman jahiliyah. Sehingga, Nabi Muhammad SAW menggaris bawahi dengan dawuhnya dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Beliau menegaskan, bahwa siapapun yang mengatakan "kita dianugerahi hujan karena kemurahan Allah SWT dan rahmatNya" adalah golongan orang yang beriman kepadaku dan ingkar terhadap bintang. Dan siapapun yang mengatakan "Kami dianugerahi hujan sebab bintang ini" adalah golongan orang yang ingkar kepadaku dan iman kepada bintang. Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut :
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ قَالَ: صلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلاةَ الصُّبْحِ بِالحُدَيْبِيَةِ في إِثْرِ سَمَاءٍ كَانتْ مِنَ اللَّيْل، فَلَمَّا انْصرَفَ أَقْبَلَ عَلى النَّاسِ فَقَال: هَلْ تَدْرُون مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعلَمُ، قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فأَمَّا مَنْ قالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمتِهِ، فَذلِكَ مُؤمِنٌ بي، كَافِرٌ بالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قالَ: مُطِرْنا بِنَوْءِ كَذا وَكذا، فَذلكَ كَافِرٌ بِي، مُؤمِنٌ بالْكَوْكَبِ» متفقٌ عليه.
Dalam mensikapi golongan kedua ini, Sayid Muhammad dalam Mafahim menjelaskan :
Pertama, dianggap sebagai kekufuran yang menyebabkan keluar dari agama. Dengan catatan, ucapan ini dibarengi dengan keyakinan bahwa bintanglah yang menurunkan dan mengatur hujan turun. Seandainya perkataan ini masih dibarengi dengan keyakinan, bahwa Allah SWT yang menentukan dan mengatur hujan dengan rahmat dan kemurahanNya. Dan bintang hanya dijadikan pertanda umum turunnya hujan, maka yang demikian ini tidak dianggap kafir.
Kedua, dianggap ingkar terhadap nikmat Allah SWT. Sebagai pembanding, Nabi Muhammad SAW juga bersabda dalam riwayat Muslim dari Sahabat Abu Hurairah RA :
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن بَرَكَةٍ إِلَّا أَصْبَحَ فَرِيقٌ مِنَ النَّاسِ بِهَا كَافِرِينَ، يُنْزِلُ اللَّهُ الغَيْثَ فيَقولونَ: الكَوْكَبُ كَذَا وَكَذَا. وفي حَديثِ المُرَادِيِّ: بِكَوْكَبِ كَذَا وَكَذَا.
Oleh karena dianilai sebagai penyandaran hujan pada bintang. Sedangkan disisi lain, golongan orang ini tidak meyakini kekuatan bintang dalam menurunkan hujan.
Ketiga, perkataan mereka dianggap makruh dengan dalih penggunaan simbol-simbol jahiliyah. Dengan catatan, mereka masih meyakini rahmat Allah SWT dan kemurahanNya sehingga turun hujan.
Keempat, niyahah (meratapi mayit secara berlebihan)."
Hidup dan mati sejatinya adalah ujian Allah SWT kepada hambaNya. Sehingga dapat diketahui siapa diantara mereka yang terbaik amalnya. Allah SWT berfirman :
ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡغَفُورُ
[Surat Al-Mulk: 2]
Kehidupan tidak lepas dari nyawa. Ia adalah hak mutlak dan ketetapan Allah SWT untuk semua ciptaanNya. Kapan saja bisa Dia bisa ambil. Ketika Dia kehendaki untuk mengambilnya, maka tidak seorangpun mampu menolaknya. Dan sebaliknya, meskipun nyawa tersebut dipaksa untuk dikembalikan kepadaNya, juga tidak mungkin Dia ambil. Kalau sudah menjadi ketentuan mutlak Allah SWT, maka seorang hamba hanya diperbolehkan rida dan ikhlas mengembalikan apa yang pernah Dia titipkan kepadanya. Sedangkan meratapi mayit secara berlebihan dianggap tidak rida dan ikhlas terhadap ketentuanNya.
Al-Qur'an mengajarkan, bahwa siapapun yang terkena musibah, maka ucapan yang lazim diungkapkan adalah innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allah SWT berfirman :
ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰجِعُونَ
[Surat Al-Baqarah: 1]
Semoga bermanfaat.
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
"Ada empat perkara jahiliah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya:
1) Membanggakan nasab mulia,
2) mencela nasab orang lain,
3) meminta hujan dengan bintang-bintang,
4) niyahah (meratapi mayit secara berlebihan)."
(HR. Muslim)
Ustadz Abdul Wahab Ahmad
Sumber FB Ustadz : Muhammad Tantowi