Standar Fuqaha Tidak Sama Dengan Standar Saintis

Standar Fuqaha Tidak Sama Dengan Standar Saintis

= Standar Fuqaha ≠ Standar Saintis =

Secara astronomis, bulan purnama itu terjadi pada hari ke 14, 15 dan 16, tepat pada pertengahan siklus rotasi dan revolusi bulan.

Namun secara fikih, puasa ayyāmul baidh (hari putih), dilakukan pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriyah, berdasarkan hadis Nabi ﷺ kepada Abu Dzar RA :

إِذا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاثًا، فَصُمْ ثَلاثَ عَشْرَةَ، وَأَرْبعَ عَشْرَةَ، وخَمْسَ عَشْرَةَ

Artinya : Apabila engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah pada hari ke-13, ke-14 dan ke-15.

Jika awal bulan Hijriyah itu mengacu kepada hakikat astronomis, tentu puasa ayyāmul baidh itu disunahkan pada tanggal 14, 15 dan 16, tepat tengah bulan. Namun Nabi ﷺ mengajarkan bahwa standar awal bulan itu bukan hakikat astronomis, melainkan hakikat kemampuan PENGAMATAN DASAR MANUSIA terhadap bulan.

Maka wajar, jika hilal sudah tinggi, kita masih berada pada tanggal 1. Wajar, jika purnama sudah keluar, kita masih berada pada tanggal 13. Dengan kata lain, standar awal bulan versi fuqaha memang CENDERUNG LEBIH LAMBAT SATU HARI dibanding standar awal bulan versi astronom.

Tentu standar astronom itu memiliki banyak fungsi, di antaranya adalah untuk mengetahui fase pasang-surut air laut dan memperkirakan gerhana.

Namun pertanyaannya, untuk fungsi timing ibadah, kita pakai standar fuqaha, atau standar astronom?

***

Fuqaha berbeda dengan saintis dalam banyak masalah, bukan hanya masalah penanggalan ini saja. Sebut saja, seperti masalah nasab anak hasil zina, yang ditetapkan oleh saintis kepada ayah biologis, namun dinafikan oleh fuqaha meskipun hasil tes DNAnya positif, thus tidak ada perwalian dan kewajiban nafkah.

Contoh lain, barang ternajis yang telah disterilkan dengan alkohol, telah dianggap steril oleh saintis, namun tetap akan dianggap bernajis oleh jumhur fuqaha, thus, barang tersebut tak boleh dibawa shalat.

INI BUKAN KARENA FUQAHA TIDAK PERCAYA SAINS. Fuqaha percaya sains, bahkan banyak juga para fuqaha yang merangkap saintis, sebut saja Imam Damanhur, Imam Suyuthi, atau yang lokal, Syaikh Muhammad Sa'ad Mungka. Namun para fuqaha juga paham, bahwa standar ibadah itu tidak selalu sama dengan standar sains.

Keduanya bisa dikatakan sama-sama benar sesuai standar masing-masing. Namun lagi-lagi yang ditanyakan, dalam ibadah, kita pakai standar yang mana?

Saya sengaja posting sekarang, sebab menurut saya, panas hati perihal kapan hari raya sudah mereda, perut pun sudah kenyang dengan daging qurban, sehingga suasana hati sudah lebih damai. Harapannya, semoga tulisan ini bisa dibaca dengan adil tanpa tendensi emosi ataupun fanatisme yang mengaburkan objektivitas.

Saya juga tak ingin, tulisan ini dijadikan senjata debat kusir di kalangan awam. Biar para ulama yang bahas dalam muzakarah secara ilmiah, sedangkan setiap kita cukup beramal sesuai zhan masing-masing.

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..

***

Ah, ya. Dalam ibadah, Allah menjadikan hilal sebagai standar (QS. 2 : 189). Nabi Muhammad ﷺ juga perintahkan kita untuk melihat hilal, bukan melihat orang Mekah. Falta`ammal.

Foto hanya pemanis. #saranghaeyo #sasageyo 

Sumber FB Ustadz : Fakhry Emil Habib

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Standar Fuqaha Tidak Sama Dengan Standar Saintis - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®